Pancakaki; Penelusuran Silsilah dalam Tradisi Sunda
Dalam kisah “Mundinglaya Dikusumah” diceritakan bahwa lengser (pembantu umum raja) Muaraberes ditugaskan mencari honje,
sejenis tanaman berkelopak seperti jahe yang buahnya masam dan biasa
dijadikan bumbu atau bahan manisan. Ketika itu, permaisuri raja yang
sedang mengandung rupanya mengidam honje. Singkat kata, lengser mendapatkannya. Tapi di tengah jalan ia berpapasan dengan lengser
Pajajaran, yang juga sedang mencari honje untuk permaisuri Pajajaran
yang sedang mengandung pula. Apa daya, kala itu honje amat langka.
Lengser Pajajaran tak kehabisan akal. Kepada lengser Muaraberes ia berkata, “Tatkala
kakekku kawin dengan nenekku, kakekmu juga kawin dengan nenekmu; lalu
sama-sama punya anak: ayahku dan ayahmu. Bapakku kawin dengan ibu,
bapakmu kawin dengan ibumu. Lalu sama-sama punya anak lagi, yaitu aku
dan kamu. Jadi, kita ini sama-sama anak ayah dan ibu. (Kita) masih
bersaudara, tetapi lain ayah lain ibu. Kamu harus memanggilku kakak.”
Dari paparan di atas, jelas bahwa di antara keduanya tidak memiliki hubungan kekerabatan apapun. Hanya saja pembicaraan Lengser Pajajaran begitu memikat hati Lengser Muaraberes sehingga lengser Muaraberes rela memberikan sebagian honje-nya.
Demikianlah Edi S. Ekadjati mencontohkan dalam Pancakaki, Asal Usul dan Maknanya (2005). Dalam Bahasa Sunda, Pancakaki memiliki dua arti. Pertama pancakaki
sebagai hubungan seseorang dalam sebuah silsilah keluarga. Ikatan
keluarga pada masyarakat Sunda bisa sangat luas, karena tidak hanya
ikatan yang bersentuhan langsung atau vertikal seperti orang tua dengan
anak, cucu, dan sebagainya, tetapi juga bisa terjadi secara horizontal
seperti paman, bibi, keponakan, dan sebagainya. Atau malah tidak di
antara keduanya, seperti keponakan anak adik, keponakan anak kakak, dan
seterusnya.
Kedua, pancakaki juga dapat diartikan sebagai proses
penelusuran hubungan seseorang terhadap jalur kekerabatan yang
dimilikinya. Hal ini bisa secara sengaja ketika menelusuri tali keluarga
yang hilang, atau bisa jadi sebagai obrolan yang berguna sebagai
penghilang kekakuan dalam sebuah percakapan dengan seseorang yang baru
dikenal seperti yang dilakukan Lengser Pajajaran kepada Lengser Muaraberes di atas.
Mengenai sistem kekerabatan, masyarakat Sunda menggunakan sistem
kekerabatan bilateral, yaitu dilihat dari garis yang diturunkan ayah dan
ibu. Oleh karena itu, dalam tradisi Sunda tidak mengenal istilah marga
atau embel-embel nama keluarga seperti yang terjadi pada masyarakat
Batak yang menggunakan sistem patrilinear.
Dalam Bahasa Indonesia terdapat istilah silsilah yang berarti daftar
asal-usul keluarga, atau bagan yang menampilkan hubungan keluarga dalam
sebuah struktur. Pancakaki, barangkali sepadan dengan
silslilah. Meskipun pada beberapa sisi memiliki perbedaan yang cukup
jelas. Persamaannya terletak pada hal yang berkaitan dengan hubungan
kekeluargaan atau kekerabatan. Sedangkan perbedaannya terletak pada
penekanan hubungan kekerabatan yang dilambangkan dengan istilah-istilah
tertentu bagi makna pancakaki, atau secara sederhana
berkaitan dengan masalah panggilan terhadap seseorang. Hal tersebut
berkaitan dengan tradisi Sunda mengenai hubungan seseorang dalam
keluarga yang mendapat posisi penting. Bukan hanya nampak dari banyaknya
istilah tentang hubungan kekeluargaan atau kekerabatan (seperti bapa, aki, buyut, incu, dulur, dulur misan, besan, hingga baraya laér),
tetapi juga berdampak pada masalah ketertiban dan kerukunan sosial,
terutama dalam hal menggunakan bahasa. Dalam tradisi Sunda, mengenal
istilah undak-usuk basa, yaitu tingkatan atau tata krama dalam
berkomunikasi dengan seseorang. Jadi, ketika tahu siapa yang sedang
diajak bicara (misalnya lebih muda, lebih tua, atau memiliki tingkat
yang lebih tinggi dalam sebuah silisilah keluarga), maka kita dapat
menyesuaikan bahasa yang akan digunakan.
Masih harus terus digali informasi mengenai awal mula pancakaki
digunakan dalam tradisi Sunda hingga hal tersebut begitu melekat dengan
tradisi masyarakat Sunda, hingga dapat dilihat dari cerita rakyat yang
dicontohkan di awal. Pancakaki, pada masa kini masih digunakan
terutama untuk mengetahui dari mana kita berasal, mengingat bahwa
sekarang masyarakat Sunda tidak hanya menetap di satu daerah. Selain
itu, hal yang paling kentara adalah ber-pancakaki ketika seseorang akan melangsungkan pernikahan.
Pancakaki, memiliki peranan penting dalam kehidupan
masyarakat Sunda. Ia mencerminkan gambaran tata sosial masyarakat Sunda
yang berasas kekeluargaan dan selalu ingin menempatkan seseorang dalam
hubungan silsilah keluarga agar tercipta kerukunan, keakraban serta
saling menghormati sesuai dengan tingkat pancakaki-nya.
Sumber Rujukan
Ekadjati, Edi S. 2008. Pancakaki, Asal Usul dan Maknanya. http://indoculture.wordpress.com/2008/03/19/pancakaki-asal-usul-dan-maknanya/ (diakses 2012)
Rosidi, Ajip. 2010. Sistem Silsilah (Garis Keturunan/Pancakaki) Kekerabatan Adat Sunda. http://saungdedimlyd.web.id/artikel/sosial-budaya-ekonomi/122-sistem-silsilah-garis-keturunanpancakaki-kekerabatan-adat-sunda.html (diakses
2012)
__.__.Pancakaki http://su.wikipedia.org/wiki/Pancakaki (diakses2012
dari : http://wacananusantara.org/pancakaki-penelusuran-silsilah-dalam-tradisi-sunda/
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.