“Nguyang”, Penafsiran Lokalitas Sunda Atas Islam
Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI
Baheula ku basa Sunda ahirna ku basa Arab, jadi kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina Basa Arab (Hasan Mustapa, Qur’anul Adhimi).
PERTEMUAN Sunda-Islam dalam perspektif kultural tidak bisa dipandang
sebagai pertemuan yang sederhana karena Islam hadir sebagai agama, bukan
sekadar representasi kekuatan politk atau budaya belaka. Agama
senantiasa (diyakini) hadir dalam wujudnya yang lengkap, sufficiently.
Kehadiran Islam sebagai tata nilai yang dianggap telah lengkap tersebut
berhadapan dengan tata nilai dan kearifan lokal Sunda yang juga
dianggap telah lengkap (sufficiently well) oleh masyarakat Sunda, telah teruji oleh sejarah bangsanya.
Pertemuan dua tatanan nilai (Sunda dan Islam) tersebut dalam proses
budaya tidak berakhir dengan kebekuan karena sebagai tata nilai yang adi
luhung tentunya memiliki kearifan dan keterbukaan untuk melakukan
“negosiasi”. Sikap keras kepala dan tertutup dari suatu tata nilai
tertentu terhadap tata nilai yang lain hanya memperlihatkan
keterbelakangan dan ketidaklengkapannya, insufficiently.
Hasan Mustapa, sebagai representasi local-genius budayawan
Sunda dan sekaligus sebagai representasi dari elite dan pemikir agama
(kiai), telah mentransformasikan pertemuan Sunda-Islam ini ke dalam
dirinya. Ia menjadikan dirinya sebagai lokus dan sekaligus sebagai
subjek aktif bagi terjadinya dialog bagi kedua sistem nilai tersebut.
Dalam proses transformasi tersebut, Hasan Mustapa menenggelamkan dirinya
dalam lapisan-lapisan sejarah pembentuk kedua tata nilainya itu. Hal
tersebut terungkap dalam pernyataan, “Kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina basa Arab (Aku menyundakan Arab dengan datang ke Arab mengarabkan Sunda dari bahasa Arab).”
Yang dilakukan Hasan Mustapa bukan Islamisasi Sunda, tetapi
mempertemukan dua kearifan (Sunda dan Islam) untuk ditemukan titik temu
dan dialami sebagai bagian integral dari dirinya, tanpa mengakibatkan
kesan-kesan hegemonik satu atas yang lainnya.
Hasan Mustapa menjadikan dirinya sebagai pelaminan dari perkawinan
antara Guru Minda (representasi kearifan nilai-nilai langitan, Arab atau
Islam yang fatrilineal) dan Purbasari (kearifan nilai-nilai lokal Sunda
yang matrilineal) atau apa yang disebut teologi Asianya Aloysius Pieris
sebagai nilai-nilai soteriologis metakosmik dan soteriologis kosmik.
Perkawinan yang melahirkan nilai baru yang mereferensi dan bersumber
pada nilai-nilai lama, baik Islam maupun Sunda. Sebuah perkawinan
tentunya bukan suatu proses penaklukan satu atas yang lain, melainkan
proses yang berawal dari, melalui proses dan berakhir dengan saling
memahami dan saling menghargai.
Dengan prosesi nguyang ka Arab dan ngarabkeun Sunda tina Basa Arab,
Hasan Mustapa berusaha membangun kesetaraan pengalaman bahasa, antara
bahasa Sunda dan bahasa Arab yang merupakan bahasa formal Agama Islam.
Dengan nguyang ka Arab Hasan Mustapa melihat bahasa Arab, sebagai
bahasa formal Islam, tidak sekadar sebagai kenyataan leksikal yang
tercerabut dari konteksnya, melainkan kenyataan dari lipatan-lipatan
pengalaman sejarah yang berhubungan dengan biografi Islam-Arab. Baru
setelah itu, Hasan Mustapa melakukan proses ngarabkeun Sunda tina basa Arab.
Bahasa Arab yang telah dialami Hasan Mustapa dengan proses nguyang ka Arab
tersebut “dipertemukan” dengan pengalamannya sebagai seorang Sunda yang
sejak lahir merupakan bagian integral dari diri dan kehidupannya.
Dengan demikian, pertemuan yang terjadi dalam diri Hasan Mustapa bukan
sekadar pertemuan formal kebahasaan (makna leksikal), tetapi bertemunya
dua bahasa sebagai kenyataan pengalaman, pengalaman Arab-Islam, dan
pengalaman Sunda dengan seluruh lipatannya sehingga melahirkan
pengalaman Sunda-Islam, dalam pengalaman bahasa.
Nguyang merupakan istilah teknis dalam paradigma efistem Hasan
Mustapa, sebagai proses mengalami Islam dan Sunda melalui
demitologisasi Islam sehingga Islam dan Sunda bertemu melalui dan dalam
kesamaan pengalaman bahasa, bukan kesamaan leksikal. Dalam konteks ini,
Hasan Mustapa tidak melihat bahasa sebagai sekadar instrumen komunikasi
yang tunduk terhadap kaidah-kaidah bahasa dan kaidah rasio belaka,
melainkan sebagai pengalaman terhadap realitas yang memiliki unsur
intensionalitas. Karena proses demitologisasi tersebut, terjadi dalam
pengalaman bukan dalam “pemikiran’ (intellectual investigation), proses demitologisasi tersebut tidak kemudian mengakibatkan instensionalitas Islam mengalami reduksi.
Oleh karena itu, wajar bila Hasan Mustapa tidak pernah merasa gamang
mentransformulasikan pemahaman keislamannya dengan menggunakan term dari
bahasa Arab dengan rasa bahasa Sunda dan tidak jarang menggunakan
cerita-cerita mitologis yang hidup dalam masyrakat Sunda yang merupakan
formulasi nalar masyarakat Sunda.
Sebagai contoh, dalam naskah Bale Bandung, Hasan Mustapa
mendeskripsikan konsep pencapaian Kesempurnaan Manusia (Insan Kamil)
yang disimbolkan oleh tokoh mitos Sunda Munding-Laya Di Kusumah yang
telah mampu membinasakan tujuh Guriang yang merupakan ilustrasi
terlewatinya tujuh tingkatan (maqamat) dan mendapatkan Lalayang Domas. Dengan menggunkan ilustrasi Munding-Laya Di Kusumah tersebut,
Penggunaan epistem (nalar) kesundaan dalam menafsir pemikiran
keislaman. Dalam hal ini konsep ketasawufan adalah dengan mempertemukan
pengalaman batin Ki Sunda dengan pengalaman bathini ketasawufan, Islam.
Dengan kata lain, pengalaman kebertemuan dengan realitas Illahi dalam
diri manusia, merupakan kenyataan universal, bukan merupakan otonomi
suatu tradisi keberagamaan saja. Pengalaman keberagamaan, yaitu pengalam
“kebertemuan” dengan Yang Iilahi, merupakan milik semua manusia yang
bisa diungkap atau diekspresikan oleh siapa pun dan dalam bahasa bangsa
mana pun. Sunda, dengan berbagi aspek dan lapisan budaya serta
tradisinya (termasuk bahasa), secara kodrati terlahir sebagai pengalaman
bathini manusia Sunda dalam mengalami alam dan kehidupannya yang
merupakan penampakan Nan-Ilami.
Oleh karena itu, agama apa pun dan budaya serta tradisi apa pun,
dalam paradigma dan nalar Hasan Mustapa, lebih dilihat sebagai wadah
dari pengalaman bahasa (ekspresi) dari pengalaman kebertemuan dengan
Nan-Illahi dalam dirinya.
Sikap lupa terhadap asal sebagai manusia (Sunda) dalam sebuah proses
pencarian identitas, akan membuat manusia terjebak dalam lingkaran tanpa
ujung (kasarung). Demikian pula ketika pencarian identitas diri
itu dipijakkan pada lokus keislaman, bila itu dilakukan dengan tidak
merujuk pada pengalaman kebahasaan, melainkan hanya terjebak pada makna
bahasa secara leksikon, keadaannya menjadi sama.
Sebagai contoh, Hasan Mustapa mengilustrasikan prosesi pengalaman
term “Allah” sebagai nama sekaligus simbol dari Tuhan yang dilakukan
orang pada umumnya (non-Arab). Kata atau nama “Allah” adalah bagi
Masyarakat Sunda merupakan istilah yang asing bila hanya terjebak dalam
makan bahasa leksikon. Bila itu terjadi, orang akan dihadapkan pada
kebingungannya dan ketidakmengertian yang tidak berujung pangkal. Hasan
Mustapa mengingatkan tentang kecenderungan manusia yang cenderung
terjebak dalam lingkaran tanpa ujung ini, “Tungtungna ngahurun
balung, Guru bukur malar bukti, rek nyaba jeung Allah saha, kacapangan
ya Illahi, he Allah Gusti kaula, di nu negrak di nu suni, baluas da
kurang awas, ati lali ka ma’ani, gumelar maknawiyahna, nuding kanu
lain-lain, pahili nu dipieling, lahir dituding ati, batina ditorah rasa,
moal salahir sabatin.”
Dangding-dangding tersebut menggambarkan keterjebakkan orang pada maknawiah, apa yang tampak dalam bahasa (leksikon), lupa terhadap kenyataan ma’ani bahasa (intensionalitas makna), bahasa sebagai pengalaman batin, ati lali ka ma’ani, gumelar maknawiyahna karena (dalam dangding lain) matangankeun nu ngabukti.
Demikian juga ketika pemaknaan bathin terhadap kata dan nama “Allah”
yang tidak mereferensi penalaman bathin diri sendiri, sebagai anak dari
pengalaman bangsanya. “Tah kitu yataroddadun, da bongan piroebihim, katambias parahuna, kerok miriwinci hiji.
Yataraddadu.” Suatu keadaan seseorang yang melakukan
perjalanan (perenungan) yang tidak berpijak secara benar (utuh) sehingga
ia berputar-putar tidak menemu akhir karena tidak mermula dari awal
yang tentu. “Kasarung turut lulurung, balik deui balik deui, sasab
dina sisimpangan, ceurik deui ceurik deui, midangdam neangan Allah,
ceurik deui ceurik deui.” Kesemuanya itu terjadi karena keterjebakan
orang pada apa yang disebut Hasan Mustapa sebagai keterjebakan dalam
makna leksikon dari kata Allah. “Bukurna nu dipibingung, pahili ku barang hiji, nyawa kaleungitan rasa, lawas kalindih panglandi.”
Menurut Hasan Mustapa, jalan keluar keterjebakan ini yaitu dengan masing eling ka wiwitan, mangka awas ka wekasan
(harus ingat pada asal, harus ingat pada akhir), dengan memastikan awal
dan akhir dari suatu proses pencarian makna dan jati diri, top ti mana mimitina? Mana panganggeusanana?
Bagi masyarakat Sunda-Islam yang masih menjadikan kesundaannya
sebagai identitas dan bagian integral dirinya, Islam dipandang sebagai
lokus yang memberikan ruang formal sebagai penyempurna dalam mewadahi
pengalaman batin dan nilai-nilai kearifan lokal dan pengalaman batin
masyarakat Sunda.
Hasan Mustapa mengingatkan tentang relasi pengalaman diri dalam lokus
lokalitas dengan agama sebagai kenyataan dalam kehidupan manusia harus
dipertemukan secara harmonis. Pemaknaan terhadap suatu term agama yang
bukan terlahir dari pengalaman sejarah bangsanya, seperti kata Allah,
seseorang harus berlabuh dalam pengalaman sejarah bahasa bangsa asalnya
(Arab) dan berlabuh dalam pengalaman batin bangsanya sendiri (Sunda).
Karena, hasrat untuk mengabdi (beribadah) kepada Tuhan. Sebagai contoh,
merupakan kodrat asali dari sifat (rasa) kemanusiaan, bukan karena
agama. Agama lebih sebagai pemberi ruang bagi hasrat manusia untuk
beribadah, mengabdi.
Hasan Mustapa secara tegas mengungkapkan, “Nyembah ku henteu jeung rasana tara disebut sembah, Nyembah perbawa rasa, rasa teu diwarah heula.” Tak ada agama tanpa pengalaman rasa kapangeranan yang datang sebagai fakta individual.
Memilahbedakan agama dan qadrat kemanusiaan yang terbentuk dalam
budaya dan tradisi lokal yang telah menyiram dan memupuk rasa dan
kesadaran Ilahiah (Kapangeranan) dengan agama (Islam) yang memberikan
lokus bagi teraktualkannya hasrat tersebut, ibarat orang yang ingat akan
akhir tetapi lupa akan awal.
Dengan demikian, secara garis besar maksud Hasan Mustapa dengan paradigma nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina basa Arab
sebagai upaya efistemologis mempertemukan pengalaman dan rasa bahasa
antara Islam-Arab dengan Sunda, tanpa harus kehilangan identitas diri
dan kulturalnya sebagai orang Sunda. Produk efistem nguyang
tersebut melahirkan nalar dan cara beragama yang mampu menjadikan
lokalitas budaya lokal sebagai modal dasar spiritual dalam beragama
sehingga formalisme agama menemukan substansi spiritualnya.
Dengan paradigma ini, menjadi wajar bila dalam bahasa Sunda, seperti
diungkap Muhammad Musa, banyak ditemukan kosa kata bahasa Arab. Akan
tetapi, sebenarnya bahasa Arab tersebut secara substansial telah
mendapatkan nuansa kesundaan. Demikian juga sebaliknya sejumlah kosa
kata Sunda, khususnya yang berkenaan dengan term-term keagamaan, telah
berlabuh dalam makna keislamannya, bukan Arab.***
Sumber: Pikiran Rakyat, Selasa, 18 Maret 2003.
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.