Falsafah Sunda
Dalam
perbincangan ringan yang berisi tentang “Kasundaan” banyak disitir
tentang falsafah sunda, namun tak pula dapat dipungkiri jika
pandangannya berupa aktualisasi dari nilai-nilai yang pada saat itu
dianggap benar, bahkan menganggap masalah kasundaan sebagai sesuatu yang
tak perlu diperbicangkan lagi, bahkan prehistoris. Saya kadang bertanya
tentang sumber dari falsafah “Sunda” itu sendiri, apakah dari nilai dan
aktualisasi keyakinan para petuturnya atau memang ada rujukan yang bisa
dijadikan indikator. Masalah rujukan tentu menjadi lingkaran setan.
Terutama ketika disadari bahwa pengaruh jaman dan perubahannya niscaya
menjadi factor lain keberadaannya.
Saya
agak terhenjak ketika membaca Web-nya Pak Ayip Rosidi (baca :
http://ajip-rosidi.com) tentang sumber dan indikator dari falsafah
sunda. Memang beliau sangat sistimatik. Sama dengan cara para ilmuwan
menguraikan tentang suatu ilmu, yakni logis dan rational.
Dalam
prakteknya sumber-sumber dan acuan nilai tidak selamanya ditemukan
dalam sumber dan data ilmiah. Karena patut disadari juga bahwa pencarian
sejarah sunda pun harus melingkar dan masuk dari aras lain, seperti
cerita-cerita lisan masyarakat, dalam karya sastra, pantun dan
dongeng-dongeng rakyat, bahkan ada yang mengambil dari forum
supranatural dan spiritual. Memang cara ini ada sisi lemahnya, karena
muatan sejarah menjadi tertambahkan atau terkurangi.
Nakh,
untuk mengetahui tentang Falsafah sunda, saya sajikan makalahnya Pak
Ayip Rosidi. Mudah-mudahan dapat mengantarkan pada pemahaman tentang
pengetahuan pandangan hidupnya “Urang Sunda”, seperti berikut ini.
-o0o-
Kajian tentang Falsafah Sunda
Oleh : Ajip Rosidi
Oleh : Ajip Rosidi
----------------------------------------
Panitia
meminta saya berbicara tentang “Kajian Sejarah dan Falsafah Sunda”.
Sejarah dan Falsafah adalah dua bidang kajian yang berlainan dan
masing-masing memerlukan keahlian sendiri, sedangkan saya bukan ahli
dalam keduanya. Saya mau menerima permintaan Panita, namun hanya
mengenai salah satu bidang saja, ialah tentang Falsafah Sunda. Bukan
karena saya merasa tahu tentang falsafah Sunda, melainkan karena
belakangan ini saya dengar banyak sekali orang yang berbicara tentang
“falsafah Sunda” yang menimbulkan tandatanya pada diri saya. Apakah
sebenarnya yang dimaksud dengan “falsafah Sunda”? Yang saya tangkap
kalau saya dengar orang berbicara atau menulis tentang “fasafah Sunda”
hanyalah pikiran-pikiran orang itu sendiri yang sering tidak rasional,
tidak sistimatis dan tidak jelas metodologinya. Biasanya merupakan
campuran mitos, mistik dan kirata basa saja. Ngawur!
Panitia
sendiri menulis dalam Term of reference-nya, bahwa “Sunda dan kesundaan
sangat kaya akan pelajaran dan falsafah hidup.” Tidak tahu dari mana
kesimpulan itu diperolehnya. Saya sendiri sampai sekarang tidak berhasil
menemukan “kekayaan” itu. Banyak hal yang dibanggakan sebagai milik
orang Sunda atau warisan dari karuhun Sunda, setelah dikaji agak
mendalam ketahuan bawa sebenarnya hanya cangkokan saja dari India, dari
Jawa, atau dari Islam. Pencangkokan yang sering tidak pula dilakukan
secara profesional.
“Falsafah”
atau “palasipah”, “filsafah”, “filsafat” artinya sama dengan istilah
“philosophy” dalam bahasa Inggris. Menurut The Oxford Companion to
Philosophy (ed. Ted Honderich, New York, Oxford University Press, 1995),
definisi “philosophy” yang paling singkat dan tepat ialah berpikir
tentang berpikir (thinking about thinking). Adapun definisi yang lebih
rinci menurut buku itu ialah: berpikir secara kritis dan rasional,
secara kurang lebih sistimatis mengenai keadaan umum dunia (metafisik
atau tiori tentang eksistensi), pembenaran atas kepercayaan
(epistemologi atau teori tentang ilmu pengetahuan) serta cara hidup
sehari-hari (etika atau teori nilai).
Apakah
orang Sunda mempunyai tradisi berpikir tentang berpikir? Pertanyaan
sederhana ini susah dijawab, karena dalam tradisi filsafah, berpikir itu
tidak hanya yang dilakukan dalam kepala seseorang, melainkan harus
ditulis, sehingga bukan saja dapat diketahui oleh orang yang tidak
berkenalan langsung dengan orang itu, melainkan juga kebenaran dan
ketelitiannya dapat diukur dan diuji setiap saat. Harus diakui bahwa
tradisi menulis di kalangan orang Sunda, walaupun ada naskah bahasa
Sunda yang berasal dari abad ke-16 dan sejak abad ke-19 banyak sekolah
didirikan di Tatar Sunda sehingga orang Sunda termasuk yang pertama
mendapat kesempatan untuk menuliskan bahasa ibunya dengan huruf Latin
dan menggunakannya dalam buku-buku yang tercetak, namun kebiasaan
menulis, apalagi menuliskan pikiran-pikiran secara kritis dan rasional
mengenai eksistensi kehidupan, dan mengenai teori ilmu pengetahuan tidak
pernah berkembang. Yang kita temui dalam naskah-naskah kuna Sunda
terutama tentang etika. Hal itu nampak dalam naskah-naskah yang ditulis
dalam bahasa dan huruf Sunda Kuna - yang sekarang hanya bisa dibaca dan
dimengerti oleh beberapa orang saja, tidak akan lebih dari 10 orang!
Begitu juga dalam naskah-naskah yang lebih kemudian yang ditulis dalam
bahasa Sunda dengan huruf Pegon, huruf Hanacaraka, maupun dengan huruf
Latin. Sejak abad ke-19, orang Sunda menuliskan bahasa Sunda yang
diterbitkan berupa buku, tetapi seperti juga naskah-naskah isi buku-buku
itu kebanyakan berupa cerita atau uraian tentang agama. Hampir tidak
ada yang bersifat hasil pemikiran, apalagi yang kritis! Bersikap kritis
dalam masyarakat Sunda dianggap kurang ajar. Henteu Nyunda.
Satu-satunya
kekecualian mungkin hanyalah H. Hasan Mustapa (1852-1930) yang banyak
menuliskan renungan dan pendapatnya yang kritis, terutama dalam bentuk
puisi, walaupun banyak juga yang berbentuk prosa. Tetapi karya-karyanya
kebanyakan disalurkan melalui cara pesantrén tradisional, yaitu beredar
dengan disalin melalui tulisan tangan dari seorang kepada yang lainnya.
Hanya tiga buah karyanya yang dicetak selama hidupnya yaitu Bab Adat
Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Éta (1913) dan Buku Leutik
Pertélaan Adat Jalma-jalma di Pasundan (1916). Keduanya merupakan
deskripsi étnografis, bukan hasil renungan dan pemikirannya. Yang satu
lagi, walaupun terbit ketika HHM masih hidup, namun disusun oleh W.A.
(Wangsaatmadja), berjudul Balé Bandung (1924), yang merupakan kumpulan
surat-menyurat antara HHM dengan Kiai Kurdi dari pesantrén Sukawangi,
Singaparna. Surat-menyurat itu terutama membahas masalah ketuhanan
(tauhid) dalam bentuk puisi rakyat.
Di
samping itu masih dapat dipersoalkan apakah ada “falsafah” sesuatu
bangsa atau suku bangsa? Kalau kita berbicara tentang falsafah Yunani
misalnya, yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh
banyak filosof: Sokrates, Plato, Aristoteles, Anaxagoras, Aristippus,
Protagoras dll. Di samping itu ada juga falsafah Yunani modern yang
berkembang pada zaman modern yang juga diwakili oleh banyak pemikir yang
tidak selalu sejalan seperti Peter Vrailas-Armenis, Konstantine
Tsatsos, Panayotis Kanellopoulos, Teophilos Voreas, Christos Androutsos
dll. Keseluruhan pemikiran para filosof itulah yang membangun apa yang
disebut “falsafah Yunani”. Di antara mereka pemikirannya bukan saja
tidak selalu sejalan, melainkan sering juga bertentangan satu sama lain.
Jadi bukan hanya satu macam pemikiran yang bulat menjadi hasil
pemikiran orang Yunani. Hal yang sama terjadi juga kalau kita mau
berbicara tentang “falsafah Cina”, “falsafah India”, “falsafah Jepang”,
dll. Yang dimaksud selalu berarti seluruh pemikiran yang timbul di
masing-masing negara itu dan tidak selalu merupakan kesatuan yang bulat,
karena terdapat perbedaan bahkan pertentangan paham satu sama lain.
Dengan demikian “falsafah orang Sunda” harusnya terdiri dari semua
pemikiran yang dikemukakan orang Sunda selama sejarahnya tentang hidup,
tentang mati, tentang seni, tentang agama dll. Masalahnya ialah karena
orang Sunda tidak (banyak) meninggalkan naskah tertulis mengenai hal
itu, sehingga kita sulit menjejakinya.
Kalau
kita hendak berbicara tentang “filsafah Sunda” atau “falsafah orang
Sunda”, kita tidak akan banyak menemukan hasil pemikiran orang Sunda
yang tertulis. Memang pemikiran manusia tidak hanya dalam bentuk tulisan
saja. Yang lisan pun bukannya tidak berharga. Tradisi lisan menurunkan
pemikiran nenek moyang kepada anak cucunya melalui berbagai cara.
Niscaya orang Sunda terutama mempergunakan cara lisan dalam menyampaikan
kearifan hidupnya, karena tradisi tulisan belum melembaga dalam
masarakat. Tapi sejak beberapa dasawara lembaga-lembaga lisan yang
dahulu menjadi cara menurunkan kearifan hidup orang Sunda sudah tidak
berfungsi lagi. Kearifan hidup dari nenek moyang tidak lagi disampaikan
kepada anak cucu, karena masarakat Sunda mengalami perubahan yang sangat
mendasar. Hanya sebagian kecil saja kearifan nenek moyang orang Sunda
yang sempat dicatat dan dengan demikian tersimpan. Itu pun tidak dapat
disalurkan untuk diketahui oleh anak-cucunya, karena lembaga-lembaga
pendidikan dan komunikasi yang sekarang dikenal tidak memberi tempat
untuk hal-hal demikian. Artinya kalaupun ada apa yang disebut “falsafah
Sunda”, namun hampir tidak dikenal lagi oleh komunitas manusia yang
sekarang disebut orang Sunda. Karena “falsafah” itu merupakan pandangan
tentang hidup (dan juga tentang mati) yang dianut seseorang atau
sekelompok orang, maka kadang-kadang “falsafah” diartikan sama dengan
“pandangan hidup”. Istilah “pandangan hidup orang Sunda” pernah
dijadikan kajian satu tim peneliti yang dilaksanakan kl. 20 tahun yl.
Proyék
Sundanologi ketika dipimpin oleh Prof. Dr. Édi Ékadjati pada paruh
kedua tahun 1980-an mengadakan penelitian tentang “Pandangan hidup Orang
Sunda” dan menghasilkan tiga judul buku yang masing-masing dikerjakan
oleh tim peneliti yang berlain-lainan. Yang pertama Pandangan Hidup
orang Sunda seperti tercermin dalam Tradisi lisan dan Sastra Sunda
(1987) yang ditulis oleh Tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Suwarsih
Warnaén dengan anggota Dr. Yus Rusyana, Drs. Wahyu Wibisana, Drs.
Yudistira K. Garna dan Dodong Djiwapradja SH. Yang kedua sama judulnya
(1987), hanya dengan keterangan tambahan “Konsistensi dan Dinamika” dan
walaupun Ketua Tim tetap, namun anggotanya berubah menjadi Dodong
Djiwapradja SH, Drs. H. Wahyu Wibisana, Drs. Kusnaka Adimihardja MA, Dra
Nina Herlina Sukmana dan Dra Ottih Rostoyati. Sedang yang ketiga
judulnya berubah menjadi Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin
dalam kehidupan Masyarakat Dewasa Ini (1988/1989) dengan Tim yang
terdiri dari Dr. Yus Rusyana, Drs. Yugo Sariyun MA, Dr. Edi S. Ekadjati,
dan Drs. Undang Ahmad Darsa.
Ketiga
buku itu sampai sekarang merupakan hasil kajian yang boleh dikatakan
cukup mendalam tentang pandangan hidup orang Sunda, baik yang tertulis
dalam naskah-naskah dan buku-buku, maupun yang terdapat dalam tradisi
lisan dan berdasarkan hasil wawancara terhadap orang-orang Sunda dewasa
ini - yaitu pada masa penelitian itu dilangsungkan kl. 20 tahun yl.
Penelitian tahap I sampai pada kesimpulan yang ternyata konsisten dengan
hasil penelitian pada tahap II, namun kesimpulan pada tahap III
menunjukkan terjadi pergeseran-pergeseran dalam berbagai hal.
Dalam
kesempatan ini saya ingin menjadikan hasil penelitian itu sebagai
pegangan kita dalam mencari jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana
gerangan yang disebut “falsafah Sunda” tanpa terjebak dalam persoalan
apakah istilah “falsafah” yang dimaksud oleh Panitia sama dengan istilah
“pandangan hidup”, tidakkah “pandangan hidup” lebih sempit dari
“falsafah” dan sebagainya.
Penelitian
tentang Pandangan hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam tradisi
lisan dan sastera Sunda, dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1. pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi;
2. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat;
3. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam;
4. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan;
5. pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Pada
tahap pertama penelitian dilakukan terhadap tradisi lisan dan sastera
Sunda, yaitu yang berupa ungkapan tradisional, carita pantun Lutung
Kasarung, naskah Sanghyang Kanda ng Karesian, sawér pangantén, roman
Pangéran Kornél (1930) dan Mantri Jero (1928) karya R. Méméd
Sastrahadiprawira. Pada tahap kedua penelitian dilakukan terhadap uga,
Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda lian ti éta (1913) karya H. Hasan
Mustapa, cerita-cerita si Kabayan, cerita rakyat (yang sudah dibukukan),
roman Rusiah nu Goréng Patut (1928, harusnya 1927) karya Yuhana, Lain
Éta (1934) karya Moh. Ambri, Maot dina Dahan Jéngkol (1986) karya Ahmad
Bakri.
Menurut
kesimpulan para peneliti, tidak banyak berbeda hasil penelitian tahap I
dan tahap II, kecuali bahwa penelitian tahap I memberikan gambaran
tentang pandangan hidup orang Sunda golongan élit, sedangkan penelitian
tahap II memberikan gambaran tentang pandangan hidup orang Sunda
kebanyakan (balaréa).
Penelitian
tahap III dilakukan dengan mengajukan kuesioner kepada sejumlah orang
Sunda kontemporer (yang hidup pada waktu penelitian dilangsungkan),
sebagai sampel diambil beberapa wilayah di Tatar Sunda, ialah Kotamadya
Bandung, Sumedang Kota, Cianjur Kota, Sumedang pedesaan, Garut pedesaan,
Tasikmalaya pedesaan dan Sukabumi pedesaan. Semua responden dari
seluruh wilayah jumlahnya 7 X 48 orang = 336 orang, berusia antara 17 -
60 tahun, baik orang yang mampu maupun yang tidak mampu, baik pegawai
negeri atau pun bukan. Tim peneliti menganggap bahwa sampel 336 orang
itu representatif mewakili orang Sunda masa penelitian dilakukan yang
jumlahnya pasti di atas 20 juta orang.
Ternyata
pada umumnya pandangan hidup orang Sunda kontemporer itu umumnya masih
tetap sama dengan pandangan hidup orang Sunda hasil penelitian tahap I
dan tahap II, kecuali pada beberapa hal terjadi pergeseran bahkan
perubahan.
Secara singkat, akan saya rumuskan isi hasil penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi
Orang
Sunda berpandangan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang baik,
dan senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam
semesta. Sifat-sifat yang dianggap baik al. harus sopan, sederhana,
jujur, berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan, baik
hati, bisa dipercaya, menghormati dan menghargai orang lain, waspada,
dapat mengendalikan diri, adil dan berpikiran luas serta mencintai
tanahair dan bangsa. Untuk mempunyai tujuan hidup yang baik, harus punya
guru yang akan menuntunnya ke jalan yang benar. Guru dihormati dalam
masyarakat Sunda. Bahkan Tuhan Yang Maha Esa juga disebut Guru Hyang
Tunggal. Dalam naskah Siksa Kandang Karesian dikatakan bahwa orang dapat
berguru kepada siapa saja. Dianjurkan agar bertanya kepada orang yang
ahli dalam bidangnya. Teladani orang yang berkelakuan baik. Terimalah
kritik dengan hati terbuka. Ambil manfaatnya dari teguran dan nasihat
orang lain.
2. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat
Tujuan
hidup yang dianggap baik oleh orang Sunda ialah hidup sejahtera, hati
tenang dan tenteram, mendapat kemuliaan, damai, merdeka dan mencapai
kesempurnaan di akhirat. Sejahtera berarti hidup berkecukupan. Tenang
dan tenteram berarti merasa bahagia. Mendapat kemuliaan berarti disegani
dan dihormati orang banyak, terhindar dari hidup hina, nista dan
tersesat. Hidup damai artinya rukun, akrab dengan tetangga dan
lingkungan. Orang yang merdeka artinya terlepas dari ujian dan terbebas
dari hidup tanpa tujuan. Dan kesempurnaan akhirat ialah terhindar dari
kema’siatan dunia dan ancaman neraka di akhirat.
Untuk
mencapai tujuan hidup itu orang harus taat kepada ajaran-ajaran
karuhun, pesan orangtua dan warisan ajaran yang tercantum dalam
cerita-cerita pantun, dan yang berbentuk naskah seperti Siksa Kandang
Karesian. Ajaran-ajaran itu punya tiga fungsi: (1) sebagai pedoman dalam
menjalani hidup; (2) sebagai kontrol sosial terhadap kehendak dan nafsu
yang timbul pada diri seseorang dan (3) sebagai pembentuk suasana dalam
masyarakat tempat seseorang lahir, tumbuh dan dibesarkan yang secara
tak sadar meresap ke dalam diri semua anggota masyarakat.
Semangat
bekerjasama dalam masyarakat harus dipupuk dan dikembangkan. Harus
saling hormat dan bertatakrama, sopan dalam berkata, sikap dan kelakuan.
Harus saling sayangi sesama anggota masyarakat.
3. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam
Orang
Sunda beranggapan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang
maksimal kepada manusia apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta
dipelihara dengan baik dan digunakan hanya secukupnya saja. Kalau alam
digunakan secara berlebihan apalagi kalau tidak dirawat dan tidak dijaga
kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan kesengsaraan.
Dalam
Siksa Kandang Karesian misalnya terdapat ungkapan, “makan sekedar tidak
lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk makan,
dll. ” yang berarti tidak boleh berlebihan. Orang Sunda dianjurkan agar
“siger tengah” atau “siniger tengah”, yaitu tidak kekurangan tetapi
tidak berlebihan. Samasekali bukan untuk kemewahan, melainkan hanya
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian tidak menguras
atau memeras alam secara berlebihan, sehingga terjaga kelestariannya.
4. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan
Sejak
pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa
Tuhan itu Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa
Hindu ditempatkan di bawah Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara
Tunggal. Tuhan Maha Mengetahui, mengetahui apa yang diperbuat mahlukNya,
karena itu manusia wajib berbakti dan mengabdi kepada Tuhan. Tuhan
disebut juga Nu Murbéng Alam (Yang Menguasai Alam), Nu Mahawisésa (Yang
Mahakuasa), Nu Mahaasih (Maha Pengasih), Gusti Yang Widi (Yang Maha
Menentukan), Nu Mahasuci (Yang Maha Suci), dll. Tuhan menghidupi
mahlukNya, memberi kesehatan, memberi rizki dan mematikannya pada
waktunya.
5. Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Orang
Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerjasama untuk
kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras dan
tidak mudah menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada
kecepatan menyelesaikannya. Tidak menunda pekerjaan yang belum selesai
apalagi menyerahkannya kepada orang yang bukan ahlinya. Mau mengerjakan
yang baik meskipun pekerjaan kasar. Kesehatan dipelihara, makan cukup,
pakaian bersih dan pantas, punya kedudukan, punya harta kekayaan. Tidak
buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah
meninggalkan yang berharga warisan nenekmoyang. Memperlihatkan rasa
tanggungjawab, tidak boros, selalu mengukur keinginan dan keperluan
dengan penghasilan, dan selalu hidup sederhana. Kreatif mencari lapangan
kerja sendiri dan percaya pada kekuatan sendiri, menyesuaikan diri
dengan lingkungan, dengan perkembangan zaman dan dengan kebiasaan yang
berlaku di tempat hidupnya. Berusaha mencapai hari depan yang lebih
baik. Mempelajari ilmu sampai mendasar sehingga dapat diamalkan.
Pergeseran dan perubahan
Dari
hasil penelitian tahap III yang berupa kuesioner terhadap sejumlah
sampel, di sejumlah daerah, terlihat adanya nilai-nilai yang tetap
dipertahankan, ada yang bergeser dan ada pula yang berubah. Pada
pandangan hidup manusia sebagai pribadi terdapat pergeseran mengenai
pantangan (harus ada alasan yang masuk akal), hidup berkumpul dengan
keluarga, membela kehormatan, hidup selamat dan hidup sederhana.
Pandangan semula tidak ditolak sama sekali, tetapi disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Yang mengalami perubahan adalah mengenai bicara
arif, bertindak hati-hati, ramah kepada pedatang, pengalihan kebiasaan
dan tentang hidup yang dicita-citakan. Orang bicara tak usah lagi
malapah gedang, lebih baik blak-blakan, tak usah terlalu menenggang
perasaan orang lain. Terhadap para pedatang, sekarang menjadi harus
waspada. Kebiasaan dirubah sesuai dengan kebutuhan, misalnya kebiasaan
menanam padi, kalau ternyata memelihara ikan lebih menguntungkan, maka
kebiasaan itu ditinggalkan.
Pada
pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat, cenderung
terjadi pergeseran dan perubahan dalam semua hal. Misalnya tentang
membantu anggota keluarga yang miskin, sewaktu-waktu dan seperlunya
saja, jangan sampai yang ditolong meng-gantungkan diri pada orang lain.
Terhadap orang tua tidak lagi menuruti segala keinginan dan nasihatnya,
bergeser menjadi asal tidak melupakan dan menghargai jasa-jasanya. Dalam
menghadapi hal yang tidak disetujui, kalau semula diam, sekarang
menyatakan pendapat dan merundingkannya, bahkan memerotesnya. Yang
berubah ialah tentang perkawinan dengan orang daerah lain (menjadi
terbuka), tentang tugas isteri terhadap suami (menjadi setara sebagai
teman hidup).
Pada
pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan, terjadi
penguatan dan pergeseran. Kepercayaan orang Sunda akan Tuhan dan akan
keesaan Tuhan, sekarang menjadi lebih kuat. Keyakinan akan Tuhan
Mahakuasa kian kuat. Manusia harus berusaha dan berdo’a tapi pasrah akan
hasilnya. Pendidikan agama dianggap kian penting baik di rumah, di
sekolah, di madrasah, maupun di masjid. Yang bergeser adalah yang
bertalian dengan upacara adat seperti membuat sasajén, dan sikap
terhadap uga.
Pandangan
hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan
batiniah mengalami sedikit pergeseran. Umumnya nilai-nilai lama
dipertahankan. Hanya kekayaan yang semula dipandang sebagai hal yang
menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan sekarang dipandang sebagai hal
yang mendorong orang untuk menyegani pemiliknya.
Dengan
demikian Tim Peneliti berkesimpulan bahwa “pandangan hidup orang Sunda
dengan tetap berakar pada tradisinya telah dan sedang mengalami
pergeseran dan perubahan, setidak-tidaknya dialami oleh orang-orang yang
menetap di kawasan sampel penelitian.
Nampak
pergeseran dan perubahan ke arah pandangan yang lebih waspada, yang
lebih bertauhid dalam agama, yang lebih realistis dalam bermasyarakat
dan lebih memahami aturan alam.” (jilid III h. 259).
Pareumeun Obor
Melihat
bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I dan II, kita dapat
diyakinkan bahwa hasilnya dapat dikatakan representatif mewakili alam
pikiran orang Sunda seperti yang tercermin dalam tradisi lisan dan
sastera Sunda - walaupun menimbulkan tandatanya mengapa dari H. Hasan
Mustapa yang dijadikan bahan adalah Bab Adat Urang Priangan jeung urang
Sunda Lian ti Éta saja yang merupakan deskripsi etnografis, dan tidak
satu pun karyanya yang merupakan hasil pemikiran baik yang berbentuk
prosa maupun yang berbentuk puisi dijadikan sumber. Tapi hal itu mungkin
disebabkan karena karya-karya HHM umumnya belum diterbitkan sebagai
buku - yang menimbulkan tandatanya pula karena banyak sumber lain yang
berasal dari lisan malah digunakan sebagai bahan. Yang penting ternyata
dalam hasil penelitian tahap I dan tahap II tidak tercermin adanya
perubahan-perubahan dalam perjalanan masa, padahal bahan-bahan yang
digunakan itu berasal dari masa dan lingkungan yang tidak sama. Begitu
pula melihat bahwa dalam penelitian tahap III, yang dijadikan sampel
hanya 336 orang, kita bertanya-tanya apakah benar telah secara
representatif mewakili alam pikiran orang Sunda yang jumlahnya pasti
lebih dari 20 juta, meskipun peneliti telah berusaha mengajukan
kuesioner kepada orang Sunda di kota maupun di pedesaan.
Keraguan
itu diperkuat ketika kita membaca hasilnya yang menimbulkan tandatanya,
misalnya apakah betul hanya terjadi sedikit pergeseran dan perubahan
pada pandangan hidup orang Sunda yang dirumuskan dalam penelitian tahap I
dan II dengan hasil penelitian tahap III? Apakah betul pandangan hidup
orang Sunda tetap berakar pada tradisinya dengan hanya mengalami
pergeseran dan perubahan sedikit pada hal-hal tertentu saja ?
Misalnya
bertalian dengan pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, hasil
penelitian tahap I dan II menyatakan bahwa a.l. “orang Sunda itu berani
dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan ……berpikiran luas
serta mencintai tanahair dan bangsa”. Padahal dalam kehidupan nyata di
sekeliling kita sekarang, apakah kita melihat nilai-nilai tersebut
dilaksanakan oleh orang Sunda? Mungkin ada orang-orang Sunda yang
demikian, tetapi menurut pengamatan saya bukanlah merupakan nilai yang
secara umum diperlihatkan oleh orang Sunda sehari-hari. Memang ada Tétén
Masduki, ada Erry Riyana Hardjapamekas, dan beberapa orang atau
beberapa puluh orang lagi, tetapi secara umum orang Sunda tidak bersikap
seperti mereka. Kebanyakan merasa lebih baik memilih diam melihat
kebenaran dan keadilan diperkosa. Umumnya menganggap bersikap pura-pura
tidak tahu sebagai sikap yang bijaksana - alias tidak bersikap “berani
dan teguh pendirian”. Nilai-nilai tersebut mungkin dijaring dari naskah
kuna seperti Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518, ketika
kerajaan Sunda masih berdiri dan manusia Sunda masih merdeka. Tetapi
setelah Tatar Sunda dijajah Mataram (sejak awal abad ke-16) dan kemudian
oleh Belanda (sejak abad ke-18) dan Jepang (1942-1945), manusia Sunda
menjadi manusia yang paling lama dijajah di Indonesia dan mentalnya
sudah berubah menjadi mentalitas manusia jajahan, yang selalu ketakutan
dan tidak berani mengemukakan pikiran sendiri karena “heurin ku létah”
dan sebagai abdi dalem yang setia selalu melihat ka mana miringna bendo.
Lebih mengutamakan keselamatan dan kedudukan pribadi daripada
memperlihatkan sikap “berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan
keadilan”.
Menurut
Siksa Kandang Karesian orang harus menerima kritik dengan hati terbuka,
tetapi kita tahu kritik dianggap tabu dalam masyarakat Sunda bahkan
juga sampai sekarang. Orang yang berani mengeritik dianggap henteu
Nyunda! Artinya telah terjadi pergeseran dari sikap terbuka terhadap
kritik yang terdapat pada masa Siksa Kandang Karesian. Tetapi sejak
kapan pergseran itu terjadi, tidak diketahui.
Peneliti
agaknya tidak menangkap bahwa nilai-nilai yang dimuat dalam Siksa
Kandang Karesian sudah banyak yang tidak diikuti lagi dalam kehidupan
nyata orang Sunda sejak beberapa lama - mungkin beberapa abad. Hal yang
dapat kita maklumi karena naskah Siksa Kandang Karesian tidak dikenal
lagi oleh orang Sunda umumnya sejak beberapa abad.
Juga
mengenai pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia dengan
alam, kita misalnya dapat mempertanyakan tentang kesadaran untuk
melestarikan alam yang harus “dirawat dan dipelihara dengan baik dan
digunakan secukupnya saja”. Sudah lama kita melihat - lama sebelum pada
masa reformasi orang Sunda meranjah hutan Sancang dan hutan lindung lain
sehingga di Tatar Sunda sekarang hampir bisa dikatakan tidak ada lagi
hutan - para pejabat orang Sunda di Bappeda memperkosa tanah subur dan
sungai-sungai dengan menjadikannya sebagai kawasan industri. Suara yang
mengingatkan akan bahaya yang bisa ditimbulkannya tidak pernah didengar.
Nasihat Siksa Kandang Karesian tentang “makan sekedar tidak lapar,
minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk hidup” sudah
lama tidak diperhatikan. Orang Sunda sekarang kebanyakan sudah
terpengaruh oleh faham kapitalistis yang serakah dan tidak pernah merasa
kenyang dengan apa yang sudah didapat.
Nilai-nilai
dalam pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah
dan kepuasan batiniah juga sudah berubah. Mengutamakan mutu hasil kerja
misalnya sudah dikalahkan oleh keinginan menghasilkan sebanyak mungkin -
dengan konsekuensi mutunya menurun. Nilai tentang hidup sederhana
sekarang hanya dilaksanakan karena terpaksa. Dan kalau terpaksa semua
orang juga bisa, walaupun hasratnya yang menonjol adalah mencapai
kehidupan duniawi yang penuh gemerlapan. Kalau perlu tanpa memperhatikan
larangan-larangan yang diturunkan dari leluhurnya. Juga nilai “tidak
buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah
meninggalkan warisan nenek moyang yang berharga” tidak kelihatan lagi.
Sekarang semua orang seperti berlomba-lomba menerima bahkan merebut yang
baru walaupun belum tahu baik buruknya dan tidak nampak usaha untuk
mempertahan kan warisan nenekmoyang yang berharga.
Pertanyaan-pertanyaan
itu timbul karena memang kita sebagai orang Sunda, sebagai bangsa
Indonesia, sedang mengalami perubahan sosial yang luar biasa. Perubahan
yang mengguncangkan dan mencabut nilai-nilai warisan nenekmoyang yang
karena perjalanan sejarah tidak dapat disampaikan secara baik dari
generasi tua kepada generasi selanjutnya, baik secara lisan maupun
secara tulisan. Misalnya nilai-nilai yang dikemukakan dalam Siksa
Kandang Karesian, yang pada masanya menjadi pegangan orang banyak selama
berabad-abad hanya secara fragmentaris saja disampaikan oleh generasi
tua kepada generasi yang berikutnya. Sementara itu telah datang agama,
budaya dan nilai-nilai baru dari luar yang merasuk ke dalam masyarakat
baik yang di kota maupun yang di desa, baik yang termasuk golongan elit
maupun yang termasuk golongan balaréa, dibawa oleh para saudagar, para
penjajah, dan lain-lain. Semuanya itu mempengaruhi nilai-nilai yang
dianut oleh orang Sunda dalam hidupnya dari masa ke masa. Sementara
pewarisan nilai-nilai asli peninggalan nenekmoyangnya tidak berlangsung
secara baik, sehingga orang Sunda sekarang seperti pareumeun obor.
Pabelan, 12 Agustus, 2006.
Disadur :
Oleh : Agus Setia Permana
Dari : Kajian tentang Falsafah Sunda, Oleh Ajip Rosidi - Disampaikan sebagai Makalah Pelatihan Kepemimpinan Putra Sunda yang diadakan oleh Gema Jabar tanggal 21 Agustus 2006.
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.