SUMBER TRADISIONAL SEJARAH SUNDA (Dokumen Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
Hana
nguni hana mangke – Tan hana nguni tan hana mangke – Aya ma baheula
hanteu teu ayeuna – Henteu ma baheula henteu teu ayeuna – Hana tunggak
hana watang Hana ma tunggulna aya tu catangna ….. Tiada masa kini tanpa
ada masa lalu – masa kini adalah peninggalan masa lalu (Wasiat dari :
Galunggung)
Menurut Husein Jayadiningrat, di Indonesia sudah
sejak lama berkembang tradisi penulisan sejarah. Di Jawa misalnya,
tradisi itu menghasilkan sejumlah karya “Kisah Sejarah” yang disebut
babad sejarah, dan serat kanda; di dunia Melayu namanya dikenal sebagai
hikayat, sejarah , tutur dan salsilah. Dalam pada itu masyarakat Sunda
mengenal karya tradisional itu sebagai sajarah, carita dan wawacan
(1965:74).
Sepanjang data yang terkumpul dapat diketahui bahwa
karya “kisah sejarah” tertua yang diwariskan leluhur Sunda hingga saat
ini adalah CP (Carita Parahyangan) yang dituliskan sekitar tahun 1580
Masehi (Aca 1968). Dari masa yang lebih kemudian muncul karya yang lain,
di antaranya adalah CRP (Carita Ratu Pakuan) (Aca 1970), Carita Waruga
Guru (Pleyte 1911) dan Carita Waruga Jagat (Edi S. Ekajati dkk 1985:12).
Dalam keempat karya itu, peristiwa dan kisah sejarah yang diabadikan
pada umumnya terjadi pada masa kekuasaan kerajaan Sunda (atau
Pajajaran). Walaupun CP menyebutkan kata selam “Islam”, nama itu justru
digunakan sebagai salah satu kata kunci untuk mengakhiri kisah sejarah
kekuasaan raja-raja Sunda. Artinya, kisah itu berhenti dengan
dikalahkannya Sunda oleh pasukan Islam dalam tahun 1579. Demikian juga
dalam ketiga karya yang lain, kisah sejarah itu hampir utuh berbicara
tentang Negara (dan masyarakat) Sunda sebelum Islam. Namun tidak
selamanya demikian Cerita Dipati Ukur (Edi S. Ekajati 1982), misalnya,
justru berkisah tentang tokoh dan peristiwa sejarah yang terjadi di
tanah Sunda pada paruh awal abad ke-17. Hal itu bukan hal yang aneh,
apalagi jika dihubungkan dengan pendapat Aca (1973) yang menyatakan
bahwa istilah carita lebih dulu digunakan dalam tradisi tulis Sunda,
dalam makna yang sama dengan babad.
Babad dan sejarah sebagai
istilah digunakan dalam tradisi tulis Sunda lebih kemudian. Bahkan babad
yang menurut Darusuprapta bermakna ‘jenis cerita yang bernilai sejarah
atau dekat hubungannya dengan sejarah’ (Edi S. Ekajati dkk 1985) itu,
pada kurun waktu tertentu digunakan hampir “tanpa kendali”. Bukan hanya
kisah, tokoh, peristiwa, atau ihwal sejarah yang diabadikan dalam babad.
Bagaimana cara menanam enau (Babad Kawung Baduy, Babad Kawung galuh,
Babad Kawung Lebak), misalnya, juga diabadikan dalam babad. Demikian
juga halnya dengan dengan sajarah, isinya yang walaupun pada umumnya
berkenaan dengan masa sesudah Islam menyebar, ada juga yang berkisah
mengenai tokoh, peristiwa, dan ihwal dari masa sebelumnya.
Dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa penggunaan ketiga istilah
itu, tidak terutama mengacu kepada isinya, melainkan lebih kepada masa
dan lingkungan penulisannya. Carita pada umumnya dari masa sebelum
Islam, dan berlanjut pada masa sesudahnya. Babad digunakan setelah
pengaruh Jawa merasuk dalam kehidupan masyarakat dan budaya Sunda (sejak
awal abad ke-17), sedangkan hikayat berasal dari masa ketika Islam
sudah kukuh dalam hidup dan kehidupan masyarakat Sunda.
Isi Sumber Tradisional Sejarah Sunda
Berdasarkan batasan umum yang secara sederhana dikemukakan itu, sumber
tradisional sejarah Sunda dengan demikian dapat dibagi ke dalam dua
babak penulisan. Babak pertama adalah yang berasal dari masa sebelum
Islam, atau ketika Islam belum mengakar dalam hidup dan kehidupan
masyarakat atau dari tempat-tempat yang masih belum tersentuh oleh
Islam. Secara umum babak ini ditandai dengan karya yang menggunakan
istilah carita, sedangkan waktunya pada umumnya berasal dari sebelum
abad ke-17. Karya yang mewakili itu antara lain SSKK (1518), Carita
Warga Jagat, dan CRP.
Sumber sejarah dari kelompok itu pada
umumnya berbicara mengenai kehidupan masyarakat yang belum tersentuh
oleh pengaruh Islam. Salah satu penulisan naskah yang berkembang adalah
yang dikenal sebagai Kabuyutan Ciburuy, di daerah Garut sekarang. Dari
kabuyutan itulah berasal puluhan naskah lontar (gebang, nipah) yang
kemudian menjadi khazanah Perpustakaan Nasional (Holle 1867). Naskah
Ciburuy pada umumnya memuat ajaran keagamaan (Hindu dan Buda),
pendidikan, akhlak dan sejarah. Diantara naskah-naskah itu yang sudah
“selesai” digarap hingga sekarang antara lain CP (Aca 1968), CRP (Aca
1970), SSKK (Aca 1973), Amanat dari Galunggung (Aca dan Saleh
Danasasmita 1981), Sewakadarma (Saleh Danasasmita dkk 1978), Serat
Dewabuda (Ayatrohaedi 1986), Kawih Paningkes (Ayatrohaedi dkk 1987) dan
Jatiniskala (Ayatrohaedi 1994).
Setelah pengaruh Islam mulai
mengakar dalam kehidupan masyarakat Sunda, tradisi tulis Sunda
memperlihatkan pengaruh yang kuat dari Islam. Hal itu antara lain
terlihat dalam naskah Carita Waruga Guru yang dituliskan pada kertas
dari awal abad ke-18 (Noorduyn 1971:153).
Selain mulai
digunakannya aksara dan sejumlah kata Arab, naskah masa Islam juga
menonjol isinya yang mengandung sejumlah hikayat dan kisah yang
didasarkan kepada sejarah dan ajaran Islam. Diantara tokoh Islam yang
paling banyak dikisahkan dalam sastra tulis Sunda masa itu adalah para
nabi dan Amir Hamzah, tokoh yang juga banyak dikisahkan dalam sastra
Melayu dan Jawa dari masa yang sama (Ayatrohaedi 1980:150). Kandungan
naskah dari masa awal awal pemengaruhan dan penyebaran Islam hingga masa
yang lebih kemudian, antara lain berupa agama, susila, hukum, adat
istiadat, mitologi, pendidikan, pengetahuan, primbon, sastra, sastra
sejarah, dan seni (Edi S. Ekajati dkk 1987:4).
Naskah agama
yang terdapat dalam khazanah Perpustakaan Nasional, Jakarta, berdasarkan
pencatatan terakhir yang pernah dilakukan, berjumlah 44 buah. Museum
Cigugur (Kuningan) 9, Museum Pangeran Geusan Ulun (sumedang) 3, Museum
Negeri Jawa Barat Sri Baduga (Bandung) 1, sedangkan yang tersebar di
berbagai tempat di luar negeri (umumnya tentang tasawuf dana sejarah
para nabi) berjumlah 232. Di samping itu masih ada sejumlah naskah yang
masih dimiliki dan dipelihara oleh pemilik atau ahli warisnya (Edi S.
ekajati 1987). Dengan demikian jumlah semuanya ada 289 buah.
Dalam pada itu, naskah yang berkenaan dengan sejarah, terutama sejarah
tokoh Islam dan para nabi, juga cukup banyak ditemukan. Hasil pencatatan
yang sama mendaftarkan naskah sastra sejarah dan sejarah yang tersimpan
di Perpustakaan sebanyak 120 buah. Di berbagai tempat di luar negeri
jumlahnya 148 buah. Berarti jumlah semuanya ada 268 naskah, kedalamnya
termasuk sejarah lokal dan yang tidak bernafaskan Islam.
Buku Sejarah Karya “Panitia” Wangsakerta
Dalam pada itu, temuan sejumlah naskah sejarah karya Pangeran
Wangsakerta dan kawan-kawannya (NPW) dari Cirebon, merupakan suatu hal
yang menarik untuk dicatat. Jumlah karya Wangsakerta yang sudah
ditemukan hingga saat ini ada 50 jilid, sekarang semuanya tersimpan di
Museum Negeri Jawa Barat Sri Baduga (Edi S. Ekajati dkk. 1987: 167-81).
Kemenarikan itu disebabkan antara lain oleh sistematika penyusunannya,
yang dimulai dengan pengumpulan bahan, pembahasan dalam suatu
musyawarah, pengajuan hasil penulisan untuk dibahas lebih lanjut
(ditolak atau diterima), baru penyusunan akhir. Naskah-naskah itu
disusun dalam waktu 21 tahun (1677-98), sedangkan pelindung dan pemberi
restu atas kegiatan kesejaharahan itu adalah Sunan Amangkurat II dari
Mataram, Sultan Ageng tirtayasa dari Banten, dan kedua sultan Cirebon,
yaitu Sultan Sepuh I dan Sultan Anom I; gagasan awalnya berasal dari
Panembahan Girilaya (ayah Sultan Sepuh I, Sultan Anom I, dan Pangeran
Wangsakerta), raja Cirebon yang “ditawan” Sultan Mataram, yang
mendambakan adanya sebuah “buku pegangan bagi mereka yang ingin
mengetahui kisah para leluhur dan daerahnya sejak masa lalu”. Selain
itu, Wangsakerta menyatakan bahwa apa yang dituliskannya itu merupakan
“pengembangan” karya pamannya, Pangeran Arya Carbon, yang meninggalkan
naskah CPCN dalam tahun 1720 (Atja 1986).
Untuk mewujudkan amanat itu, Pangeran Wangsakerta melakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut:
1. Menyusun “panitia” untuk menyelenggarakan musyawarah di Cirebon
2. Menyelenggarakan musyawarah dengan para peserta terdiri atas para ahli dan pakar yang berasal dari seluruh Nusantara; dan
3. Menyusun kisah berdasarkan asupan selama musyawarah dalam bentuk pustaka yang siap baca (Ayatrohaedi 1989:10)
Panitia yang langsung bertanggung jawab kepada Sultan Sepuh dan Sultan
Anom itu juga menentukan, siapa saja ahli dan pakar yang patut diundang
ke musyawarah itu. Pada dasarnya panitia menganggap bahwa tiap daerah
Nusantara harus diwakili, dan karena itu mereka diundang. Anggota
panitia intinya yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta itu terdiri atas
tujuh orang jaksa pepitu (mereka turut hadir dalam dan menandatangani
perjanjian dengan Kumpeni, 7 Januari 1681) sebagai pelaksana. Mereka
adalah Raksanagara yang bertugas sebagai pengumpul dan penyaring bahan
naskah dan pengatur musyawarah, Anggadiraksa yang bertugas sebagai wakil
penulis merangkap bendahara; Purbanagara yang bertugas sebagai dan
penyaring bahan naskah; Singanagara yang bertugas sebagai
penanggungjawab keamanan, Anggadipraja yang bertugas sebagai duta
keliling, mengirim undangan, dan menjadi jurubahasa; Anggaraksa yang
bertugas sebagai penanggungjawab konsumsi; dan Nayapati sebagai
penanggungjawab pemondokan dan angkutan (kys.:11).
Dalam
musyawarah itu para peserta dibagi ke dalam lima sangga ‘kelompok’;
menurut Wangsakerta tikai pendapat dalam tiap sangga sering “sangat
panas” sehingga harus diingatkan bahwa tujuan mereka bermusyawarah
adalah untuk menghasilkan “buku pegangan”, bukan untuk bertengkar,
apalagi berkelahi. Dalam musyawarah itu dilakukan tahap pembahasan dan
penulisan: (a) tiap anggota sangga menyusun/menyajikan kisah daerahnya
masing-masing, isinya harus disepakati oleh sidang sangga; (b) hasil
musyawarah sangga harus dikemukakan dalam sidang lengkap melalui paujar
‘juru bicara’; (c)” kebenaran” yang disampaikan itu dinilai oleh para
penasihat; (d) kecocokannya dinilai berdasarkan isi pustaka yang telah
diakui keabsahannya; (e) (setelah disepakati bersama) dibuatkan risalah
resminya; (f) dimintakan persetujua/restu dari para sultan penaja; dan
(g) dipustakakan (dibukukan) oleh panyurat ‘jurutulis’ dengan
tanggungjawab Pangeran Wangsakerta.
Karya Panitia Wangsakerta (yang
sudah terkumpul) terdiri atas lima seri karangan, yaitu Nagarakertabhumi
(5 naskah), Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (25), Pustaka
Pararatwan (10), Dwipantaraparwa (9), dan Carita Parahyangan (5).(Edi s.
ekajati dkk. 1988:167). NPW itu sangat menarik, karena apa yang mereka
lakukan ternyata “mengikuti” kegiatan penelitian sejarah secara modern;
diawali dengan heuristik dan diakhiri dengan historiografi. Namun,
tentulah kehadiran naskah-naskah itu tidak untuk ditelan demikian saja,
diperlukan kecermatan dan kejelian untuk mengajinya lebih seksama. Yang
pasti, ada baiknya jika naskah-naskah itu dijadikan sebagai “berita
awal” dalam kegiatan penelitian dan penelitian sejarah yang akan
dilakukan (Ayatrohaedi 1988;1989).
Jika ditilik dari jihad
pemaparan kesejarahannya, akan nampak sesuatu yang sangat menarik,
terutama jika diingat bahwa semuanya itu dituangkan dalam naskah
menjelang akhir abad ke-17. Secara keseluruhan, NPW berkisah mengenai
“sejarah” Nusantara sejak masa yang paling awal (nirleka) hingga
hilangnya kedaulatan Cirebon dalam tahun 1681 (perjanjian dengan Kumpeni
VOC mengenai hal itu dilakukan pada tanggal 7 Januari 1681).
Ada beberapa hal yang menarik, baik yang berkenaan masalah rucita maupun masalah kisah itu sendiri.
Dari segi rucita, misalnya, adalah cukup menarik karena naskah itu
mengembarkan bahwa pada masa itu Panitia sudah merumuskan pembabakan
sejarah Nusantara. Dalam sarga ‘bab’ pertama naskah Pustaka Rajakawasa i
Bhumi Nusantara, yang merupakan parwa ‘jilid’ keempat naskah Pustaka
Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Panitia membagi kisah Nusantara ke dalam
tiga yuga ‘jaman’, yaitu purwayuga ‘jaman awal’, rajakawasa yuga ‘jaman
kekuasaan para raja’, dan duhkabharayuga ‘jaman kesengsaraan’. Purwayuga
meliputi seluruh jaman nirleka, rajyakawasayuga mencakup kurun sejak
adanya kerajaan di Nusantara hingga akhir kekuasaan Sultan Agung di
Mataram (1645), dan duhkabharayuga mencakup masa sejak “si bule” turut
campur dalam kekuasaan di Nusantara.
Mengenai kisah Nusantara
yang disajikan dalam NPW, Panitia menampilkan beberapa hal yang menarik.
Menurut pengamatan, ada empat “kebenaran” kisah Nusantara dalam
naskah-naskah itu yang perlu dicatat, yaitu:
1. “Kebenaran”
dalam naskah yang seutuhnya sama dengan “kebenaran” kita selama ini
sebagaimana nampak pada nama-nama tokoh dan daerah;
2. “Kebenaran”
dalam naskah yang belum menjadi milik kita, berupa nama-nama tokoh atau
daerah yang belum pernah kita ketahui, berbagai peristiwa yang terjadi,
dan masa pemerintahan setiap raja yang cukup jelas titimangsanya;
3.
“Kebenaran” naskah yang melalui pembandingan dengan sumber-sumber lain
akan memungkinkan kita untuk merenungkan kebenarannya; dan
4. “Kebenaran” dalam naskah yang berlainan dengan “kebenaran” kita sebagai panfsir (Ayatrohaedi 1989 : 16-7)
Sehubungan dengan kegiatan Panitia Wangsakerta menyusun kisah
Nusantara, sampai saat ini belum pernah ditemukan sumber lain.
Satu-satunya sumber yang ada mengenai kegiatan itu justru karyanya, yang
antara lain juga membicarakan alasan, tujuan, dan kerja Panitia
melaksanakan amanat Panembahan Girilaya itu. Itulah sebabnya, walau
bagaimana pun, sangat diperlukan kehati-hatian dalam kita mengaji semua
karyanya itu. Selain pengajian mengenai hal-hal yang berkenaan dengan
isi karyanya, diperlukan pengujian jasadi terhadap naskah-naskahnya.
Pengujian itu akan sangat besar manfaatnya, antaral ain untuk mengetahui
apakah bahan (kertas, tinta), aksara, dan gaya bahasa yang digunakan
benar-benar berasal dari masa yang bersangkutan atau bukan.
Hal
lain adalah yang berkenaan dengan “musyawarah sejarah” yang
diselenggarakan di Cirebon itu. Jika benar musyawarah itu pernah ada,
kapankah kira-kira hal itu berlangsung? Dalam hal ini ada beberapa
patokan yang dapat dijadikan pertimbangan, mengingat Wangsakerta sendiri
tidak menyebutkan kapan kegiatan itu dilangsungkan.
Buku
pertama dari semua rangkaian tulisan sejarahnya, Pustaka Rajyarajya i
Bhumi Nusantara parwa I sarga 1, selesai dipustakan pada tanggal 1
paroterang, bulan Srawana tahun 1599 Saka atau tanggal 25 Juni 1677. Itu
berarti bahwa musyawarah itu harus sudah selesai dilaksanakan beberapa
waktu sebelumnya. Jika kita perhatikan betapa banyaknya hasil musyawarah
itu sebagaimana termuat dalam naskah-naskahnya, ditambah dengan masalah
yang muncul selama waktu penyusunannya, mungkin sekali musyawarah itu
berlangsung dalam triwulan pertama tahun 1677.
Penulisan hasilnya
hingga menjadi naskah memang baru dilakukan kemudian oleh para anggota
jaksa pepitu; mungkin oleh Raksanagara dan Anggadiraksa yang menjadi
penulis dan wakil penulis selama musyawarah berlangsung. Satu hal dapat
dipastikan, menilik gaya tulisannya, naskah-naskah itu haruslah
dikerjakan oleh lebih dari satu orang (Saleh Danasamita 1968 : 17).
Jika benar demikian, mungkin sekali musyawarah itu sudah dilangsungkan
sebelum Pangeran Mertawijaya dan Kertawijaya dinobatkan sebagai
pengganti Panembahan Girilaya menjadi penguasa Cirebon. Menurut kisah
yang sudah dianggap benar hingga saat ini, setelah ayahnya meninggal,
kedua pangeran itu tetap “tidak diijinkan pulang” oleh Sunan Amangkurat
I. Mereka baru dapat meninggalkan Mataram setelah pasukan Trunajaya
berhasil merebut Ibukota Karta dan membawa kedua pangeran tersebut ke
Kediri. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 12 Juli 1677, dan para
pangeran penguasa Cirebon itu diwisuda sebagai penguasa Cirebon oleh
Sultan Ageng tirtayasa dari Banten.
Jika dugaan tentang waktu
penyelenggaraan musyawarah itu benar (awal 1677), akan muncul masalah
baru. Menurut Wangsakerta, Sultan Sepuh memberikan amanat waktu
musyawarah itu berlangsung. Padahal, menurut perhitungan, ketika itu ia
masih berada di Mataram. Dalam hal ini ada dua kemungkinan yang dapat
dipertimbangkan: Pertama musyawarah itu telah berlangsung lama sebelum
Trunajaya merebut ibukota Kartasura sehigga memungkinkan Pangeran
Mertawijaya dan Kertawijaya “minta cuti” untuk pulang ke Cirebon, dan
diperkenankan. Kedua, mungkin ia tetap berada di Karta, sedangkan
amanatnya disampaikan oleh Wangsakerta (tertulis). Hal itu tidak
mustahil. Mengingat hingga saat itu Wangsakerta sudah 17 tahun menjadi
pelaksana pemerintahan sehari-hari, mewakili ayahnya selama 12 tahun
(1650-62), dan mewakili kedua abangnya yang tetap ditahan di Mataram
selama 5 tahun (1662-7). Dengan demikian, ia tidak canggung lagi
bertindak, baik sebagai tuan rumah maupun sebagai wakil dari kedua orang
abangnya (kys:19).
Masalah yang juga muncul sehubungan dengan
musyawarah itu adalah yang menyangkut bahasa. Bahasa apakah yang
digunakan sebagai bahasa pengantar atau bahasa resmi dalam pertemuan
itu? Mungkin sekali dalam pertemuan itu digunakanlebih dari satu bahasa,
mengingat ada diantara jaksa pepitu yang di kepanitiaan bertugas
sebagai jurubahasa. Jika melihat daerah asal para peserta, nampaknya
sangat mungkin bahasa pengantar yang digunakan sekurang-kurangnya ada
dua, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Bahasa Jawa digunakan karena
kegiatan itu dilangsungkan di salah satu pusat kebudayaan Jawa; bahasa
Melayu digunakan karena bahasa itu menurut riwayatnya selam lama
berfungsi sebagai basantara di kepulauan Nusantara. Namun, bagaimanapun,
kajian lebih mendalam mengenai hal ini akan sangat membantu menjelaskan
masalah.
Demikian perkenalan singkat yang dapat ditampilkan
berkenaan dengan sumber tradisional sejarah sunda khususnya, dan Jawa
Barat umumnya ini. Sumber : serbasejarah.wordpress.com
Rujukan :
Aca (=atja) 1968.
Tjarita Parahyangan: Titilar Karuhun Urang Sunda ti Abad Ka-16, Bandung: Jajasan Kebudayaan Nusa larang 1970.
Tjarita Ratu Pakuan. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah 1973.
Siksa Kandang Karesian. Bandung : Lembaga Kebudayaan UNPAD 1986.
Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya sastra Sebagai Sumber Pengetahuan
Sejarah. Cetakan kedua (dengan perbaikan menyeluruh). Bandung: Proyek
Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Aca dan Saleh Danasasmita 1981a Amanat dari Galunggung. Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy,
Bayongbong Garut. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. 1981b Sanghyang Siksakandang Karesian: Naskah sunda Kuna tahun 1518
Masehi. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Ayatrohaedi 1980.
“Tradisi sastra Sunda Buhun”, dalam Meutia F. Swasono, Wardiningsih
Soerjohardjo, dan Ayatrohaedi (redaksi), Yang Tersirat dan Tersurat:
Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1940 – 1980: 143-52. Jakarta:
Fakultas Sastra UI 1986.
Serat Dewabuda. Laporan Hasil Penelitian untuk Proyek Penelitian Kebudayaan Sunda. Tidak diterbitkan. 1986.
“Kebenaran Sejarah” Naskah-naskah Panitia Wangsakerta. Makalah disampaikan pada Diskusi Ilmiah Keabsahan Naskah-naskah Sumber Sejarah
Tarumanagara, diselenggarakan oleh Universitas Tarumanagara, Jakarta 17 September 1988.
1986.
Naskah dan Sejarah. Makalah disampaikan pada Gotrasawala (=Seminar)
Pengajian Naskah-naskah Kuna Jawa Barat sebagai sumbangan Kepada Sejarah
Nasional, diselenggarakan oleh Universitas Pasundan, Bandung 23 Januari
1989. 1994.
Jatiniskala: Pengantar, Alihaksara, dan Terjemahan
Naskah K.422 Khazanah Museum Nasional. Laporan Penelitian untuk Fakultas
Sastra UI, Depok. Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Ahmad Darsa 1986.
Kawih Paningkes dan Jatiniskala. Laporan penelitian untuk Bagian Proyek
Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda, Bandung. Edi S. Ekajati
(=Ekadjati) 1982.
Ceritera Dipati Ukur: Karya sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya. Edi S. Ekajati (editor)1986.
Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran dan The Toyota Foundation. Edi S. Ekajati,
Wahyu Wibisana, Ade Kosmaya Anggawisastra 1985.
Naskah Sunda Lama Kelompok Babad. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Holle, K.F. 1867.
“Vlugtig berigt omtrent eenige lontar-handschriften afkomstig uit de Soendalanden”, TBG 15 Husein Jayadiningrat (=Hoesein Djajadiningrat) 1965.
“Local traditions and the Study of Indonesian History”, dalam Sujatmoko
(=Soedjatmoko), Mohammad ali, g.J. resink, dan G.McT. Kahin (eds), An
Introduction to Indonesian Historiography: 74-86. Ithaca-New York:
Cornell University Press. Noorduyn, J 1970.
“Traces of An Old Sundanse Ramayana Tradition”, dalam Indonesia 12: 151-7 Pleyte, C.M. 1911.
“Het jaartal op den Batoe Toelis nabij Buitonzorg; Eene bijdrage tot de kennis van het oude soenda”, TBG 53: 155-220. Saleh Danasasmita 1985.
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.