SANGKURIANG (legenda) Dok.Salakanagara
- Get link
- X
- Other Apps
Sangkuriang
adalah legenda yang berasal dari Tatar Sunda. Legenda tersebut berkisah
tentang terciptanya danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung
Burangrang, dan Gunung Bukit Tunggul.
Dari legenda tersebut, kita
dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran tinggi
Bandung. Dari legenda tersebut yang didukung dengan fakta geologi,
diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu
tahun sebelum Masehi.
Legenda Sangkuriang awalnya merupakan
tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah
Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad
ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskha tersebut ditulis bahwa
Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran
mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali
pada akhir abad ke-15.
Setelah melakukan perjalanan panjang,
Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia
menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempalegendanya.
Laporannya adalah sebagai berikut :
Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
Datang ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan)
Ringkasan cerita
Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah
hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring
(keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayung yang tengah
bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil
dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton
oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Banyak para
raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima.
Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi
pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani
seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun,
toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah.
Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu,
dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila
berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang
mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi
akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.
Ketika Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya si Tumang untuk
mengejar babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu
dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang
Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui
bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak
serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari
tempurung kelapa sehingga luka.
Sangkuriang pergi mengembara
mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya
sampailah di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di
tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal
bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi - ibunya.
Terminological kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja
Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda
luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk
menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan
telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum.
Sangkuriang menyanggupinya.
Maka dibuatlah perahu dari sebuah
pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi
gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan
menjadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun
hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang
Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi
menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu
pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar,
dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro
dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur
dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi
surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya
ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di
Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun
Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung
berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).
Kesesuaian dengan fakta geologi
Legenda Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya Danau Bandung dan Gunung Tangkuban Parahu.
Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba
sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering 16.000 tahun yang
lalu.
Telah terjadi dua letusan Gunung Sunda purba dengan tipe
letusan Plinian masing-masing 105.000 dan 55.000-50.000 tahun yang lalu.
Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba
sehingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang (disebut
juga Gunung Sunda), dan Gunung Bukittunggul.
Adalah sangat mungkin
bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan
menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat
Ci Tarum (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada
55.000-50.000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari
sisa-sisa Gunung Sunda purba. Masa ini adalah masanya Homo sapiens;
mereka telah teridentifikasi hidup di Australia selatan pada 62.000
tahun yang lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar 50.000 tahun
yang lalu.
Sangkuriang dan Falsafah Sunda
Menurut Hidayat
Suryalaga, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya
pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan
cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan
menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari
pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran
sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan
kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (teropong), maka dirinya akan
dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi
si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang
belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh
kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah
kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani
dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala
Sangkuriang dipukul).
Kesombongannya pula yang memengaruhi
“Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata
keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan
intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur).
Pada akhirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar
selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang
dengan Dayang Sumbi).
Walau demikian ternyata penyatuan antara
Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan
(Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu
pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus
mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang,
interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis,
yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni
berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum).
Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego
Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun
tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal
muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal
keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun
harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan
pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam
masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan
masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).
Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego
Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan
Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik
akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan).
Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa
menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka
ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia
transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya
(Gunung Tangkubanparahu).
Walau demikian lantaran sang Ego Rasio
masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan
dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara
Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang
tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang
pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).
Akhir
kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya
(Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya
sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini
terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun
(Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; bahasa Sunda: Hade ku omong goreng
ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam
mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat.(Sumber :
Wikipedia )
Referensi
1. Koesoemadinata, R. P., "Asal Usul dan
Prasejarah Ki Sunda", Sub theme" "Bidang Kajian Sejarah, Arkeologi dan
filologi", in Ajip Rosidi et.al (editor: Edi S.Ekadjati and A.Chaedar
Alwasilah)
2. Hidayat Suryalaga, Kajian Hermeneutika terhadap
Legenda dan Mitos Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspeknya, Hidayat
Suryalaga, Orasi Ilmiah ketika Hari Wisuda Mahasiswa ITENAS, Bandung,
28 Mei 2005
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.