SUNDA WIWITAN
Sunda Wiwitan (Bahasa
Sunda: "Sunda permulaan", "Sunda sejati", atau "Sunda asli") adalah
agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur
(animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional
Sunda.[1] Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama
Sunda Wiwitan juga memiliki unsur monotheisme purba, yaitu di atas para
dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha
kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan
dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi
Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar
Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur,
Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang
dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan
Islam.
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng
karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang
berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi
pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional
Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung
Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan
penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang.
Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki
oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran
Islam.[2] Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai
ajaran "Jatisunda".
Mitologi dan sistem kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
- Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
- Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
- Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang
atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang.
Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi
Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana.
Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang
dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan
batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah
Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
Filosofi
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur
yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang
secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani,
sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran
tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip,
yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
- Welas asih: cinta kasih
- Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
- Tata krama: tatanan perilaku
- Budi bahasa dan budaya
- Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya
Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua
manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun,
ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang
lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia
tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
- Rupa
- Adat
- Bahasa
- Aksara
- Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab
Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara
mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang
tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal
tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya
dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa
menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para
pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada
dua.
- Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
- Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan,
yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati
serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka
ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam
bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan oleh
mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal
sebagai orang Baduy Dalam.
Tradisi
Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian
pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari
upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang
berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan
Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu
berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun
dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Kanekes, Lebak, Banten;
Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan
Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih
memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini
datang dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang
memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah
diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam
kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum
meninggalkan agama Sunda ini.
Tempat suci
Tempat suci atau tempat pemujaan yang dianggap sakral atau keramat
dalam Agama Sunda Wiwitan adalah Pamunjungan atau disebut Kabuyutan.
Pamunjungan merupakan Punden Berundak yang biasanya terdapat di bukit
dan di Pamunjungan ini biasanya terdapat Menhir, Arca, Batu Cengkuk,
Batu Mangkok, Batu Pipih dan lain-lain.
Pamunjungan atau Kabuyutan banyak sekali di Tatar Sunda seperti Balay
Pamujan Genter Bumi, Situs Cengkuk, Gunung Padang, Kabuyutan
Galunggung, Situs Kawali dll. Di Bogor sendiri sebagi Pusat Nagara Sunda
dan Pajajaran dahulu terdapat Banyak Pamunjungan beberapa diantaranya
adalah Pamunjungan Rancamaya nama dahulunya adalah Pamunjungan Sanghyang
Padungkukan yang disebut Bukit Badigul namun sayang saat ini
Pamunjungan tersebut sudah tidak ada lagi digantikan oleh Lapangan Golf.
Pada masanya Pamunjungan yang paling besar dan mewah adalah
Pamunjungan Kihara Hyang yang berlokasi di Leuweung (hutan) Songgom,
atau Balay Pamunjungan Mandala Parakan Jati yang saat ini lokasinya
digunakan sebagai Kampung Budaya Sindang Barang.
Dengan banyaknya Pamunjungan atau Kabuyutan tersebut di Tatar Sunda
membuktikan bahwa agama yang dianut atau agama mayoritas orang Sunda
dahulu adalah Agama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan, ini adalah jawaban
kenapa di Sunda sangat jarang sekali diketemukan Candi. Namun begitu
Hindu dan Budha berkembang baik di Sunda bahkan Raja Salaka Nagara juga
Tarumanagara adalah seorang Hindu yang taat. Candi Hindu yang ditemukan
di Tatar Sunda adalah Candi Cangkuang yang merupakan candi Hindu
pemujaan Siwa dan Percandian Batujaya di Karawang yang merupakan
kompleks bangunan stupa Buddha. (dari Wikipedia)
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.