Perjumpaan Islam dengan budaya Sunda
BELAKANGAN ini agak sering muncul tulisan maupun pandangan mengenai
perjumpaan Islam dengan budaya Sunda. Penulis merasa terusik untuk
mengkaji ulang klaim-klaim sebagian masyarakat yang mengatakan Islam
identik dengan Sunda dan Sunda identik dengan Islam.
Ada masyarakat yang mengungkapkan bahwa di masyarakat Sunda terdapat
juga penganut agama Sunda Wiwitan, komunitas pengikut Madrais dan
komunitas pengikut Mei Kartawinata yang masih mempertahankan ajaran
leluhurnya. Menurut pengetahuan penulis, penghayat atau kelompok
masyarakat yang masih menghormati dan melaksanakan ajaran leluhur Sunda
tidak hanya terdapat di Kanekes Baduy, Ciptagelar Sukabumi, Cigugur
Kuningan, dan Ciparay Bandung. Banyak sekali masyarakat yang memegang
teguh ajaran leluhurnya, tapi karena pertimbangan tertentu belum berani
mengungkapkan keyakinannya.
Penulis merasa perlu memberikan ulasan sehubungan dengan ada kajian
yang tidak lengkap yang mengundang penafsiran negatif dan pandangan yang
keliru terhadap masalah tersebut di atas. Bahkan, ada bahasan yang
tidak didukung oleh kajian mendalam khususnya yang berkaitan dengan
ajaran Madrais dan ajaran Mei Kartawinata.
Hal pertama, jika ada pihak yang menyimpulkan bahwa Kerajaan Galuh
dan Kerajaan Sunda Padjadjaran menganut Hindu, masih patut diragukan
kebenarannya sebab sampai dengan saat ini belum ada bukti sejarah yang
dapat mendukung kesimpulan tersebut. Hingga saat ini masih terjadi
perdebatan apakah Galuh dan Pajajaran menganut Hindu-Buddha atau
agama/kepercayaan asli Sunda.
Beberapa komunitas Sunda, termasuk Sunda Wiwitan, Cigugur, Ciparay
dan beberapa komunitas lainnya, berkeyakinan kepercayaan yang dianut
kedua kerajaan tersebut adalah agama/kepercayaan asli Sunda. Hal ini
sejalan dengan penelitian antropolog Nanang Saptono dalam tulisan
berjudul “Di Jateng Ada Candi, di jabar Kabuyutan” yang dimuat dalam
Harian Kompas, 3 September 2001 yang menyatakan, “Dalam Carita
Parahyangan juga menunjuk bahwa kepercayaan umum raja-raja di Galuh
ialah sewabakti ring batara upati yang berorientasi kepada kepercayaan
asli”.
Hal kedua adalah mengenai kepercayaan leluhur bangsa yang disebut
menganut animisme dan dinamisme. Dalam hal ini, kita perlu arif dan
berpandangan luas, kenapa timbul kedua istilah yang seolah-olah
merendahkan derajat dan kepercayaan leluhur kita, yang pengertiannya
secara harfiah adalah menyembah nenek moyang dan menyembah kebendaan.
Kiranya patut direnungkan sedangkal itukah penghayatan leluhur kita
terhadap arti dan hakikat ketuhanan, kemanusiaan, dan alam. Padahal,
leluhur kita tinggal di bumi nusantara yang subur makmur loh jinawi.
Sumber pangan yang disediakan alam lebih dari cukup dan tinggal ambil
apalagi penduduknya masih sedikit sehingga cukup banyak waktu untuk
merenung, berpikir, berdialog, dan mengkaji tentang alam dan penciptanya
serta berkreasi untuk mengembangkan budayanya.
Terbukti dari hasil penelitian Nandang Rusnandar (peneliti dari
Jarahnitra Jawa Barat) bahwa di tatar Sunda telah ditemukan 54 jenis
huruf (wanda aksara) dalam budaya tulisan dan penelitian Ali
Sastramijaya yang menyimpulkan leluhur bangsa kita sudah sejak ribuan
tahun telah mengenal budaya sistem penanggalan yang didasarkan atas
perhitungan matahari (Kala Surya), perhitungnan bulan (Kala Candra), dan
perhitungan bintang (Kala Sukra) dengan presisi tinggi yang notabene
didasarkan atas penelitian/pengkajian alam secara seksama dan terus
menerus selama puluhan tahun, bahkan ratusan tahun melewati berbagai
generasi.
Dengan demikian, budaya tulisan tentunya dikenal jauh lebih tua lagi
sebelum dikenalnya budaya penanggalan. Alasannya, untuk mencatatkan
penelitian peristiwa alam, tentunya disimpan dalam bentuk tulisan.
Selain itu, telah ditemukan sejenis alat cor logam di sekitar Dago
Bandung yang menurut penelitian van Bemmelen (peneliti Belanda) usianya
telah mencapai 125.000 tahun. Hal itu berarti sejak zaman prasejarah
orang Sunda telah memiliki keterampilan teknologi logam (alat tersebut
kini tersimpan di Musium Geologi Bandung). Dalam hal ini hendaknya
diingat, sejarah nasional dibuat oleh sebagian besar sejarawan Belanda
pada masa penjajahan, yang tentunya akan terkait dengan kepentingan
penjajah Belanda sehingga adalah suatu keniscayaan untuk merendahkan
bangsa yang dijajahnya dengan berbagai cara, termasuk penulisan sejarah.
Dengan demikian, fakta dapat diputarbalikkan dan opini dunia dapat
dibangun bahwa mereka tidak menjajah, melainkan berjasa dalam
membudayakan bangsa yang masih primitif dan biadab. Kenyataannya, banyak
bukti-bukti sejarah yang menurut informasi dibawa dan disimpan di
negeri Belanda sejak masa penjajahan. Bukan hal yang tidak mungkin
bukti-bukti sejarah yang menguatkan kebesaran bangsa kita pada masa lalu
hilang atau sengaja dihilangkan (dalam hal ini penulis sependapat
dengan tulisan Ari J. Adipurwawidjana yang menyimpulkan berbagai
pengaruh yang datang dari luar nusantara begitu besar sehingga
kebudayaan yang sebelumnya berkembang tergeser kedudukannya dari wacana
dominan menjadi wacana limbahan). Apalagi Belanda menjajah nusantara
ratusan tahun dan sebelumnya Hindu, Buddha, dan Islam pernah mendominasi
nusantara sehingga kita mangalami kegamangan akan jati diri bangsa yang
hakiki karena memang banyak kehilangan akar sejarahnya.
Hal lain yang mungkin perlu dijadikan pertimbangan adalah perbedaan
budaya barat yang lebih mengandalkan rasional dan simbol-simbol nyata
yang nampak di permukaan dibandingkan dengan budaya timur khususnya
nusantara/Sunda yang religius dan banyak mengandung falsafah yang tidak
tampak ke permukaan (tersirat/ngandung siloka), kemungkinan tidak mampu
ditangkap sejarawan masa itu. Akibatnya, kepercayaan leluhur kita yang
sebetulnya cukup arif –kita lahir dan hidup karena jasa ibu-bapak,
ibu-bapak ada karena nenek-kakek dan seterusnya (dalam budaya Sunda-Jawa
dikenal penamaan sampai tujuh turunan)–, demikian seterusnya dikenal
sebagai leluhur atau nenek moyang yang pada akhirnya bermuara ke Tuhan
YME. Jadi wajar apabila kita menghormati leluhur yang diwujudkan dalam
bentuk tata-cara adat budaya sebagai bentuk penghormatan.
Demikian pula halnya dengan kearifan leluhur kita atas kedekatannya
terhadap alam dan lingkungannya. Kesadaran bahwa mereka hidup dan
bermukim ditopang oleh alam lingkungannya, baik berupa batu, kayu,
tanah, air, gunung, hutan, dan bermacam bahan pangan khususnya padi
sebagai bahan pokok menimbulkan kesadaran akan perlunya berterima kasih
dan penghormatan terhadap alam dan lingkungannya. Hal itu diwujudkan
dalam bentuk tata cara adat budaya sehingga untuk memanfaatkan apa pun
yang dari alam, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat (mipit kudu
amit, ngala kudu menta). Misalnya pada waktu panen, menebang pohon,
bongkar batu, bangun ruma,h dan sebagainya, serta untuk menjaga daerah
yang sensitif dikenal daerah terlarang (pamali), begitu pula
pepatah-pepatah yang sarat dengan pesan bagaimana memperlakukan alam.
Perilaku adat budaya tersebut di ataslah yang barangkali melahirkan
vonis atau sengaja didiskreditkan sebagai animisme dan dinamisme.
Padahal, ini jusrtu sesunggungnya merupakan bentuk perwujudan keluhuran
budi pekerti leluhur kita, yang seharusnya dilestarikan. Kalau demikian,
apakah mungkin leluhur kita tidak mengenal Tuhannya?
Dalam pemahaman penulis yang juga sedang menghayati dan menggali
kepercayaan asli Sunda, dipahami bahwa kasih sayang Tuhan ada yang
langsung, yaitu yang melekat pada diri kita dan ada yang tidak langsung
melalui orang tua dan seterusnya, ada yang lewat sesama hidup (termasuk
hewan dan tumbuh-tumbuhan) serta yang lewat alam (tanah, air, udara, dan
api) yang menjadikan diri kita dan memelihara hidup kita. Selain itu,
setiap zat di bumi alam ini punya lahir dan punya batin (misal gula,
wujud gula adalah lahirnya, sedangkan manis adalah batinnya; bibit
ditanam hidup dan membesar karena tanah ada batinnya). Begitu pula pada
setiap kegiatan yang berhubungan dengan proses kehidupan manusia
(kelahiran, perkawinan, dan kematian) dikenal tata cara adat budaya yang
sarat dengan muatan religius sebagai perwujudan keluhuran budi pekerti
dan pemahaman tentang asas Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Oleh karena itu, seyogianya pendiskreditan bahwa leluhur kita
menganut animisme dan dinamisme dengan gambaran sebagai masyarakat yang
masih belum beradab, menurut penulis sudah waktunya diluruskan
(tantangan buat ahli sejarah).
Migrasi Manusia
HAL yang sama berkaitan dengan penulisan periwayatan sejarah
kebudayaan nusantara, sebagaimana yang disitir oleh Ari J.
Adipurwawidjana dalam makalahnya yang mengemukakan zaman prasejarah;
terjadi gelombang migrasi manusia dari daratan Asia ke kepulauan
nusantara. Pada awal zaman purba ditandai dengan datangnya manusia dari
Subbenua India yang memasukkan kebudayaan Hindu-Buddha yang seolah-olah
bumi nusantara belum berpenghuni, belum berbudaya, dan belum beragama.
Dalam pemahaman penulis, ini juga terkait dengan kepentingan
penjajahan, untuk mengeliminasi bahwa tidak ada bangsa asli karena yang
mengaku pribumi pun nyatanya bangsa pendatang. Jadi dapat dijadikan
alasan bahwa baik Belanda maupun penduduk nusantara sebelumnya punya hak
yang sama dan tidak ada hak-hak istimewa bangsa pribumi. Tinggal
bersaing saja, siapa kuat itu yang menang.
Padahal, kalau dihubungkan dengan penelitian arkeologi, justru di
tanah Jawa ini telah ditemukan berbagai fosil manusia purba yang berumur
1,5-1,75 juta tahun yang dikenal dengan sebutan “Java Man” (Misteri
“Java Man” oleh Bintoro Gunadi dalam HU Kompas) dan penemuan gigi
manusia purba oleh Dr. Tony Djubianto di wilayah Rancah dan Tambaksari
Kabupaten Ciamis yang usianya lebih tua dari yang ditemukan di Sangiran
(penulis tidak tahu apakah di belahan dataran Asia yang katanya asal
migran zaman purba telah ditemukan fosil yang umurnya lebih tua). Bukti
sejarah apa yang dapat memperkuat kebenaran adanya gelombang migrasi
tersebut, suatu perkara yang perlu pengkajian kembali.
Oleh karena itu, tidak heran kalau semua pemahaman dari
catatan-catatan sejarah seperti di atas yang ditanamkan ratusan tahun
secara turun-temurun sebagai akibat penjajahan, menimbulkan bangsa kita
sampai sekarang kehilangan sebagian besar jati diri bangsanya,
kehilangan kepercayaan dirinya yang cenderung rendah diri di hadapan
bangsa asing. Jadi, semua hal yang datang dari luar selalu dianggap
lebih tinggi derajatnya dibandingkan yang datang dan dilahirkan dari
tanah airnya sendiri. Kapan akan berubah, mari kita renungkan bersama.
Penulis ingin memberi uraian, khususnya yang berkaitan dengan aliran
kebatinan Perjalanan. Perlu ditegaskan bahwa ajaran yang dikembangkan
Mei Kartawinata bukanlah kepercayaan baru yang dilahirkan sebagai hasil
dari perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dan bukan merupakan
sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Buddha, dan Islam,
sebagaimana ditulis oleh Dadan Wildan (Perjumpaan Islam dengan Tradisi
Sunda) dalam Pikiran Rakyat tanggal 26 Maret 2003.
Selain itu, ini diunsuri penggalian kepercayaan asli Sunda yang
sedikit demi sedikit dikumpulkan, diungkap dan dikaji kembali untuk
memisahkan mana yang bersumber dari ajaran asli dan mana yang berasal
dari luar, yang memang sulit untuk membedakannya karena sebagian telah
terjadi percampuran dan sebagian lainnya sudah terkubur selama ratusan
tahun sejak masuknya kepercayaan dari luar. Sampai sekarang pun belum
seluruhnya dapat terungkapkan.
Ajaran Mei Kartawinata pada dasarnya tidak berbeda dengan ajaran
Sunda Wiwitan, hanya sedikit perbedaan dalam istilah dan metode
pengajaran serta sedikit berbeda dalam penerapan tata cara adat budaya.
Tentunya komunitas Kanekes tidak seutuhnya menerapkan tata cara adat
budaya yang lengkap seperti pada zaman Padjadjaran (komunitas ini pada
waktu Islam masuk ke Padjadjaran terpaksa mengasingkan diri ke suatu
daerah yang medannya berat dan tidak ingin diketahui keberadaannya dalam
rangka mempertahankan keyakinannya sehingga harus menyesuaikan diri dan
terpaksa meninggalkan sebagian tata cara adat budaya sesuai dengan
lingkungan alam dan misinya).
Kalaupun dalam buku Budi Daya terdapat sebagian istilah-istilah dalam
bahasa Arab, semata-mata didasarkan atas kondisi dan situasi waktu itu
para pengikutnya kebanyakan berasal dari kalangan Islam yang
menginginkan penjelasan dari apa yang mereka ketahui dan ingin mendalami
isi yang terkandung di dalamnya ditinjau dari sudut pandang
ajaran/kepercayaan Sunda, dan kalaupun terdapat persinggungan/kesamaan
adalah wajar adanya. Pasalnya, ilmu Tuhan yang hakiki adalah satu dan
bersifat universal, serta berlaku untuk semua umat-Nya.
Selain itu, terdapat pula buku-buku dan berbagai tulisan Mei
Kartawinata yang menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda bahkan
istilah bahasa Cina. Hal ini sesuai dengan kondisi waktu itu yang juga
masyarakat banyak memahami bahasa Belanda, yang tentunya tidak dapat
disimpulkan sebagai sinkretisme dengan ajaran Belanda.
Ungkapan bahwa Budi Daya dijadikan sebagai “kitab suci” oleh para
pengikutnya adalah sungguh keliru dan menunjukkan bukti tidak mengetahui
banyak tentang ajaran Mei Kartawinata. Dalam pemahaman penganut ajaran
Mei Kartawinata, kitab suci adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak
bisa dibuat oleh manusia dan berlaku universal dan dapat dipelajari oleh
semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa/ras maupun gender,
serta daripadanya kita bisa belajar. Tidak ada seorang pun yang akan
mampu menamatkan belajar “Kitab Suci Tuhan” dan tak ada seorang pun yang
mampu mengukur kedalaman maupun luasnya isi “Kitab Tuhan” ini, yaitu
alam semesta beserta pengisinya.
Salah satu bagian kitab suci adalah dunia besar, yaitu alam semesta
tempat kita bisa belajar dan menghayati, bagaimana teraturnya alam
(nyakra manggilingan). Bagaimana gunung, bukit, lembah, hutan,
pepohonan, air, api, tanah, angin/udara telah menjalankan kodratnya dan
telah memberikan hidup dan kehidupan seluruh makhluk. Begitu pula
tumbuh-tumbuhan dan hewan semuanya telah menjalankan kodratnya yang pada
dasarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Sekarang
tinggal tanya apakah manusia telah melaksanakan kodratnya melaksanakan
kemanusiaannya, apakah orang Sunda telah melaksanakan kodrat
kesundaannya, apakah orang Jawa tidak ingkar dari kodrat kejawaannya dan
sebagainya, namun tidak berarti menganut paham chauvinisme.
Begitu pula bagian kitab suci yang ada pada dunia kecil (diri kita),
tidak ada seorang manusia pun yang mampu membuat diri atau bagian dari
diri kita yang sangat sempurna ini. Banyak hal yang dapat dipelajari
dari diri kita, bagaimana serasinya tubuh kita, bagaimana saling kerja
sama, saling ketergantungan dan tolong antarbagian diri kita yang begitu
harmoni, di dalam diri banyak hal yang dapat digali.
Kita juga tak akan mampu menamatkan belajar pada diri kita, bahkan
sampai hayat meninggalkan raga, begitu luasnya ilmu yang terkandung di
dalam diri kita. Dengan demikian, pernyataan Budi Daya dijadikan sebagai
“kitab suci” adalah sama sekali tidak benar, melainkan dijadikan
sebagai buku ajaran biasa sebagaimana ditulis sendiri oleh Mei
Kartawinata sebagai pamendak (penemuan/pendapat). Selain itu, banyak
pemikiran-pemikiran dan penemuan Mei Kartawinata yang dituangkan dalam
berbagai buku/tulisan/diagram/skema yang punya kedudukan yang sama
sebagai buku/materi ajaran.
Hendaknya dipahami bahwa ajaran Mei Kartawinata banyak mengupas dan
mendalami tentang aspek-aspek kemanusiaan. Dalam ajaran Mei Kartawinata
yang sepengetahuan penulis juga dianut oleh Sunda Wiwitan maupun
pengikut Madrais bahwa kita tidak mungkin dapat mengenal Tuhan apabila
tidak mengetahui diri kita sendiri. Untuk mengenali Tuhan, kenalilah
dulu diri sendiri “nyungsi diri nyuay badan angelo paesan tunggal”.
Dalam pengkajian diri dan sejarah diri, terungkap 3 unsur, yaitu
lahir (wadag), batin (halus/hidup), dan aku (yang punya tekad dan
menggerakkan lahir dan batin), atau dalam bahasa Sunda dikenal kuring
(aku), jelema (orang) dan hirup (hidup). Ke mana dan bagaimana lahir dan
batin akan digunakan tergantung sepenuhnya kepada aku (kuring), aku
yang bertindak sebagai pengendali (sopir).
Itulah sebabnya timbul istilah “agama kuring” yang sebetulnya sebutan
yang bersifat melecehkan dari kalangan yang tidak menyukai terhadap
ajaran Mei Kartawinata, bukan timbul dan dikemukakan oleh pengikut Mei
Kartawinata sendiri. Penulis mengira kasus yang sama dialami oleh
pengikut Madrais yang juga disebut orang luar lingkungannya sebagai
“Agama Jawa-Sunda”. Ajaran-ajaran lainnya dari Mei Kartawinata selain
sarat dengan aspek-aspek spiritual ketuhanan dan kemanusiaan, juga sarat
dengan ajaran mengenai kebangsaan dan “nation building”. Ini bisa
dikaji dalam buku-buku dan tulisan-tulisan yang dibuatnya.
Nama Perjalanan memang didasarkan atas pengamatannya terhadap air
yang terwujud dari kesatuan tetesan-tetesan air yang tak terhingga
banyaknya yang dalam rangka perjalanannya menuju sumbernya di lautan
telah memberikan manfaat terlebih dahulu sepanjang jalan bagi kehidupan
dan penghidupan segala umat Tuhan. Pengikut Mei Kartawinata harus terus
ingat dan mempertanyakan manfaat apa yang telah kita berikan sebagai
makhluk paling sempurna untuk kesejahteraan sesama hidup ini. Bagi
penulis, kemuliaan seseorang terjadi ketika manusia bersatu dan bekerja
sama memberikan manfaat bagi alam semesta ini, bukan malah merusaknya.
Selain itu, penulis merasa prihatin atas penulisan sejarah yang
selama ini berlaku dan dianut merupakan warisan penjajahan yang niscaya
banyak mengalami distorsi yang berdampak terhadap hilangnya jati diri
bangsa dan kepercayaan diri bangsa. Oleh karena itu, penulis mengimbau
kepada para sejarawan, antropolog, dan arkeolog, atau siapa pun yang
berkompeten untuk coba secara objektif dan dibekali dengan hati nurani
dengan menjunjung rasa kebangsaan untuk mengkaji kembali dan merevisi
sejarah kebudayaan nasional kita.
Itulah Agama Asli sunda Dalam Tradisi Sunda Kuno dan perjumpaan Islam dengan budaya Sunda,
Semoga Menghibur dan Bermanfaat,
Semoga Menghibur dan Bermanfaat,
Sumber : www.armhando.com .
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.