JANGJAWOKAN SUNDA (Dok.Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
Asihan si leuget teureup
Seureuh seuri
Pinang nanggeng
Apuna galugaet angen
Gambirna pamuket angen
Bakona galuge sari
Coh nyay, parupat nyay, loeko lenyay
Cucunduking aing taruk harendong
Cucunduking aing taruk paku hurang
Keuna asihan awaking
Kalimat diatas merupakan jangjawokan yang biasa digunakan urang sunda
buhun ketika hendak nyepah (nyeupah), digerenteskeun atau di ucapkan
dalam hati. Jangjawokan digunakan pada setiap kali kegiatan, bahkan
menjadi tertib hidup. Misalnya untuk bergaul, bekerja sehari-hari, dan
berdoa. Laku demikian dimungkinkan karena faktor masyarakat Sunda yang
agraris selalu menjaga harmonisasi dengan alam. Konon pula seluruh nu
kumelendang dialam dunya dianggap memiliki jiwa.
Tertib dan
krama hidup misalnya berhubungan dengan padi (beras). Ada jangjawokan
yang digunakan sejak menanam bibit, ngaseuk, tandur, panen, nyiuk beas,
nyangu, mawa beas ticai, ngisikan, seperti salah satu contoh dibawah ini
:
Jampe Nyimpen Beas
Mangga Nyi Pohaci
Nyimas Alame Nyimas Mulane
Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
Abdi ngiringan
Ashadu sahadat panata, panetep gama
Iku kang jumeneng lohelapi
Kang ana teleking ati
Kang ana lojering Allah
Kang ana madep maring Allah
Iku wuju salamaet ing dunya
Salamet ing akherat
Asahadu anla ila haileloh
Wa ashadu anna Muhammaddarrasolullah
Abdi seja babakti kanu sakti, agung tapa
Nyanggakeun sangu putih sapulukan
Kukus kuning purba herang
Tuduh kang seseda tuhu
Datang ka sang seda herang
Tepi ka kang seda sakti
Nu sakti neda kasakten
Neda deugdeugan tanjeuran
Contoh lainnya,
Jampe Ngisikan (mencuci beras) :
Mangga Nyimas Alene Nyimas Maulene
Geura siram dibanyu mu’min
Di Talaga Kalkaosar
Abdi ngiringan
Nyi Pohaci Budugul Wulung
Ulang jail babawaan kaula
Heug
Nyi Pohaci Barengan Jati
Ulah jail kaniaya
Ka Nyi Pohaci Sukma Jati
heug
Inilah contoh tertib hidup masyarakat agraris yang menciptakan harmonisasi adapt dengan alam.
Para Sastrawan Sunda pada umumnya, seperti Wahyu Wibisana, Rus Rusyana,
Ajip Rosidi menggolongkan Jangjawokan sebagai bentuk puisi sunda. Yus
Rusyana menuangkannya dalam buku Bagbagan Puisi Mantra Sunda (1970),
sedangkan Ajip Rosidi dalam Jangjawokan (1970). Saya piker, lepas dari
benar atau salah tentang pemahaman masing-masing terhadap jangjawokan,
namun dengan cara katagorisasi menjadi cabang dari puisi, paling tidak
dapat terkabarkan kegenarasi berikutnya, bahwa di tatar ini pernah ada
bagian dari budaya Sunda yang disebut Jangjawokan.
Menurut Wahyu Wibisana :
jangjawokan sejalan dengan maksud puisi magis yang dikemukakan Yus
Rusyana dan pendapat Rachmat Subagya pada Agama Asli Indonesia. Dengan
mantra orang berangsur-angsur memulangkan kuasa-kuasa imajiner yang
dianggap melanggar atas wewenangnya yang imajiner kepada tempat asal
wajar mereka yang imajiner juga.
Pengertian imajiner berpusat
pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap
mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Dengan
demikian, hal ini ada pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa
dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat
dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya. Cara
itulah dengan menggunakan mantra serta segala ketentuannya.
Mengapa Istilah Jangjawokan ?
Wahyu Wibisana dalam SASTRA LAGU : Mencari Hubungan Larik dan Lirik menjelaskan :
Dua buah bentuk puisi sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah
ajimantra dan bentuk puisi pada cerita pantun. Istilah ajimantra diambil
dari naskah kuno Siksa Kandang Karesyan. Sedangkan puisi pada pantuan
ada tahun 1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Sedangkan
puisi pada cerita pantun ada dua yakni rajah dan nataan”.
Jangjawokan suatu arti kata lain dari ajimantra. Istilah ajimantra
digunakan dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesyan, ditulis pada tahun 1518
M. Tapi istilah Jangjawokan tidak diketahui sejak kapan. Namun Urang
Sunda Tradisional lebih banyak menggunakan istilah Jangjawokan atau
ajian ketimbang ajimantra. Mungkin kedua sebutan yang memiliki kesaman
makna ini menandakan adanya adaptasi pemahaman, menganggap Jangjawokan
(Sunda Buhun) eufimisme dari ajimantra (Sanksekerta).
Ajip
Rosidi dalam buku Jangjawokan lebih menekankan pada istilah ini
ketimbang menggunakan kalimat ajimantra, dengan alasan : Istilah
ajimantra berasal dari India dan dalam bahasa Sunda tidak pernah
digunakan. Dilihat dari segi isinya, Jangjawokan itu berupa permintaan
atau perintah agar keinginan sipengguna jangjawokan dilaksanakan oleh nu
gaib “makhluk gaib”.
Tapi tanpa mengoreksi paradigma diatas,
timbul pertanyaan, apakah benar Jangjawokan itu ajimantra yang
dimintakan kepada Makhluk Gaib ?.
Adaptasi bahasa atau keyakinan ?
Sebenarnya untuk mentraslate makna tujuan permohonan dari pelaku
jangjawokan perlu juga ditelusuri melalui pemahaman tentang Hyang
Tunggal ; Hyang Keresa atau Ketuhanan Yang Maha Esa serta sdejarah diri
dalam Paradigma Sunda. Karena pemahaman istilah nu gaib tidak selamanya
berkonotasi pada makhluk gaib, seperti jin atau makhluk halus, akan
tetapi ada juga semacam cara membangkitkan spiritulitas dalam dirinya,
seperti paradigma tentang raga ; bathin dan kuring.
Negasi terhadap paradigma diatas dapat dicontohkan, sebagai berikut :.
Ka Indung nu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer
Pangnepikeun ieu hate
Ka Indungna anu nagnadung
Ka Ramana anu ngayuga
Ka Indungna nu teu ngandung
Ka Ramana nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus jeung ngaluis si …. (anu) ……
Dst … dst …….
Saya tidak melihat adanya eksistensi nu gaib dari luar dirinya. Dalam
kasus lain, bisa jadi ditujukan untuk memperkuat bathinnya, atau semacam
ada perintah ingsun kepada bathinnya untuk berkomunikasi dengan ingsun
orang lain.
Jika saja yang dimaksud dalam kandungan jangjawokan
sama dengan yang dimaksud dalam Pantun Sunda, mengingat keduanya juga
dikatarogikan sebagai puisi arkais, hemat saya dapat pula
diperbandingkan dengan referensi dari Buku Jakob Sumardjo tentang
‘Khasanah Pantun Sunda’, terutama tentang ‘arkeologi pemkiran’ Urang
Sunda Buhun terhadap ‘Trias Politik Sunda’. Tanpa pemahaman yang jelas
niscaya “Urang Sunda” akan kehilangan sejarah pemikirannya yang hakiki.
Signal dari paradigma dan muara pernmohonan bisa pula dikaitkan dengan
strata pengabdian dalam hirarki pemerintahannya. Misalnya Wado tunduk
kepada Mantri ; Mantri tunduk kepada nangganan ; nangganan tunduk kepada
mangkubumi ; mangkubumi, tunduk kepada ratu ; ratu tunduk kepada dewata
; dewata tunduk kepada Hyang. Dengan demikian Hyang lah yang tertinggi.
Menurut Edi S Ekajati, dalam Kebudayaan Sunda – Agama dan kepercayaan :
Kekuasaan tertinggi berada pada Sahyang Keresa (Yang Mahakuasa) atau Nu
Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia disebut Batara Tunggal (Tuhan Yang
Maha Esa), Batara Jagat (Penguasda Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang
Gaib). Jadi dalam pemahaman saya, yang membedakan masalah Keesaan Tuhan
dalam Paradigma Urang Sunda Wiwitan dengan yang berikutnya terletak pada
Syariatnya. Hal ini wajar, mengingat masing-masing ageman memiliki
sejarah dan perkembangannya sendiri.
Dalam tradisi Jangjawokan
selanjutnya ditemukan ada sebutan Allah kepada yang dimohonkan. Urang
sunda biasanya membaca dengan Alloh. Konsonan “O” nya mani lekoh - khas.
Bahkan ada jangjawokan dari Urang Baduy yang menggunakan istilah yang
digunakan para pemeluk agama islam, seperti dalam Sawer Panganten,
seperti dibawah ini :
Bismillahirohmanirohim.
Panggpunten kasadaya,
Kau nu tua ka nu anom,
Sumawon kanu sepuh mah,
Kaula bade nyembahkeun,
Nyi panganten sareng ki panganten.
Atau dalam Sadat Islam :
Sadat Islam aya dua,
Ngislamkeun badan kalawan nyawa,
Dat hirup tangkal iman,
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu,
Parentah Kangjeng Gusti,
Nabi Adam pangyampurnakeun badan awaking,
Sir suci,
Sir adam,
Sir Muhammad,
Muhammad Jaka lalana,
Nu aya di saluhuring alam.
Istilah dalam jangjawokan yang banyak disebut-sebut urang sunda Buhun,
seperti Allah – Adam dan Muhammad tentunya tidak bisa dilepaskan dari
paradigma tentang Dzat – Sifat – dan Manusia itu sendiri. Mungkin juga
menandakan adanya unsur kesatuan yang hakiki antara raga, bathin dan
kuring-na manusa. Memang menjadi sulit bagi saya membedakan jika masih
ada istilah : Jangjawokan itu suatu permohonan (hanya) kepada Makhluk
Gaib, bukan kepada Yang Maha Gaib. Tapi syah-syah saja jika digunakan
dalam rangka katagorisasi puisi arkais.
Contoh lainnya do’a
untuk belajar, atau agar dicerahkan pikiran. Contoh ini saya dapatkan
dari Almarhum Bapak Nunung Setiya, demikian :
Allahuma hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang ….. Alllah.
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.
Setelah Bapak Nunung meninggal kemudian saya coba telusuri dari mana
asal jangjawokan itu, dan bagaimana pula bahasa aslinya. Pada akhirnya
saya menemukan dari salah satu sumber, konon dahulunya berisi, demikian :
Hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang,
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.
Jika saja yang kedua diatas diyakini bersumber dari jangjawokan yang
pertama dan tidak ditemukan kalimat Tauhid, namun dalam bentuk dibawah
pun tidak ditemukan adanya unsur yang memintakan kepada makhluk gaib
dalam arti diluar (kekuatan) dirinya. Kecuali jika indung mu ngandung
dan nu teu ngandung ; bapak nu nungayuga kalawan nu teu ngayuga ; dulur
opat kalima pancer dianggap makhluk gaib ?.
Saya justru
menafsirkan, dengan dicantumkannya kalimat Tauhid didalam jangjawokan
tersebut, justru dikembangkan oleh urang sunda berikutnya, bertujuan
memintakan legitimasi dan ijin dari yang Maha Gaib. Setidak-tidaknya
bertujuan untuk mengurangi tudingan menduakan Tuhan. Tapi ada benarnya
jika urang tua dulu berujar “antara Gusti jeung makhlukna euweuh
watesna, leuwih deukeut jeung naon wae, malah masih jauh antara hate
jeung urat beuheung”.
Ciri-ciri Janjawokan
Jangjawokan
didalam koridor satra puisi arkais didefinisikan, sebagai : permintaan
atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan)
dilaksanakan oleh nu gaib “makhluk gaib” sebatas ini mudah dipahami,
yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makhluk gaib untuk mencapai
keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika ditemukan pula
jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya digunakan oleh
urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun), dikatagorikan do’a,
bukan jangjawokan. Namun apakah tidak ada jangjawokan bukan do’a ?.
Pemilahan jangjawokan dengan do’a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan
dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sunda (arkais), serta dibahas
dalam kacamata sastra. Indikator jangjawokan ditentukan berdasarkan
kacamata sastra. Namun boleh saja jika jangjawokan dilihat dari kacamata
lainnya. Karena ketika seseorang mengucapkan jangjawokan tentu
tujuannya bukan untuk membaca puisi.
Jangjawokan diyakini
memiliki kekuatan magis. Kemungkinan kekuatan dari kandungan magis yang
dirasakan nyaman menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun
temurun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terkabarkan hingga
sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang
jelas ada harmoni manusia dengan alamnya ketika jangjawokan itu
dibacakan.
Peran jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya
sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern, seperti dokter
; psikolog ; atau profesi apapun yang terkait dengan masalah
penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan digunakan pula dalam
keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan
sebelum buang air dan kegiatan lainnya.
Jangjawokan dalam jenis
ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air
kecil) ; Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar) ; Jampe Neda (Jampi
sebelum makan) ; Jampe Masamon (Jampi bertamu) dll. Konon kabar,
kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati si pelafalnya dan
kesungguhan bagi para penggunannya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh
masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah ini merupakan bagian dari
bidang l.ainnya.
Wahyu Wibisana, mengkatagorikan: ”ajimantra
(baca : Jangjawokan) merupakan sastra arkais yang pernah muncul kemudian
setelah sastra sunda kuno. Dikatakan ’pernah digunakan’ dan ’pernah
muncul’, karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah tidak
menggunakan dan sekaligus tidak mempercayai ajimantra. Hanya saja,
sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupakan
genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah
lainnya di Nusantara.”.
Dari pernyataan diatas, saya yakin Kang
Wahyu masih menganggap bahwa masih ada masyarakat Sunda yang
menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan
masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman,
karena realitasnya masih nyaman untuk digunakan. Dengan dimasukannya
ajimantra sebagai bagian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan
terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya
katagorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya
bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur
magisnya.
Ciri-ciri Jangjawokan.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri, yakni :
1. menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sanghiyang Asri, Batara, Batari dll.
2. dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap janjawokan
berada pada posisi yang lebih kuat, otomatis berhadapan dengan pihak
yang lemah.
3. berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan
kelanjutan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yakni adanya
desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative
dan persuasif.
4. masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya
rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ;
membangun irama ; fungsi magis ; fungsi membuat ingatan orang yang
mengucapkan.
5. adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup
di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut diserap seutuhnya
atau disesuaikan dengan lidah pengucapnya.
6. terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda.
Ciri-ciri diatas tentunya dilihat dari katagori Jangjawokan sebagai
bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari
materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan
kelahirannya paska sastra sunda.
Penyebutan Kuasa Imajiner
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan
makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada
di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan
cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat
dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya,
sebagaimana dalam Jangjawokan.
Nama-nama kuasa imajiner yang
dimaksudkan tentunya sangat terkait dengan istilah-istilah yang
digunakan urang Sunda Buhun. Seperti Pohaci Sanghyang Asri ; Batara dan
Batari ; Sri Tunggal Sampurna ; Malaikat Incer Putih ; Raden Angga
Keling ; Ratu Teluh ti Galunggung ; Sang Ratu Babut Buana. Penyebutan
kuasa imajiner tersebut, seperti contoh dibawah ini :
Jampe Masamoan
Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna !
Maung pundung datang turu
Badak galak datang depa
Galudra di tengah imah
Kakeureut kasieup ku pohaci awaking.
Jampe masamoan diatas bertujuan agar memiliki kekuatan yang tersinari
pohaci yang ada didalam dirinya. Bahkan ada semacam perintah bathin
kepada siapapun yang ada ditempat pasamoan tersebut untuk tunduk dan
menerima kehadirannya. Mungkin juga dapat ditafsirkan adanya perintah
bathin orang yang hendak bertamu kepada bathin pihak”nu dipasamoan’.
Contoh perintah bathin ini dapat dilihat dari asihan asihan seperti dibawah ini, sebagai berikut :
Ka Indung anu ngandung
Ka Rama anu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama anu teu ngayuga
kadulur opat kalima pancer
Pang nepikeun ieu hate
Ka Indung na anu ngandung
Ka Rama na anu ngayuga
Ka Indung na nu teu ngandung
Ka Rama na anu teu ngayuga
Kadulur na opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus ngaluis hirup jeung huripna... (sianu) .......
Pamugi sing .............................. ......................
Jangjawokan diatas terasakan adanya perintah bathin (rasa) dari pembaca
jangjawokan kepada bathin (rasa) orang yang dituju untuk melaksanakan
apa yang dikehendakinya. Perintah dan urusan koridor bathin ini sangat
nampak ketika pemohon memerintahkan bathinnya untuk menyampaikan kepada
bathin tujuannya. Seperti ada eksistensi indung dan bapak anu ngandung
kalawan nu teu ngandung. Kemudian disebut pula eksistensi dari saudara
yang empat dan pancernya.
Dalam konteks yang sama ditemukan
pula istilah-istilah spiritual yang lajim digunakan orang sunda penganut
agama islam. Sehingga kuasa imajiner jika ditafsirkan sebagai sesuatu
yang gaib atau makhluk terasa menjadi rancu jika kita membaca
jangjawokan seperti dibawah ini.
Jampe Unggah
Ashadu sahadat bumi
Ma ayu malebetan
Bumi rangsak tanpa werat
Lan tatapakan ing Muhammad
Birahmatika ya arohmana rohomin
Jampe Turun
Allohuma ibu bumi
Medal tapak tatapakan
Turun wawayanging ing Muhamad
Birahmatika ya arohma rohimin.
Jika saja ditelaah lebih lanjut dari kedua jangjawokan terakhir, saya
sendiri menjadi maklum, bahwa permohonan bathin kepada sesuatu ”Yang
Gaib” dimintakan ijin terlebih dahulu kepada ”Yang Maha Gaib”, atau
dapat juga disimpulkan bahwa atas kehendak yang Maha Gaib maka Yang Gaib
itu bisa diperintahkan.
Istilah ”Nu Gaib” disini tentunya
menimbulkan pertanyaan, Nu Gaib anu mana ?. Mungkin alangkah lebih
bijaknya jika mendefinisikan jangjawokan dengan cara menggunakan
paradigma dari para penggunanya, yakni masyarakat Sunda Buhun. Dalam
paradigma masyarakat Sunda Buhun, terutama ketika mengkaji dan menemukan
sejarah diri akan terungkap ada tiga unsur yang menyebabkan manusa
hirup jeung hurip, yakni unsur lahir (raga) ; bathin (hidup) dan kuring
(aku). Kuring atau aku bertindak sebagai driver bagi lahir dan bathin,
bagi raga jeung hirupna. Aku pula yang memanaje raga dan bathin.
Dari paradigma tersebut tentunya dapat disimpulkan, bahwa nu gaib itu
bukan sesosok makhluk yang ada diluar dirinya, melainkan nu ngancik dina
dirina.
Pengguna Jangjawokan sebagai pemberi perintah
Dalam jangjawokan, si pengguna bertindak sebagai pemberi perintah
bathin, paling tidak sebagai pihak yang ‘menginginkan’ sesuatu. Oleh
para sastrawan diposisikan sebagai pihak yang lebih kuat terhadap
penerima perintah. Misalnya :
Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna
…………..
kakeureut ka sieup ku pohaci awaking
Atau :
Curuk aing curuk angkuh
Bisa ngangkuh putra ratu
……
mangka reret soreang
soreang ka badan awaking
Sipemberi perintah hemat saya tidak selamanya memposisikan diri sebagai
pihak yang lebih kuat, karena ada juga kecenderungan kalimat yang dapat
ditafsirkan sebagai permohonan atau himbauan, bukan perintah. Jika
perhadapkan dengan yang kuat dan yang lemah, maka sangat tepat jika ia
sebagai pihak yang lebih rendah dan sedang menginginkan sesuatu.
Tipe jangjawokan semacam diatas, seperti dibawah ini :
Jampe nyimpen Beas
Mangga Nyi Pohaci
Nyimas Alane Nyimas Mulane
Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
Abdi ngiringan
…………….
Dari kalimat tersebut lebih jauh dari unsure memerintah. Sekalipun
menaruh harapan besar untuk melakukan. Namun lebih tepay jika
dikatagorikan membujuk untuk melakukan. Contoh lainnya, seperti dalam
Jampe ngisikan : Mangga Nyimas Alene Nyimas Mulane - Geura siram dibanyu
mu’min - Di Talaga Kalkaosar - Abdi ngiringan ……dst”
Saya
menemukan beberapa kasus. Untuk jenis jangjawokan tertentu, seperti
pangabaran atau asihan, penyatuan bathin dan kandungan jangjawokan
dilakukan melalui proses ‘kuru cileuh kentel peujit’. Mungkin ini untuk
menumbuhkan kesungguhan dan keteguhan hati serta keyakinan agar tujuan
tersebut bisa dicapai. Dalam temuan saya (mungkin suatu kebetulan),
dilakukan pula oleh masyarakat yang bukan penganut ajaran Sunda Buhun.
Cara-cara dan budaya demikian bukan hanya dilakukan oleh ‘urang sunda
buhun’ bahkan sampai sekarang masih ada yang melakukannya. Misalnya
melakukan dengan cara berpuasa dalam jumlah hari tertentu ; melakukan
wirid ; atau melakukan shalat malam. Sedangkan ukuran keberhasilannya
tidak sama dengan peta pengalaman seperti makan rawit, langsung terasa
pedasnya, atau bisa dinikmati.
Penekanan perintah
Dalam jangjawokan sering ditemukan pengulangan perintah atau semacam
‘penegasan perintah untuk dilaksanakan’. Perintah ini bersifat imperatif
atau persuasif, misalnya :
Bray padang, Bray caang
Caangna salalawasna,
lawasna Saumur kula
……………………………
mangka langgeng mangka tetep
mangka hurip kajayaan
Kalimat ini tentunya bukan sekedar penegasan, namun dapat juga
diartikan sebagai kesungguhan untuk mencapai apa yang dikehendakinya.
Penutup
Sebenarnya sangat sulit mendifinisikan jangjawokan, kecuali dari
kandungan keinginan yang termaktub didalam jangjawokan itu sendiri. Jika
dinyatakan meminta kepada makhluk gaib, namun yang ditemukan adalah
upaya menguatkan bathinnya, bahkan ada negasi tentang eksistensi Tuhan.
Kemudian, jika saja dinyatakan sebagai perintah, itupun sulit
diderfinisikan, mengingat ada pula janjawokan yang isinya memohon atau
menghimbau.
Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan rasa
manusia Sunda. Memiliki akar kesejarahan yang mandiri. Sejalan dengan
perkembangan dan sejarah pemahaman tentang keyakinan dan sejarah diri,
bahkan pernah dirasakan manfaatnya. Jangjawokan bukan sekedar puisi yang
dapat dinikmati kata-katanya, namun sebagai sesuatu yang diyakini
memiliki kekuatan. Biarlah jangjawokan ‘diampihan’ sebagai puisi, agar
tidak hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.
Mun seug
tea mah aya nu nyungsi rusiah jangjawokan, dipaluruh nepi ka wates
wangenna. Tinangtu bakal panggih jeung sajatining hirup jeung huripna.
Nu gaib lain makhluk nu misah tina ingsunna. Nu ngulon, ngaler, ngetan
jeung ngidul, lain nu nyengkal tina pancerna. Sakabehna aya na hate
jeung rasana, aya dina uteuk jeung pikiranana. Ibarat gula jeung amisna,
uyah jeung asinna, ngajirim ngajadi hiji, kalawan tinekenan bakal
kabuka rusiah, saha ari urang ? timana ari urang ? jeung rek kamana ari
urang ?. Sabab mun manusa geus wawuh jeung dirina tinangtu bakal wawuh
ka Gunti na. Kenging copas ti blog tatangga..(Cag).
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.