Jangjawokan ( apa sih ? )
Orang Sunda
Tradisional penganut ageman Sunda Wiwitan, atau Jati Sunda mengenali
istilah jangjawokan yang biasa digunakan ketika menyepah (nyeupah),
diucapkan dengan lirih seakan berbisik atau ada juga yang mengucapkan
dalam hati. Jangjawokan digunakan pula pada setiap laku lampah, bahkan
menjadi tertib hidup dalam melakukan kegiatan seha ri-hari, seperti pada
saat bergaul, bekerja, dan berdoa. Laku demikian sangat lumrah bagi
urang Sunda Tradisional yang tergolong kedalam masyarakat agraris,
sedangkan ciri dari masyarakat agraris selalu menjaga harmonisasi dengan
alam dan lingkungannya. Konon pula seluruh nu kumelendang di alam dunya
dianggap memiliki jiwa, maka jika mipit kudu amit, ngala kudu bebeja
(memetik dan mengambil harus me minta ijin).
Para Sastrawan
Sunda seperti Wahyu Wibisana, Rus Rusyana dan Ajip Rosidi menggolongkan
Jangjawokan kedalam kelom pok bentuk PUISI SUNDA. Yus Rusyana
menuangkannya keda lam buku Bagbagan Puisi Mantra Sunda (1970). Tentunya
apapun penilaian dan pemahaman masing-masing para sas trawan, namun
dengan cara ini dapat membantu menga-barkan, bahwa Urang Sunda pernah
memiliki suatu produk budaya yang disebut JANGJAWOKAN. Strategi
penyampaian demikian sama halnya ketika menyelipkan adat dan tradisi
Sunda ke dalam paradigma baru, dalam istilah jawa disebut ‘NGRANGKEPI’,
sehingga adat dan tradisi Sunda masih terka barkan sampai dengan saat
ini.
Didalam kancah
sastra mungkin ada baiknya meminjam isti lah dari para sastrawan.
Menurut Wahyu Wibisana : jangja wokan sejalan dengan maksud puisi magis
yang dikemuka kan Yus Rusyana, mungkin senada dengan pendapat Rach mat
Subagya didalam buku tentang “Agama Asli Indonesia”. Dengan mantra orang
berangsur-angsur memulangkan kua- sa kuasa imajiner yang di anggap
melanggar atas wewe-nangnya yang imajiner kepada tempat asal wajar
mereka yang imajiner juga. Pengertian imajiner berpusat pada pemi kiran
yang berhubungan dengan makhluk gaib yang mempu nyai kekuasaan,
kewenangan serta berada di tempat terten tu. Maka dengan cara tertentu,
seperti membacakan mantra dan ritual, kekuasaan dan kewenangan makhluk
gaib itu dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang dikehendaki.
Jangjawokan
sebagai krama hidup urang sunda di temukan pula didalam kegiatan
lainnya, seperti pada cara pengelolaan padi. Jangjawokannya digunakan
sejak menebar benih (ne bar); menanam padi (tandur), ngaseuk (ngolah
tanah), pa-nen nyiuk beas, nyangu (menanak nasi), membawa beras da ri
tempat mencucinya, dan ngisikan (mencuci beras). Contoh jangjawokan yang
digunakan dalam mengelola beras, seperti menyimpan beras dan mencuci
beras : Mangga Nyi Pohaci - Nyimas Alame - Nyimas Mulang - Geura ngalih
ka gedong manik ratna inten - Abdi ngiringan. Ashadu sahadat panata,
panetep gama - Iku kang jumeneng lohelapi - Kang ana teleking ati - Kang
ana lojering Allah - Kang ana madep maring Allah - Iku wuju salamaet
ing dunya - Salamet ing akherat. Asaha duanla ila haileloh - Wa ashadu
anna Muhammad darrasolullah. ...... Abdi seja babakti kanu sakti, agung
tapa - Nyanggakeun sangu putih sapulukan - Kukus kuning purba herang -
Tuduh kang seseda tuhu - Datang ka sang seda herang - Tepi ka kang seda
sakti - Nu sakti neda kasakten - Neda deugdeugan tanjeuran.
Contoh lainnya
dalam Jampe ngisinikan (mencuci beras untuk ditanak) : Mangga Nyimas
Alene - Nyimas Maulene - Geura siram dibanyu mu’min - Di Talaga
Kalkaosar - Abdi ngiringan Nyi Pohaci Budu gul Wulung - Ulang jail
babawaan kaula - Heug. Nyi Pohaci Barengan Jati - Ka Nyi Pohaci Sukma
Jati – heug.
ISTILAH JANGJAWOKAN
Wahyu Wibisana
dalam buku Sastra Lagu : Mencari Hubung an Larik dan Lirik menjelaskan,
bahwa: “Dua buah bentuk puisi sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais
ialah aji mantra dan bentuk puisi pada cerita pantun (Rajah dan Nata
an). Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Sanghiyang Siksa Kanda
Ng Karesiyan. Sedangkan puisi pada pantun te lah ada sebelum tahun 1518,
sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Puisi didalam cerita
pantun nampak dari ra jah dan nataan”.
Misalnya Rajah
dalam Kisah Pantun Gantang an Wangi :Pun sapun - Sang kuyupu ngaraning
parukuyan - Sang rupay puting ngaraning seuneu - Sang lingsir putih
ngaraning menyan - Kukus nyambuang - Pangandika gusti rosul - Mangka
terus ka nu alus - Ka purba ka nu kawasa - Ka nu dihin - Ka nu pasti -
Kukus nyambuang - Nuja katatar pasagi handap - Ngungkab bumi tujuh lapis
- Cundukna ka ratu bungsu - Ka pangeran rangga sinuhun - Ka batara naga
raja - Kanu aya di sakuriling cai.
Jangjawokan
arti kata lain dari ajimantra. Istilah ajimantra di gunakan dalam Naskah
Siksa Kandan Karesiyan, ditulis pada tahun 1518 M. Tapi penggunaan
istilah Jangjawokan tidak diketahui sejak kapan, karena Urang Sunda
Tradisional lebih banyak menggunakan istilah Jangjawokan dan ajian maka
istilah ajimantra agak kurang dikenal.
Penggunaan
istilah ajimantra (sanksekerta) untuk jangjawo kan dimungkin sebagai
adaptasi bahasa yang menggunakan persamaan kata (eufimisme). Istilah Aji
didalam kamus baha sa Indonesia disebutkan yang menyebabkan seseorang
men jadi sakti, sedangkan kata mantra ditafsirkan sebagai per kataan
yang mendatangkan kekuatan gaib; atau susunan ka ta berunsur puisi
(seperti rima, irama) yang dianggap me ngandung kekuatan gaib. Ajip
Rosidi lebih menekankan pada istilah Jangjawokan dibandingkan
menggunakan kalimat aji mantra. Dengan alasan : Istilah ajimantra
berasal dari India dan dalam bahasa Sunda tidak pernah digunakan.
Menurut Ajip Rosidi, dilihat dari segi isinya, Jangjawokan dilaksana kan
oleh nu gaib, dalam arti makhluk gaib.
ADAPTASI BAHASA ATAU KEYAKINAN
Pemahaman orang
Sunda tradisional tentang konsep Nu Gaib dapat ditelusuri melalui
perkembangan sejarah keyakinan. Nama-nama Nugaib dimaksud dapat
ditelusuri dalam naskah Kosmologi Sunda (Kropak 420) dan Jatiraga.
Nama-nama Nu Gaib bukan hanya istilah-istilah Dewata, seperti Brahma,
Wisnu, Siwa dan Mahadewa, namun ditemukan pula nama-nama Nu Gaib yang
asli penemuan Ki Sunda, seperti Pohaci, Sunan Ambu dan Wirumananggay.
Menurut
Ekadjati (2005 : 176), pada awalnya masyarakat di tanah Sunda sudah
mengenal yang gaib sebagai jiwa atau arwah leluhur, yang dapat
memancarkan kekuatan gaib. Untuk mencegah pancaran kekuatan gaib yang
bersifat bu ruk maka dilakukan ritual-ritual penghormatan, atau
ritual-ritual khusus yang dipersembahkan untuk leluhurnya. Rituali
tasnya sangat tergantung kepada masing-masing yang indivi du, bahkan
sampai sulit untuk mengetahui tatacaranya. Pada periode selanjutnya di
Pasundan bersentuhan pula dengan budaya dari India, yang membawa agama
Hindu dan Buda. Didalam naskah Wangsakerta dan buku Rintisan Penelusur
an Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984) disebutkan bahwa agama
Hindu dan Buda berkembang di keraton Tatar Sunda, sedang masyarakat atau
rakyat pada umumnya biasa masih tetap yang menganut ageman dari nenek
moyangnya.
Didalam
keyakinannya agama Hindu dan Buda mengenal pu la adanya istilah yang
Gaib lainnya, yakni Dewa yang bukan berasal dari rokh (arwah) nenek
moyang. Dewa-dewa terse but mempunyai cara hidup dan tempat tersendiri
diluar kehi dupan manusia, yakni nirwana atau sorga. Dewa-dewa dalam
agama Hindu jumlahnya memiliki fungsi dan tugas ma sing-masing. Dari
sorga dewa-dewa tersebut mengatur dan meng awasi kehidupan manusia. Pada
masa kerajaan Sunda dan Galuh para pemuka agama (pendeta, resi, wiku)
melakukan pencarian dengan menggunakan referensi dari keyakinan me nurut
ajaran leluhurnya serta dari Hindu dan Budha, di sam ping pengamatan,
pengalaman dan pengetahuan mereka sen diri.
Pada masa
selanjutnya ditemukan konsep Tuhan yang dina makan Hiyang. Istilah
Hiyang disebut juga Sanghiyang, memi liki makna yang sama, yaitu Yang
Gaib. Konsep Hiyang, Sang hiyang, Sang Hiyang, berpangkal dari makna dan
proses ter bentuknya rokh dalam kepercayaan leluhur, namun bukan
berasal dari jiwa manusia sebagaimana arwah atau roh. Hi yang terbentuk
dengan sendirinya, keberadaannya gaib dan Tunggal, tidak jamak dan
menguasai seluruh alam. Sifat Hi yang tercermin dari nama-nama yang
diberikan kepadanya, yaitu Batara Seda Niskala (Yang Gaib), Batara
Tunggal (Yang Esa), Batara Jagat (Yang Menguasai Alam), Sang Hiyang Kere
sa (Yang Kuasa), Nu Ngersakeun (Yang Berkehendak), dan Batara Guru
(Yang Maha Tahu), bahkan Batara didalam isti lah seperti Batara Tunggal
dianggap adaptasi bahasa dari ba hasa Hiyang Tunggal.
Penemuan konsep
Hiyang tidak serta merta menghilangkan fungsi dari dewa-dewa lainnya,
namun tetap ada dan di tem patkan di bawah Hiyang. Tempat Hiyang berada
di Parahya ngan atau di luar dunia. Parahyangan memiliki ruang yang
digambarkan yang bertingkat tingkat. Tingkat paling bawah dihuni oleh
para Dewa (Brahma, Wisnu, Siwa, Isora, Mahade wa). Diatasnya ditempati
Dewa dalam konsep Sunda, seperti Sari Dewata dan Ni Dang Larang Nawati.
Diatasnya lagi dihu ni oleh Dewi Sri (Pwa Sang-hiyang Sri), Dewi Bumi
(Pwa Naga Nagini), Dewa Bulan (Pwa Naga Nagini). Ditempat yang paling
atas sekali, bersemayam Sang Hiyang Keresa, tempat yang lepas dari semua
ikatan, dan hidup dalam keabadian, atau Jatiniskala.
Dari
kesejarahan tersebut memang nampak adanya Nu Gaib dengan Yang Maha Gaib.
Istilah Nu Gaib dimungkin disebut kan untuk dewa-dewa dalam dalam
konsep Sunda, seperti Sari Dewata dan Ni Dang Larang Nawati; Dewi Sri
(Pwa Sang hiyang Sri); Dewi Bumi (Pwa Naga Nagini); Dewa Bulan (Pwa Naga
Nagini), disamping dewa-dewa yang mengadopsi dari agama Hindu, seperti
Brahma; Wisnu; Siwa; Isora; dan Maha dewa. Sedangkan Yang Maha Gaib
disebutkan kepada Sang Hiyang Keresa atau Sang Hiyang Tunggal.
Disisi lain,
pemahaman istilah nu gaib tidak selamanya berko notasi makhluk gaib yang
berasal dari seperti arwah leluhur. Akan tetapi ada juga semacam cara
membangkitkan spiritu litas dalam diri manusa, seperti paradigma tentang
raga; bathin dan kuring.
Negasi terhadap
paradigma diatas dapat dicontohkan dari salah satu Jangjawokan sebagai
berikut: Ka Indung nu ngandung - Ka Rama nu ngayuga - Ka Indung nu teu
ngandung - Ka Rama nu ngayuga - Kadulur opat kalima pancer -
Pangnepikeun ieu hate - Ka Indungna anu nagnadung - Ka Ramana anu
ngayuga - Ka Indungna nu teu ngandung - Ka Ramana nu ngayuga - Kadulur
opat kalima pancer - Kalawan kanu ngurus jeung - ngaluis si …. (anu) ……
dst dst.
Dari
Jangjawokan diatas tidak nampak adanya eksistensi nu gaib dari luar
dirinya. Kecuali jika kalimatul indung nu ngan dung dan nu teu ngandung;
bapak nu ngayuga kalawan nu teu ngayuga; dulur opat kalima pancer
dianggap makhluk gaib ?. Padahal istilah ini di yakini terkait dengan
sejarah diri. Sejarah dimana saat ini dia ada kumelendag (berada) di
alam dunia.
PENGGUNAAN JANGJAWOKAN
Pada kasus lain
penggunaan Jangjawokan bisa jadi bertujuan untuk memperkuat bathin yang
membacakannya, atau sema cam ada perintah ingsun kepada bathinnya untuk
berkomuni kasi dengan ingsun orang lain. Jika saja yang dimaksud dalam
kandungan jangjawokan sama dengan yang dimaksud dalam Pantun Sunda,
mengingat keduanya juga dikatagorikan se bagai puisi arkais, hemat saya
dapat pula diperbandingkan dengan referensi dari Buku Jakob Sumardjo
tentang ‘Khasa nah Pantun Sunda’, terutama tentang ‘arkeologi pemikiran’
Urang Sunda Buhun. Salah satunya Trias Politik Sunda. Tan pa pemahaman
yang jelas niscaya Ki Sunda akan kehilangan sejarah pemikirannya yang
hakiki.
Signal dari
paradigma dan muara permohonan bisa pula dika itkan dengan strata atau
hirarkhi pengabdian. Misalnya Wa do tunduk kepada Mantri; Mantri tunduk
kepada nangga nan; nangganan tunduk kepada mangkubumi; mangkubumi,
tunduk kepada ratu; ratu tunduk kepada dewata; dewata tun duk kepada
Hyang. Dengan demikian posisi Hyang berada di posisi tertinggi.
Dalam
perkembangan selanjutnya ditemukan ada sebutan Allah kepada yang
dimohonkan. Urang sunda biasanya mem baca dengan Alloh. Konsonan “O” nya
sangat kental – khas. Menurut beberapa sumber ada jangjawokan dari
Urang Ba duy yang menggunakan istilah yang digunakan para pemeluk agama
islam, seperti didalam Sawer Panganten dan Sadat Islam. Padahal Urang
Baduy memeluk agama Sunda Wiwitan, atau Jati Sunda.
Adapun contoh
dari Sawer Panganten Baduy dan sadat Islam, sebagai berikut:
Bismillahirohmanirohim-Panggpunten kasadaya-Kau nu tua ka nu anom
-Sumawon kanu sepuh mah,-Kaula bade nyembahkeun,-Nyipanganten sareng ki
panganten. - Sadat Islam - Sadat Islam aya dua - Ngislamkeun badan
kalawan nyawa Dat hirup tangkal iman - Ngimankeun badan sakujur,-Hudang
subuh banyu wulu,-Parentah Kangjeng Gusti,-Nabi Adam pangyampurnakeun
badan awaking-Sir suci- Sir adam/Sir Muhammad-Muhammad Jaka lalana,-Nu
aya di saluhuring alam.
Istilah dalam
jangjawokan yang banyak disebut-sebut urang sunda Buhun, seperti Allah,
Adam dan Muhammad ten tunya tidak bisa dilepaskan dari paradigma tentang
Dzat, Sifat dan Manusia itu sendiri. Mungkin pengaruh dari agama Islam
seperti dalam tarekat ‘Nahdlatul Arifin’, yang mengajarkan, bahwa: jika
manusia ingin mengenal Allah yang sebenar benarnya, maka seseorang harus
mengetahui rahasia ‘alif- lam-mim’, yaitu Allah–Muhammad–Adam. Mungkin
juga me nandakan adanya unsur kesatuan yang hakiki antara raga, bathin
dan kuringna manusa.
Contoh lain
dapat ditemukan didalam kebiasaan sebelum be lajar atau memecahkan
persoalan, bertujuan agar dicerahkan pikiran, seperti : Allahuma hujud
bungbang-Nu hurung dina jajantung-Nu ruhay dina kalilipa-Remet meteng
dina angen-bray padang ….. Alllah....... Pangmukakeun kareremet nu aya
didiri kula-Bray padang,-Brya caang,-Caang na salalawas na-Lawasna
Saumur kula.
Setelah waktu
yang cukup lama kemudian dicoba menelusuri dari mana asal jangjawokan
itu, dan bagaimana pula bahasa aslinya. Pada akhirnya menemukan dari
salah satu sumber, konon dahulunya berisi, demikian : Hujud bungbang-Nu
hurung dina jajantung-Nu ruhay dina kalilipa-Remet meteng dina
angen-Bray padang-Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula-Bray
padang,-Bray caang,-Caangna salalawasna-Lawasna Saumur kula.
Abdul Rojak
menyebutkan, Orang Kanekes Baduy Dalam (Cikeusik, Cikertawana, dan
Cibeo) juga mengenal istilah Sa hadat, yang disebut Sahadat Sunda,
sebagai berikut :Asyhadu syahadat Sunda, zama alloh ngan sorangan.
Kaduana Gusti Rasul, katilu Nabi Muhammad, Kaopat umat Muhammad. Nu
cicing di bumi angari cing. Nu Calik dina alam keueung. Ngacacang di
alam mokaha. Salamet umat Muhammad. (Asyhadu Syahadat Sunda, Zaman allah
hanya satu. Kedua para Rasul. Ketiga Nabi Muhammad. Keempat umat Muham
mad. Yang tinggal di Bumi yang ramai. Yang duduk di alam takut.
Menjelajah alam nafsu. Selamat umat Muhammad).
Perbedaan
antara Sahadat di dalam agama Islam dengan Sahadat Buhun diakui pula
oleh masyarakat Baduy, Seperti keterangan Ayah Mursid, tokoh masyarakat
Cibeo : Sahadat menurut ajaran Sunda Wiwitan diartikan sebagai rangkaian
kalimat berisi do’a do’a atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang
Pencipta Alam sesuai dengan kebu tuhan, kegiatan atau masalah yang
dihadapi, dan diucapkan tidak sembarangan ada kramanya” (Saatnya Baduy
Bicara, Hal. 90, Asep Kurnia dkk – 2010).
Jika dikaji
lebih jauh, mungkin akan ditemukan adanya trans formasi ageman, yang
semula menggunakan simbol-simbol dan bahasa agama Sunda Wiwitan, atau
menggunakan ba hasa yang digunakan di dalam agama Islam, namun tidak
merubah substansi dari tujuannya. Jika saja asal Jangjawo kan yang kedua
diatas diyakini bersumber dari jangjawokan yang pertama dan tidak di
temukan kalimat Allah, namun da lam bentuk Jangjawokan dibawah pun tidak
unsur yang me mintakan kepada makhluk gaib dalam arti diluar (kekuatan)
dirinya. Mungkin pencantuman kalimat Tauhid didalam jang jawokan
dikembangkan oleh urang sunda berikutnya, bertu juan memintakan
legitimasi dan ijin dari yang Maha Gaib, yak ni Tuhan.
Hal ini
menunjukan adanya adaptasi dan penguat an permohonan kepada Tuhan. Ada
benarnya jika urang tua mengemukakan, bahwa : antara Gusti jeung
makhlukna euweuh watesna, leuwih deu keut jeung naon wae, malah masih
jauh antara hate jeung urat beuheungna. (antara Allah dan makhluknya
tidak ada batasnya, lebih dekat dari apa saja, malahan masih jauh jarak
antara hati manusia dengan urat le-her).
CIRI-CIRI JANGJAWOKAN
Jangjawokan
didalam koridor sastra puisi arkais didefinisi kan sebagai: permintaan
atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan)
dilaksanakan oleh nu gaib dalam pengertian makhluk gaib. Sebatas ini
mudah dipahami, yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makh luk
gaib untuk mencapai keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika
ditemukan pula jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya
digunakan oleh urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun), yang
di katagorikan sebagai do’a. Hanya saja menjadi membuahkan pertanyaan,
apakah jangjawokan itu bukan do’a ?.
Pemilahan
jangjawokan dengan do’a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan
dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sun da (arkais), serta dibahas
dengan menggunakan Indikator dalam kacamata sastra. Namun boleh saja
jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika masyarakat
Sunda Tradisional mengucapkan jangjawokan tentunya tidak ber tujuan
membaca puisi, melainkan memohonkan sesuatu.
Jangjawokan
diyakini memiliki kekuatan magis. Kemung kinan kekuatan dari kandungan
magis yang dirasakannya man menyebabkan jangjawokan ditularkan secara
turun te murun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terka barkan
hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini
kekuatannya. Yang jelas ada harmoni manusia deng an alamnya ketika
jangjawokan itu dibacakan.
Peran
jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya sebelum kemudian diserahkan
kepada para penyembuh modern, se perti dokter; psikolog; atau profesi
apapun yang terkait deng an masalah penyembuhan fisik dan psikis.
Jangjawokan di gunakan pula dalam keseharian, sebagai bagian dari tertib
hidup, seperti pada kegiatan sebelum buang air dan kegiatan lainnya.
Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan
(Jampi hendak buang air kecil); Jampe Kabeuratan (hendak buang air
besar); Jampe Neda (Jampi sebelum makan); Jampe Masamon (Jampi bertamu).
Konon kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati
sipelafalnya dan kesungguhan bagi para penggunanya. Namun saya tidak
bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah merupakan
bagian dari para akhlinya.
Didalam
paradigma sastra mengkatagorikan ajimantra (Jang jawokan) yang merupakan
sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda kuno.
Sama halnya dengan yang dimuat dalam kamus bahasa Indonesia, yakni
susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang diang gap
mengandung kekuatan gaib. Dikatakan ’pernah digunakan’ dan ’pernah
muncul’, karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah banyak yang
tidak menggunakannya, selain sudah jarang diketahui, juga dimungkinkan
karena tidak dikenal didalam ageman barunya. Hanya saja, sebagai karya
sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupa kan genre tersendiri
dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah lainnya di Nusantara.
Dari pernyataan
diatas, saya yakin masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan
jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna
jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya
masih nya man digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai ba gian
dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya kepada
generasi berikutnya. Setidak-tidaknya kata gorisasi ini dapat
menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya
dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.
Jangjawokan
menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri khu sus. Ciri-ciri yang
dimaksudkan Wahyu tentunya dilihat dari kata gori Jangjawokan sebagai
bagian dari puisi arkais sun da. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari
materi jangjawo kan; gaya sastra dan gaya bahasa; rima-rima; dan
kelahiran nya dalam pemahaman tentang sastra sunda.
Adapun ciri-ciri Jangjawokan, sebagai berikut :
1. menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sang hiyang Asri, Batara, Batari dll.
2. dalam
kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap jangjawokan berada pada
posisi yang lebih kuat, otoma tis berhadapan dengan pihak yang lemah.
3. berhubungan
dengan konsvensi puisi, merupakan kelanju tan dari gaya Sastra Sunda
Buhun dan cerita Pantun, yak ni adanya desakan atau perintah, disamping
himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
4. masih
berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan.
Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi
magis; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
5. adanya
lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy.
Bahasa jangjawokan tersebut dise rap seutuhnya atau disesuaikan dengan
lidah pengucap nya.
6. terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul ke mudian setelah sastra sunda.
PENYEBUTAN KUASA IMAJINER
Pengertian
imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubu ngan dengan makhluk gaib
yang dianggap mempunyai ke kuasaan dan kewenangan dan berada di tempat
tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara
tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan
manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehenda ki, sebagaimana dalam
Jangjawokan. Nama-nama kuasa ima jiner, seperti Nu Gaib dan Nu Maha
Gaib, sebagaimana diurai kan diatas, tentunya ada juga yang menggunakan
istilah-isti lah lainnya, seperti Pohaci Sanghyang Asri; Batara dan Bata
ri; Sri Tunggal Sampurna; Malaikat Incer Putih; Raden Angga Keling ;
Sang Ratu Babut Buana.
Contoh-contoh
penyebutan kuasa imajiner tersebut, seperti didalam Jampe Masamoan : Nu
ngariung jiga lutung-Nu ngarendeng jiga monyet-Nya aing mandahna !-Maung
pundung datang turu-Badak galak datang depa-Galudra di tengah imah
Kakeureut-kasieup ku pohaci awaking.
Jampe masamoan
(berkunjung) diatas bertujuan agar memi liki kekuatan yang tersinari
pohaci yang ada didalam dirinya. Bahkan ada semacam perintah bathin
kepada bathin siapa pun yang ada ditempat pasamoan tersebut untuk tunduk
dan menerima kehadirannya. Mungkin juga dapat ditafsirkan ada nya
perintah bathin orang yang hendak bertamu kepada bathin pihak nu di
pasamoan.
Contoh perintah
bathin seperti diatas dapat dilihat dari jangjawokan tentang Asihan
(penarik) seperti dibawah ini : Ka Indung anu ngandung-Ka Rama anu
ngayuga-Ka Indung nu teu ngandung-Ka Rama anu teu ngayuga-kadu lur opat
kalima pancer-Pang nepikeun ieu hate-Ka Indung na anu ngandung-Ka Rama
na anu ngayuga-Ka Indung na nu teu/ngandung-Ka Rama anu teu
ngayuga-Kadulur na opat kalima pancer-Kalawan kanu ngurus ngaluis-hirup
jeung huripna... (sianu)...../ Pamugi sing ....
Dari
jangjawokan diatas ditemukan ada perintah bathin (rasa) dari pembaca
jangjawokan kepada bathin (rasa) orang yang dituju, untuk melaksanakan
apa yang dikehendakinya. Perintah dan urusan koridor bathin ini sangat
nampak ketika pemohon memerintahkan bathinnya untuk menyampaikan ke pada
bathin tujuannya. Seperti ada eksistensi bathin ibu yang mengandung
maupun yang tidak mengandung serta ayah yang melindungi dan yang tidak
melindungi). Kemudian dise but pula eksistensi dari saudara yang empat
dan pan cernya.
Tentang empat
dan pacernya ini ada wawacan yang menje laskan maksudnya, sebagaimana
dibawah ini : Coba riksa anu opat nu jadi bakal manusa bumi, geni, banyu
jeung angin. Bumi metukeun cahaya hideung, nu nyata jadi pangucap. Geni
metukeun cahaya beureum, nu nyata jadi panguping. Angin metukeun cahaya
ko neng, nu nyata jadi pangangseu. Banyu metukeun caha ya bodas, nu
nyata jadi paningal. ..... Nu metukeun cahaya hideung, tina bumi
malaikat sawi ah. Nu metu keun cahaya beureum, tina geni malaikat
tamarah. Nu metukeun cahaya koneng, tina anginna malaikat mutmainah, nu
metukeun cahaya bodas, tina banyu malaikat loamah. Anu opat ngalebur
ngajadi hiji, ngajadi papancer ning manusa.
Dalam konteks
yang sama ditemukan pula istilah spiritual yang lajim digunakan penganut
agama islam. Sehingga kuasa imajiner jika ditafsirkan yang gaib atau
makhluk terasa ku rang pas.
JAMPE UNGGAH :
Ashadu sahadat bumi-Ma ayu malebetan-Bumi rangsak tanpa werat-Lan
tatapakan ing Muhammad-Birahmatika ya arohmana rohomin
JAMPE TURUN : Allohuma ibu bumi-Medal tapak tatapakan-Turun wawa yang ing Muhamad-Birahmatika ya arohma rohimin.
Jika saja
ditelaah lebih lanjut dari kedua jangjawokan ter akhir, kiranya menjadi
maklum, bahwa permohonan bathin kepada sesuatu ”Yang Gaib” dimintakan
ijin terlebih dahulu kepada ”Yang Maha Gaib”, atau dapat juga
disimpulkan bah wa atas kehendak yang Maha Gaib maka Yang Gaib diperin
tahkan. Mungkin lebih bijak jika mendefinisikan jangjawokan dengan cara
menggunakan paradigma dari para pengguna nya, yakni masyarakat Sunda
tradisional. Ketika mengkaji dan menemukan sejarah diri akan terungkap
ada tiga unsur yang menyebabkan manusa hirup jeung hurip, yakni unsur
lahir (raga) ; bathin (hidup) dan kuring (aku). Kuring atau aku
bertindak sebagai driver bagi lahir dan bathin, bagi raga jeung hirupna.
Aku pula yang memanaje raga dan bathin. Da ri paradigma tersebut
tentunya dapat disimpulkan, bahwa nu gaib itu bukan sesosok makhluk yang
ada diluar dirinya, mela inkan nu ngancik dina dirina. Jika ada
sanggahan ma salah spi ritualnya, paradigma yang bisa digunakan tentang
pemaha man kesalehan urang Sunda Buhun adalah panggih jeung hyang tanpa
balik kadewa (kembali kepada Dzat asal nya bukan kepada Dewa).
PEMBERI PERINTAH
Para pengguna
jangjawokan bertindak sebagai pemberi pe rintah bathin, paling tidak
sebagai pihak yang menginginkan sesuatu. Oleh para sastrawan diposisikan
sebagai pihak yang lebih kuat terhadap penerima perintah. Misalnya
didalam jampe masamoan : Nu ngariung jiga lutung-Nu ngarendeng jiga
monyet-Nya aing mandahna ……....... kakeureut ka sieup ku pohaci awaking,
(atau) : Curuk aing curuk angkuh-Bisa ngangkuh putra ratu …… mangka
reret soreang-soreang ka badan awaking.
Sipemberi
perintah hemat saya tidak selamanya memposisi kan diri sebagai pihak
yang lebih kuat, karena ada juga ke cenderungan kalimat yang dapat
ditafsirkan sebagai permo honan atau himbauan, bukan perintah. Jika
diperhadapkan dengan yang kuat dan yang lemah, maka sangat tepat jika ia
disebutkan sebagai pihak yang lebih rendah dan sedang me mohon sesuatu
untuk dikabulkan. Suatu hal yang sering terlu pakan dalah sifat Ki Sunda
yang senantiasa menjaga harmo ni,sebagaimana layaknya masyarakat
agraris senantiasa men jaga harmoni dengan alam sehingga antara alam
dengan diri nya tidak ada batasnya. Inilah yang disebutkan budayawan
sebagai puncak mitis spiritualitas, yang tidak dapat dimiliki semua
manusia.
Tipe
jangjawokan yang ada kaitannya dengan menjaga har moni alam dimaksud
sebagaimana yang ditemukan di dalam jampe nyimpen beas (menaruh beras) :
Mangga Nyi Pohaci-Nyimas Alane Nyimas Mulane-Geura ngalih ka gedong
manik ratna inten-Abdi ngiringan dst.
Kalimat
tersebut ini jauh dari unsur memerintah, namun me naruh harapan besar
untuk dilakukan, sehingga lebih tepat jika dikatagorikan membujuk untuk
melakukan.
Contoh lainnya
seperti dalam Jampe Ngisikan (mencuci beras) : Mangga Nyimas Alene
Nyimas Mulane-Geura siram dibanyu mu’min-Di Talaga Kalkaosar-Abdi
ngiringan ... dst”.
Dari beberapa
jangjawokan tertentu, seperti pangabaran atau asihan, penyatuan bathin
dan kandungan jangjawokan dilakukan melalui proses kuru cileuh kentel
peujit (berpuasa atau semacam tirakat). Mungkin ini untuk menumbuhkan ke
sungguhan dan keteguhan hati serta keyakinan agar tujuan tersebut bisa
dicapai. D
idalam
jangjawokan sering ditemukan adanya pengulangan kata-kata yang bersifat
imperatif atau persuasif, misalnya didalam jampe belajar : Bray padang,
Bray caang-Caangna salalawasna,-lawasna Saumur kula. (Atau) : Mangka
langgeng mangka tetep-mangka hurip kajayaan.
Jika dicermati
kalimat ini ada semacam penegasan seperti dari istilah “Bray Padang -
Bray Caang”, yang kurang lebih maksudnya sama, yakni terang benderang.
Atau dalam kali mat “Mangka Langgeng - Mangka Tetep”, yang artinya
kurang lebih agar kekal dan abadi. Namun didalam yang diniatkan,
penegasannya dapat dipahami sebagai yang menunjukan kesungguhan dari
Pemohon agar tercapai apa yang dikehen dakinya.
PENUTUP
Sangat sulit
mendifinisikan jangjawokan, kecuali dari kandu ngan keinginan yang
termaktub didalam jangjawokan itu sen diri. Memang ada pernyataan yang
meminta kepada kekuatan gaib, namun ditemukan pula adanya upaya untuk
mengu atkan bathin, dan negasi tentang eksistensi Tuhan. Jika saja
dinyatakan sebagai perintah, itupun sulit didefinisikan, mengingat ada
pula jangjawokan yang isinya memohon atau meng himbau, agar yang dimohon
dapat memberikannya dengan ikhlas.
Jangjawokan
adalah hasil cipta, karsa dan rasa Ki Sunda. Memiliki akar kesejarahan
yang mandiri. Sejalan dengan per kembangan dan sejarah pemahaman tentang
keyakinan dan sejarah diri, bahkan keberadaanya pernah berperan sebagai
penyembuh. Pada masa lalu, jangjawokan bukan sekedar pui si yang dapat
dinikmati kata-katanya, namun diyakini memi liki kekuatan spiritual.
Biarlah jangjawokan diampihan seba gai sastra dan puisi, agar tidak
hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.
Mun seug tea
mah aya nu nyungsi rusiah jangjawokan, di paluruh nepi ka wates
wangenna. Tinangtu bakal panggih jeung sajatining hirup jeung huripna.
Nu gaib lain makhluk nu misah tina ingsunna. Nu ngulon, nga ler, ngetan
jeung ngidul, lain nu nyengkal tina pancerna. Sakabeh aya na hate jeung
rasana, aya dina uteuk jeung pikiranana. Ibarat gula jeung amisna, uyah
jeung asin na, ngajirim ngajadi hiji, kalawan tinekenan bakal kabu ka
rusiah, saha ari urang ? timana ari urang ? jeung rek kamana ari urang
?. Sabab mun manusa geus wawuh jeung dirina tinangtu bakal wawuh ka
Gustina.(Cag)
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.