KERAJAAN PAJAJARAN_Bag 2
POLITIK DAGANG
Hubungan Portugis dengan Sunda
Pada tahun 1511 armada Demak sedang berada di Cirebon. Hal ini
dianggap mengancam kedaulatan Pajajaran, terutama pasca Cirebon
menyatakan diri sebagai negara merdeka. Oleh karena itu Sri Baduga
mengutus putra mahkotanya, yakni Surawisesa untuk mengadakan hubungan
dengan Portugis.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa
Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque
(Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan
1521).
Hasil kunjungan pertama bersifat penjajakan, pada tahun 1513 Portugis
tiba diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua
adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme
(ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan tersebut disepakati
persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan
keamanan.
Kisah ini dimuat didalam Pustaka Nusantara III/1. Naskah tersebut sebagai berikut :
• Karena itu Sang Prabu Pakuan Pajajaran mengutus putera mahkota
yaitu Ratu Sangian atau Prabu Surawisesa. Duta Kerajaan Pajajaran ini
menuju ke negeri Malaka. Di sana sang duta menegadakan persahabatan
dengan pemimpin (nerpati) orang Portugis yang bernama Laksamana Bungker.
• Ia telah berjanji akan selalu membantu Kerajaan Pajajaran bila
diserang oleh Pasukan Demak dan Cirebon serta ingin menjalin hubungan
dagang. Setahun kemudian orang-orang Portugis berkunjung ke Pulau Jawa.
Jumlah kapalnya 4 buah.
• Mereka menginggahi semua pelabuhan yang ada di negeri Sunda, dan
sang bule membuat surat kelak ketika sang putra mahkota telah menjadi
ratu Sunda dengan gelar Prabu Surawisesa. [RPMSJB, Jilid ke-4, 16].
Surawisesa ketika itu masih menjadi Prabu Anom. Kelak dikemudian hari
para penulis babad dan petutur pantun mengisahkan lalampahannya ini di
dalam Lalakon Salaka (mungkin sakakala) Domas, dengan nama Munding Laya
Dikusumah, sedangkan orang Purtugis digambarkannya sebagai Guriang.
Menurut Tome Pires orang Portugis yang mengikuti pelayaran penjajakan
pada bulan Maret – Juni 1513, menyatakan, bahwa pada saat itu Portugis
telah berhasil menguasai perairan Malaka.
Pada tahun 1522 Surawisesa naik tahta. Penobatannya dihadilir utusan
Portugis di Malaka. Pada akhir kunjungan tersebut utusan Portugis dengan
Pakuan menandatangani perjanjian dengan Pajajaran. Perjanjian tersebut
menurut Soekanto (1956) ditandatangai pada tanggal 21 Agustus 1522.
Ten Dam (1957) menganggap bahwa perjanjian itu dibuat secara lisan,
akan tetapi sumber portugis yang dikutip oleh Hageman menyebutkan “Van
deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke
partij een behield” (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua,
lalu masing-masing pihak memegang satu).
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan
benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang
akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang
keperluan yang diminta pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai
dibangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun,
untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua costumodos atau + 351
kuintal.
Perjanjian Pajajaran dengan Portugis sangat mencemaskan Sultan
Trenggono, disebabkan Selat Malaka merupakan pintu masuk perairan
Nusantara sebelah utara yang sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan
di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan
Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut
yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggono mengirimkan armadanya di bawah pimpinan Senapati Demak,
yakni Fadilah Khan. Pada saat itu Fadillah Khan telah memperistri Ratu
Pembayun, janda Pangeran Jayakelana (Cirebon). Kemudian ia pun menikah
dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian,
Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati
Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan
Susuhunan Jati karena buyutnya, yakni Barkat Zainal Abidin adalah adik
Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon
berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat
Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten
yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Pada
masa itu Hasanudin sedang berusaha menjatuhkan tahta Ua nya, yakni Arya
Surajaya.
Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak.
Bupati Banten (Sang Arya Surajaya) beserta keluarga dan pembesar
keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Hasanudin kemudian diangkat oleh
ayahnya, Syarif Hidayat menjadi Bupati Banten pada tahun 1526.
Setahun kemudian Fadillah menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa.
Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas
di pelabuhan gugur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan
meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran. Menurut Versi
lainnya pada masa itu Kalapa tidak dijaga ketat oleh Legiun Sunda,
mengingat jarak Pajajaran dengan Kalapa diperkirakan dua hari (Tome
Pires : 1453). Menurut versi lainnya, jarak tempuh dari Ibukota Pakuan
ke Kalapa lewat perairan memerlukan waktu dua minggu.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang
ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India.
Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan membawa 6 buah
kapal. Galiun yang dinaiki De Sa berisi peralatan untuk membangun
benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk
Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak
dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah
dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.
Pada tanggal 30 Juni 1527 di Muara Cisadane De Sa memancangkan padrao
dan menjuluki Cisadane dengan nama Rio de Sa Jorge. Kemudian galiun De
sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte
Coelho langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui
perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi
mangsa sergapan pasukan Fadillah.
Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis
ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8
buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena
peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka
tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
HUBUNGAN PORTUGIS DENGAN DEMAK
Panembahan Hasanudin memiliki peranan yang cukup besar ketika ia
masih berstatus Bupati bawahan Cirebon. Pada masa tersebut Sultan
Trenggono mengutus adiknya, yakni Nyi Pembayun, isteri dari Fadillah
Khan, meminta bantuan pasukan Banten agar bergabung dengan pasukan
Fadillah Khan (Bupati Kalapa), untuk menaklukkan, Blambangan, Panarukan
dan Pasuruan. Dalam penyerangan tersebut, Demak menyertakan Pasukan
Portugis untuk membantunya.
Pada masa itu Demak tidak lagi memusuhi Portugis, bahkan Portugis
diijinkan membuka kantor dagang di Banten Pasisir, serta menempatkan
armada lautnya disana. Armada Portugis pada saat itu dipimpin oleh Tome
Pinto (pelaku penanda tangan perjanjian Pajajaran – Portugis 21 Agustus
1522 M di Pakuan). Dari catatan Tom Pires inilah sejarah ini diketahui.
Mungkin cerita tersebut sangat menganggu mengingat peristiwa
penandatanganan Perjanjian Pajajaran – Portugis di pahami sebagai
kesalahan Pajajaran melakukan kolaborasi dengan pihak asing dalam
mempertahankan kedaulatannya. Namun akan menjadi lain ketika mengetahui
sejarah selanjutnya, terutama ketika Demak menyertakan Portugis untuk
menaklukan Blambangan, Panarukan dan Pasuruan.
Begitu pula pandangan Demak. Awalnya dimasa pemerintahan Raden Patah
sangat memusuhi Portugis. Namun ketika Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon
sudah berada dibawah pengaruhnya, demi kepentingan perdagangan maka
Demak tidak mengharamkan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis.
Ketika Banten Pasisir sudah berubah menjadi Kerajaan Surasowan, dunia
perdagangannya semakin pesat. Islam telah mewarnai Surasowan menjadi
Negara perniagaan. Menurut (Iskandar, 2005) dari catatan perjalanan
dapat digambarkan sebagai berikut :
• Dari Malaka berlayar lagi, Setelah 17 hari, tibalah aku dipelabuhan
Banten tempat yang biasa dikunjungi orang Portugis untuk berdagang.
Disana keperluan untuk muatan kapal kita, merica, ketika itu sedang
sangat jarang didapat diseluruh negeri. Karena itu kami terpaksa harus
tinggal disini selama musim hujan.
• Telah berlangsung dua bulan lamanya kami dalam perdagangan yang
menyenangkan disin, ketika raja Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali,
Madura, Angenia mengirim utusan kepada Tagaril, raja Sunda, meminta
bantuan dengan pesan bahwa dalam tempo setengah bulan harus datang ke
Jepara tempat peralatan perang sedang disiapkan untuk menyerang
Pasuruan.
• Bala bantuan Banten ketika itu berkekuatan yang terdiri dari 30
calaluzes dan 10 jurupango diperlengkapi dengan keperluan perjalan dan
peralatan perang. Dalam 40 kapal itu terdapat 7.000 orang diluar para
pendayung. Sedangkan dari Portugis menyertakan 40 orang. Kesertaan
Portugis tentunya setelah mendapat konsensi, bahwa Portugis akan dibantu
di Banten, sehingga janji ini mendorong Portugis untuk membantu
peperangan ini.
Dari catatan Tome Pinto, menyebutkan, bahwa Raja Sunda (Hasanudin)
bertolak dari pelabuhan Banten pada tanggal 5 januari 1546 dan tiba pada
tanggal 19 bulan itu dikota Jepara. Disana peralatan perang sedang
disiapkan.
TERAKHIR
Dari catatan ini diketahui pula adanya kepentingan politik
perdagangan antara Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak dengan Portugis.
Walaupun 24 tahun yang lalu Portugis telah mengadakan perjanjian dagang
dengan Pajajaran, namun kemudian berpaling dan mengikat persahabatan
dengan negara-negara yang memiliki pelabuhan dagang. Pada waktu semua
pelabuhan milik Pajajaran sudah direbut Demak. Hal ini ditegaskan dalam
catatan Tome Pinto, bahwa raja Demak adalah penguasa seluruh Pulau Jawa,
Bali, Madura, Angenia.
Suatu hal yang jarang dibahas dalam kondisi ini, yakni kesempatan
Pajajaran untuk menguasai kembali daerahnya yang telah direbut Cirebon –
Demak. Keengganan Pajajaran untuk menggunakan kesempatan ini
dimungkinkan karena penguasa Pajajaran percaya terhadap Perjanjian
Cirebon – Pajajaran untuk tidak saling mengganggu. Dimasa kemudian,
perjanjian ini menjadi haraus dilanggar, terutama ketika Hasanudin dan
Panembahan Yusup merasa pelu untuk menaklukan Pajajaran (***)
MANURAJASUNYA
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Pada tahun 1535
masehi, atau dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai Sakakala
untuk ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Surawisasa dipusarakan di Padaren.
Surawisesa begitu mencintai dan menghormati ayahnya, ia berupaya
mempertahan keutuhan Sunda, namun tidak pernah ada kesempatan untuk
tetap memajukannya kecuali terfokus mempertahankan dari gempuran
Cirebon, Demak dan Banten. Upayanya ini ia dikenang dan dilantunkan
dalam pantun serta dikisahkan dalam babad. Konon hanya Surawisesa dan
Sri Baduga yang paling banyak dikisahkan petutur tradisional Sunda.
Namun sejak Surawisesa purna tugas dan purna hirup, Pajajaran mengalam
kemorosotan yang sulit dibangkitkan kembali. Mungkin masa tersebut
adalah peralihan jaman, geus niti wancina nu mustari sangkan Pajajaran
ganti ngaran, tileum heula terus ngaganti ngaran jadi Sunda anu anyar.
Surawisesa digantikan oleh Ratu Dewata, putranya yang bertahta di
Pakuan pada tahun 1535 sampai tahun 1543. Ratu Dewata sangat berbeda
dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira,
perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia
melakukan upacara Sunatan, adat khitan pra Islam yang memang telah
biasa dilakukan di kalangan raja Sunda, ia pun melakukan tapa Pwah –
Susu, suatu kebiasaan adat yang hanya makan buah-buahan dan minum susu
dan berperilaku sebagai raja resi.
PELANGGARAN PERJANJIAN
Pada saat Ratu Dewata bertahta perjanjian perdamaian Pajajaran dengan
Cirebon masih dianggap berlaku. Ratu Dewata sangat yakin perdamaian ini
akan ditaati para pihak, sehingga ia tidak mempunyai prasangka buruk
akan adanya pelanggaran perjanjian yang dilakukan pihak lain. Disamping
itu, Ratu Dewata lebih banyak memilih menekuni masalah keagamaan dan
berpuasa dibandingkan mengurus kenegaraan.
Anggapan Ratu Dewata tentu berlainan dengan Hasanudin dari Banten,
yang pada saat itu ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran –
Cirebon, Hasanudin melakukan penandatanganan perjanjian karena
kepatuhannya kepada Syarif Hidayat, ayahnya. Hasanudin beranggapan bahwa
perjanjian Cirebon dengan Pajajaran hanya menguntungkan Cirebon, samak
sekali tidak menjamin kepentingan Banten, padahal wilayah kekuasaan
Banten berbatasan langsung dengan Pajajaran.
Hasanudin secara diam-diam membentuk pasukan khusus tanpa identitas
resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal
bergerak cepat ini telah dibuktikannya pada saat terjadi huru hara di
keraton Surasowan yang memaksa bupati Banten melarikan diri ke
Pajajaran, kemudian menjadikan Hasanudin sebagai bupati Banten dibawah
vassal Cirebon. Pasukan ini oleh Belanda dinamakan rover karena dianggap
sering mengganggu ketertiban, sedangkan penulis Carita Parahyangan
menyebutnya “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah
mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang,
para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Disamping itu,
ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan
serangan Banten tidak mampu menembus Pakuan.
Didalam prasasti batu tulis dituliskan, bahwa Sri Baduga membuat
benteng Pakuan yang kokoh. Hal yang sama disebutkan didalam naskah
Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 dengan istilah Amateguh Kadatwan
(memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud “membuat parit”
(memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai
arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan
bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan
dalam arti ibukota.
Posisi Pakuan sangat strategis untuk pertahanan, karena berada pada
permukaan yang tinggi atau Lemah Duwur – Lemah Luhur, Van Riebeeck
menyebutnya “bovenvlakte”. Pada posisi ini pasukan pengawal keraton
sangat leluasa untuk memantau sekelilingi luar istana, sehingga
mempermudah untuk mengetahui manuver musuh.
Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah
yang dikelilingi 3 batang sungai pernah dijadikan pemukiman lemah duwur
sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi. Lokasi Pakuan merupakan lahan
Lemah Duwur yang satu sisinya terbuka menghadap Gunung Pangrango.
Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah. Tipe
Lemah Duwur biasanya dipilih masyarakat dengan latar belakang kebudayaan
Huma (Ladang). Kota-kota seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan
Cianjur, dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan Perkebunan.
Lainnya halnya dengan yang disebut dengan Garuda Ngupuk, biasanya
digunakan masyarakat yang berlatar belakang Kebudayaan Sawah. Mereka
menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan
yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan.
Kota demikian seperti Garut, Bandung dan Tasikmalaya.
Pasukan Hasanudin setelah gagal merebut benteng kota, bergerak ke
utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan lemah larangan (Kabuyutan)
di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri, Daerah tersebut pada masa Sri
Baduga merupakan desa Kawikwan yang dilindungi oleh negara, mungkin juga
Hasanudin menyerang ketiga wilayah ini bertujuan menghancur- kan
‘dangiang kerajaan’, atau untuk mengalihkan perhatian pasukan Sunda agar
keluar menyerang di luar Benteng.
Penulis Carita Parahyangan menyebutkan adanya penyerangan dan pembunuhan para pandita, sebagai berikut .
Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang panadita di
Ciranjang pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. / Sang pandita
di Jayagiri Iinabuhaken ring sagara. / Hana sang pandita sakti hanteu
dosana.
NGARAJARESI DI JAMAN SUSAH
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma
kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan
baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan
setelah turun tahta dan menempuh kehidupan Manurajasunya seperti yang
telah dilakukan oleh Wasitu Kancana.
Kepribadian Ratu Dewata yang ngarajaresi di masa perang mungkin
dianggap kurang tepat, bahkan ada yang berpendapat, bahwa hal tersebut
dilakukan karena ia tidak mampu menghadapi kenyataan. Penulis carita
parahyangan kemudian berkomentar pendek ‘Samangkana ta precinta’
(begitulah jaman susah).
Perilaku Ratu Dewata di sindir oleh penulis Carita Parahyangan. “Nya
iyatnayatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (ya
berhati-hatilah orang-orang yang kemudian, janganlah engkau kalah perang
karena rajin puasa). Memang seolah-olah ada sifat yang ambigu dalam
menyikapi perilaku Ratu Dewata dengan raja-raja sebelumnya yang menjadi
raja resi, seperti Sang Bunisora yang diberinya gelar Satmata.
Menurut Kropak 630, tingkatan batin manusia dalam keagamaan adalah
acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah.
Satmata adalah tingkatan kelima dan tahap tertinggi bagi seseorang yang
masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat keenam
(suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan
ketujuh (nirawerah) padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya
pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal. Pada saat itu mungkin Ratu Dewata
sudah mencapai tingkat diatas Satmata sehingga tidak menjalankan
fungsinya sebagai raja Sunda. Padahal fungsinya sebagai raja tentu
sangat berhubungan dengan masalah keduniaan.
Suatu hal yang kerap tidak terperhatikan oleh para penulis sejarah
Sunda yakni mencari kondisi kekinian (semangat jaman) pada masa
pemerintahan Ratu Dewata. Jika mencermati catatan Bujangga Manik yang
diperkirakan menuliskan perjalanannya pada akhir tahun 1400 atau awal
1500 an. Dokumen tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley,
Oxford sejak tahun 1627, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa itu
memang semangat keagamaan sudah mewarnai kisah perjalanan hidup kerabat
keraton, bahkan Bujangga Manik pun diperkirakan seorang rahib. Mungkin
kondisi pada waktu yang membentuk Ratu Dewata untuk lebih menekuni
masalah keagamaan dibandingkan masalah kenegaraan.
Ratu Dewata dikesankan oleh Penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Prebu Ratudé wata,
inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem.
Lumaku ngarajaresi.
Tapa Pwah Susu.
Sumbé lé han niat tinja bresih suci wasah.
Disunat ka tukangna, jati Sunda teka.
Datang na bancana musuh ganal,
tambuh sangkané.
Prangrang di burwan ageung.
Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang.
Hana pandita sakti diruksak,
pandita di Sumedeng.
Sang panadita di Ciranjang
pinejahan tanpa dosa,
katiban ku tapak kikir.
Sang pandita di Jayagiri
Iinabuhaken ring sagara.
Hana sang pandita sakti hanteu dosana.
Munding Rahiyang ngaraniya
linabuhaken ring sagara
tan keneng pati, hurip muwah,
moksa tanpa tinggal raga
teka ring dniya.
Sinaguhniya ngaraniya Hiyang Kalingan.
Nya iyatnajatna sang kawuri,
haywa ta sira kabalik pupuasaan.
Samangkana ta pr écinta.
Prebu Ratudé wata,
lawasniya ratu dalapan tahun,
kasalapan panteg hanca dina bwana.
Ratu Dewata Wafat pada tahun 1543, dipusarakan disawah tampian dalem.
Kemudian digantikan oleh Ratu Sakti, putranya yang memiliki sifat yang
berbeda dengan ayahnya. Masa pemerintahan Ratu Sakti sering juga
disebutkan dengan istilah Masa Kaliyuga. (*)
MASA KALIYUGA
20Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti menggantikan Ratu Dewata,
ia berkuasa pada tahun 1543 sampai dengan 1551 masehi. Kemudian ia
diturunkan dari tahta dan digantikan oleh Nilakendra, yang berkuasa dari
tahun 1551 sampai dengan 1567 masehi.
Penulis Carita Parahyangan menggambarkan, bahwa masa kaliyuga tiba
pada masa Nilakendra, karena suasana masyarakat sudah menampilkan
kejahatan dan kemaksiatan. Namun jika diurut dari sebab-sebabnya, tentu
tidak dapat dilepaskan dari kondisi akhir pemerintahan Ratu Sakti,
sehingga kondisi pada masa Nilakendra hanya berbentuk kondisi lanjutan
yang mengarah pada jaman pralaya [kehancuran]. Carita Parahyangan
mengamanatkan, : “aja tinut de sang kawuri polah sang nata” [jangan
ditiru oleh mereka yang kemudian kelakuan raja ini].
Adanya permasalahan intern Pajajaran sangat jarang diperhatikan
masyarakat, mengingat masyarakat Sunda pada umumnya hanya melihat adanya
gangguan yang datang dari luar, yakni Banten, Cirebon dan Demak.
Kedatangan masa pralaya sebenarnya dapat dicegah jika Ratu Sakti
meninggalkan kesenangangan pribadi dan memperhatikan suatu tatatanan
masyarakat yang merasa aman lahir dan bathin serta dijauhkan dari
kesengsaraan (Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta
ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta). Pada jaman pemerintahan
Ratu Sakti, merupakan masa yang sangat strategis untuk mengembalikan
wilayah-wilayah Sunda yang telah direbut Cirebon.
Pada masa tersebut di Banten dan Kalapa terjadi kekosongan pasukan,
karena pasukan Banten, Cirebon dan Demak disibukan menaklukan Pasuruan
dan Panarukan. Serbuan pasukan gabungan tersebut, yang sudah dibantu
Portugis mengalami kegagalan, apalagi setelah Trenggono gugur ditikam
pelayannya yang baru berusia 10 tahun, putra Bupati Surabaya. Pasca
peristiwa itu Demak dilanda huru hara. Didalam huru hara di Demak, gugur
pula Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon.
Kemudian pada tahun yang sama, yakni tahun 1546 Kerajaan Islam Demak
runtuh, kekuasaannya beralih ke Pajang, untuk selanjutnya dilanjutkan
oleh Mataram. Kondisi inilah yang tidak dimanfaatkan Ratu Sakti.
JAMAN RATU SAKTI
Didalam suatu teori politik yang termasuk pada katagori jaman (masa)
berulang, biasanya muncul dari suatu kondisi yang serba longgar dan
menuju kearah kondisi chaos. Dalam kondisi ini masyarakat yang serba
longgar akan mengarahkan kedalam kondisi free ficht competition. Pada
akhirnya yang kuatlah yang menang. Dari kondisi chaos akan lahir suatu
pihak dan kelompok atau tokoh yang kuat. Pihak ini bertujuan melakukan
stabilitas dan mengembalikan aturan-aturan agar on the track terhadap
tujuannya. Namun jika pihak tersebut sudah sangat berkuasa dan beralih
menjadi otoriter, maka masyarakat akan mendesak kembali agar dapat lebih
bebas dan serba longgar.
Kondisi seperti itu memang muncul pada masa Ratu Dewata, karena Ratu
Dewata sendiri sudah tidak terlalu menghiraukan urusan kenegaraan.
Mungkin Ratu Sakti merasa perlu untuk menstabilkan kembali kondisi
negara, dan dapat dibenarkan jika langkah-langkahnya disertai dengan
adanya penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, serta menggunakan
aturan-aturan dan etika yang berlaku.
Langkah yang dilakukan Ratu Sakti justru sebaliknya. Kesan masyarakat
terhadap rajanya sangat jauh dari istilah bijaksana. Ratu Sakti lebih
banyak menyelesai kan permasalahan dengan cara-cara yang represif,
banyak rakyat yang dihukum mati hanya karena melakukan pelanggaran
kecil. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton, ia
dianggap tidak berbakti terhadap orang tua, dan menghinakan para
pendeta, kondisi ini tentu tidak dapat mengkonsolidasikan negara menjadi
suatu kekuatan, bahkan mendorong rakyat untuk melakukan perlawanan.
Sifat Ratu Sakti sangat bertolak belakang dengan sifat Ratu Dewata
yang serba alim, rajin berpuasa dan sering bertapa (bertarak). Memang
sangat antagonis dari kondisi sebelumnya. Pelanggaran yang paling
dianggap memancingkan reaksi rakyat, adalah mengawini estri larangan
tikaluaran dan menikahi para selir ayahnya. Dengan demikian ia
melanggaran dua katagori istri larangan dari tiga katagori yang
dilarang.
Wanita terlarang (Istri larangan) untuk dinikahi di dalam tradisi
Sunda masa lalu ada tiga macam. Hal ini sebagaimana yang diberitakan
dari Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesyan, yaitu : (1) gadis
atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau
wanita terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2)
Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda
dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu
tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi
wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal.196)
Kondusifitas yang tidak menguntungkan masyarakat Pajajaran tersebut
masih bisa dihindarkan, dengan cara menurunkan Ratu Sakti dari tahtanya.
Disisi lain Pajajaran masih diselamatkan dari serangan luar, baik
serangan dari tambuh sangkane atau slagorde Banten, karena pada masa
tersebut pasukan Hasanuddin serta Fadillah Khan sedang membantu Sultan
Trenggono menyerbu Pasuruan dan Panarukan.
Penulis Carita Parahyangan dalam menanggapi perilaku Ratu Sakti, menuliskan, sebagai berikut :
• Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu
surup ka / Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu
twahna kabancana ku estri / larangan ti kaluaran deung kana ambutéré.
Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas / tanpa prégé, tan bakti ring
wong-atuha [44], asampé ring sang pandita. / Aja tinut d é sang kawuri,
polah sang nata. / Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.
Ratu Sakti dimungkinkan wafat dengan mengalami peristiwa kekerasan,
karena jika melihat dari sifatnya, suatu hal yang mustahil jika mau
mengundurkan diri sebagaimana yang dilakukan Dewa Niskala (Kawali). Ratu
Sakti dimakamkan di Pengpelangan.
PRABU NILAKENDRA
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa
Pajajaran kelima. Pada masa ini penulis Carita parahyangan menganggap
sudah tiba kaliyuga (jaman kali) yaitu jaman yang menampilkan kejahatan
dan kemaksiatan. Setelah Kaliyuga datang Pralaya (kiamat, kehancuran).
Pemerintah Nilakendra di jadikan pertanda bahwa tidak lama lagi Kerajaan
Pajajaran akan hancur akibat keangkara murkaan penguasanya. (PMSJB,
buku keempat, hal.29).
Pada masa itu situasi Pajajaran sudah tidak menentu, rasa frustasi
sangat melanda segala lapisan masyarakat, baik kerabat keraton maupun
petani. Penulis Carita Parahyangan memberitakan, : “Wong huma darpa
mamangan, tan igar yan tan pepelakan” [Petani menjadi serakah akan
makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu]. Berita ini
diartikan, bahwa kelaparan telah berjangkit di Pajajaran.
Prabu Nilakendra diberitakan pula, ia membuat Bendera keramat,
memperindah keraton dengan membangun tangan berbalay – tanahnya
diperkeras dengan batu – mengapit gerbang larangan. Yang mendirikan
bangunan megah 17 baris, dilukis dengan emas yang menggambarkan
bermacam-macam cerita.
• Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan. Nu ngibuda
• Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora
• larangan. Nu migawe bale-bobot pituweJas jajar, tinulis pinarada warnana cacaritaan.
Penilaian para penulis terhadap Nilakendra yang dianggap negatif
tersebut, yakni memperindah keraton ; membangun taman berbalay ;
memperkeras tanah dengan batu ; mendirikan bangunan mungkin dapat
dianggap mendua, karena terhadap Sri Baduga justru dinilai sebagai
mahakarya, bahkan diabadikan di dalam prasasti Batutulis. Hemat saya,
negatifitas terhadap penilaian ini bukan disebabkan ia membuat sesuatu
sebagaimana diatas, namun karena dilakukan di dalam kondisi rakyat yang
sedang dalam keadaan kesulitan hidup dan frustasi.
Menurut penulis Carita Parahyangan, : “Lawasnya ratu kampa kalayan
pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan
beuanghar” [Karena ratu terlalu lama (sering) tergoda oleh makanan,
tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak
dengan tingkat kekayaan]. Didalam berita selanjutnya di sebutkan pula, :
“Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang”. [air yang memabukan
menjadi penyedap makanan dan minuman].
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah, timbul ketegangan yang
mencekam dalam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang sewaktu-waktu
akan datang. Kondisi ini disikapi Nilakendra dan para pembesarnya dengan
cara memperdalam suatu aliran tertentu. Konon menurut RPMSJB, ajaran
ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai
kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di
sekitarnya, bahkan untuk mempercepat keadaan tidak sadar didahului
dengan pesta pora, minum minuman keras, padahal kondisi itu masih tetap
tidak berubah. Perilaku ini tentunya sangat tidak sesuai dengan
nilai-nilai ajaran tentang ‘makan sekedar enak dan minum tuak hanya
sekedar pelepas dahaga’ [nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang].
Itulah bunga Pralaya Pajajaran yang tinggal menunggu waktu
kehancurannya.
Didalam carut marut dan tanpa bisa melakukan konsolidasi kekuatan dan
pasukannya, pada ahirnya pasukan tambu sangkane [pasukan tanpa
identias] dari Banten tiba di Pajajaran. Hanya beberapa saat akhirnya
benteng Pakuan dapat dikuasainya.
Memang sulit mencari berita tentang penghancuran Pakuan yang pertama
oleh Banten, karena serangan tersebut dilakukan tanpa identitas. Hal ini
disebabkan kepatuhan Hasanudin terhadap Syarif Hidayat, untuk
menghormati perjanjian yang telah dibuat pada masa Surawisesa, namun
Hasanudin merasa perjanjian tersebut hanya menguntungkan Cirebon,
sedangkan Banten masih belum merasa aman karena berbatasan langsung
dengan Pajajaran. Mungkin juga Hasanudin merasa khawatir adanya
pembalasan dari Pajajaran, karena tahta Hasanudin didapatkan setelah ia
melakukan kup terhadap ua dari ibunya sendiri, pada saat itu bupati
Banten masih berada dibawah kekuasaan Pajajaran.
Peristiwa kekalahan Nilakendra terjadi ketika Syarif Hidayat masih
hidup. Syarif Hidayat wafat pada tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun
kemudian.
NASIB BENTENG PAKUAN
Berita tentang penjebolan benteng Pakuan diberitakan didalam sebaris
kalimat Carita Parahyangan, yang mengabarkan “Tohaan di maja alah
prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan di maja kalah perang,
maka ia tidak tinggal di keraton), tanpa menyebutkan kuburannya, karena
dimungkinkan ia wafat diluar Pakuan, atau di pengungsian.
Sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan
dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang
ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
Pasca penyerangan Banten ke Pakuan maka Pakuan sudah tidak berfungsi
sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai
selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga
cerita komunitas Abah Anom didaerah Ciptarasa mulai dari sini),
sementara pengungsi kearah timur terdapat pembesar kerajaan, seperti
Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau
Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau
Embah Terong Peot.
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa membawa
(menyelamatkan) Mahkota dan atribut raja Pajajaran (sanghjiyang pake) ke
Sumedang Larang, yang menjadi simbol raja Pajajaran. Untuk kemudian
diserahkan kepada Geusan Ulun. Adanya simbol-simbol kerajaan Pajajaran
yang digunakan Geusan Ulun, maka raja Sumedang Larang itu dianggap
sebagai pewaris syah tahta Sunda.
Sebagian para pengungsi turut bersama Ragamulya ke Pula Sari,
Pandeglang. Ragamulya yang bergelar Prabu Surya Kencana, kia menjadi
raja Pajajaran di pengungsian, dinobatkan tanpa Mahkota. Hal ini sesuai
dengan legenda Kadu Hejo yang menyebutkan, bahwa benda purbakala itu
peninggalan seorang raja yang datang ketempat itu tanpa mahkota. (***)
RAJA PAMUNGKAS
Raga Mulya (1567 – 1579) didalam sejarah Sunda dikenal sebagai raja
Pajajaran yang terakhir. Penulis Carita Parahyangan memberikan mana
Nusiya Mulya. Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya
alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan
sebagaimana raja Sunda lainnya, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh
karena itu, ia disebut Pucuk Umun Panembahan Pulasari.
RAJA PENGUNGSIAN
Pasca penyerangan Banten pada masa Nilakendra, Pakuan sudah tidak
berfungsi sebagai ibukota, bahkan telah ditinggalkan Nilakendra dan
kerabat keraton yang mengungsi keberbagai wilayah. Pakuan kemudian
diurus oleh para pengawal istana dan penduduk, dan mampu bertahan sampai
dua belas tahun, ketika itu Banten melakukan penyerangan untuk yang
kedua kalinya dan memboyong baru Sriman tempat dinobatkannya raja Sunda.
Sebagian penduduk mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat
pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga komunitas saat
ini berada didaerah Ciptarasa dan Ciptagelar).
Tentang pelarian keluarga keraton kearah selatan, dikisahkan pada
awal abad yang lalu oleh Aki Baju Rambeng, juru Pantun dari Bogor
selatan, dalam judul Dadap Malang Sisi Cimandiri, mengetengahkan
keteguhan seorang perwira Sunda, tokoh tersebut bernama Raden Rakeyan
Kalang Sunda. Selain itu, muncul pula legenda tentang Uga Wangsit
Siliwangi, yang diyakini di amanatkan Prabu Siliwangi didaerah ini,
padahal Siliwangi, hidup dijaman Pajajaran masih jeneng dan Siliwangi
masih mampu memerintah dengan tenang.
Rombongan lainnya mengungsi menuju ke timur, diantaranya terdapat
pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu,
Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa,
dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa memboyong Mahkota dan
atribut raja Pajajaran (Sanghiyang Pake) ke Sumedang Larang, mungkin
tertinggal ketika Nilakendra meloloskan diri dari Pakuan. Didalam
tradisi raja-raja Pajajaran Sanghiyang pake dan batu gilang atau
palangka batu sriman sriwacana dianggap penting untuk menunjukan
legalitas seorang raja.
Sebagian penduduk Pakuan mengungsi kearah barat daya tepatnya di
lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes,
Kabupaten Pandeglang. Rombongan tersebut dipimpin oleh salah satu putra
Nilakendra, yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang
Ragamulya Suryakancana. Menurut legenda Kadu Hejo, di daerah Pulasari
(tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa
mahkota. Ia memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya
dihancurkan oleh Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu. [RPMSJB,
Jilid keempat, hal.30]
Ketiadaan pakaian dan perangkat raja diatas dapat pula dikaitkan
dengan cerita lain. Dalam kisahnya disebutkan bahwa mahkota dan pakain
kerajaan tersebut diboyong oleh Jaya Perkosa dari Pakuan dan
adik-adiknya, yakni Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan,
Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot,
kemudian diserahkan untuk digunakan Geusan Ulun pada saat pelantikannya.
Dengan penggunaan perangkat tersebut maka Geusan Ulun dianggap syah
sebagai pewaris tahta Sunda.
SERANGAN BANTEN KE DUA
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka, bertepatan
dengan tanggal 19 September 1568 masehi Susuhunan Jati wafat.
Pemerintahan Cirebon diwalikan kepada Fadilah Khan, kemudian dua tahun
sesudahnya atau pada tahun 1570, Fadilah Khan wafat, tahta Cirebon
selanjutnya dilanjutkan oleh Panembahan Ratu. Namun lebih banyak
mengkonsentrasikan perhatiannya ke Pajang, karena termasuk salah satu
murid sekaligus menantu dari Adiwijaya.
Di Banten pada tahun 1570 Panembahan Hasanudin juga wafat. Tahta
Banten di lanjutkan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf. Ia sangat
berperan dalam menentukan hubungan selanjutnya dengan masalah Pajajaran.
Hal ini disebabkan pula para penandatangan perdamaian Cirebon dengan
Pajajaran sudah wafat, oleh karenanya ia tidak merasa harus menghormati
perjanjian tersebut.
Semula Panembahan Yusuf tertarik untuk menaklukan Palembang, namun ia
merasa kurang puas karena Pakuan belum seluruhnya dapat dilumpuhkan.
Padahal telah dikepung dan beberapa kali diserang, benteng Pakuan masih
belum dapat diterobos. Pada masa itu Pakuan sudah ditinggalkan rajanya,
namun masih ada penduduk bersama pasukan yang ditugaskan untuk
mempertahan Pakuan.
Untuk melakukan penyerangan, Panembahan Yusuf memerlukan persiapan
yang matang, antara lain mempersiapkan pasukan yang lengkap dan menebar
para telik sandi untuk mengetahui kelemahan penjagaan benteng.
Penyerangan akhirnya dilakukan pada tahun 1579 dengan menggabungkan dua
pasukan besar, yakni Banten dan Cirebon.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
• Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa
saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari
muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka”
bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8
Mei 1579 M).
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan, dalam Pupuh Kinanti, :
• Nalika kesah punika / ing sasih Muharam singgih / wimbaning sasih
lapisan / dinten ahad tahun alif / punika sakalanya / bumi rusak rekeih
iki ( Waktu keberangkatan itu / terjadi bulan Muharam / tepat pada awal
bulan / hari Ahad tahun Alif /inilah tahun Sakanya / satu lima kosong
satu). [RPMSJB, hal. 32]
Kejatuhan benteng pakuan diketahui dari naskah Banten. Naskah
tersebut memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol
setelah dibuka dari dalam oleh komandan kawal benteng Pakuan yang merasa
sakit hati, karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara
Ki Jongjo seorang kepercayaan Panembahan Yusuf.
Pada tengah malam buta, setelah pintu gerbang Pakuan dibukan dari
dalam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota. Kisah
itu mungkin benar atau hanya rekaan, namun cerita ini cukup
menggambarkan, bahwa betapa kuatnya pertahanan Benteng Pakuan yang
dibuat Sri Baduga, bahkan setelah ditinggalkan oleh rajanya selama 12
tahun, pasukan Banten dan Cirebon masih perlu menggunakan cara halus
untuk menembusnya.
Nasib Pakuan beserta para penghuninya setelah dihancurkan oleh
pasukan Banten dan Cirebon, tidak terkabarkan beritanya, termasuk dari
naskah-naskah tua. Namun pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Sersan
Scipio, pada tanggal 1 September 1687 menemukan sisa-sisa keraton
tersebut, terutama tempat duduk yang ditinggikan (sitinggil) raja
Pajajaran, masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar
harimau. Dari sinilah kemungkinan muncul mitos, bahwa prajurit
Pajajaran berubah menjadi harimau.
Berakhirnya jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai dengan
diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana dari Pakuan ke Surasowan di Banten
oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu tersebut di boyong ke Banten karena
tradisi politik mengharuskan demikian. Pertama, dengan dirampasnya
Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru.
Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus
kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri
Baduga Maharaja.
Tentang batu palangka dikisahkan di dalam Carita Parahiyangan, :
• Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri
Baduga Maharajadiraja Ratu Haji d i Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri
Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu
Dewata.
• (Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk
Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di
keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana
Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi
raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat, yaitu tempat duduk
khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka
yang berada di Kabuyutan itulah seorang calon raja diberkati (diwastu)
oleh pendeta tertinggi. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari
batu dan digosok sehingga halus dan mengkilap. Batu Tahta seperti ini
oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang, bila
dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa.
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan
bekas Keraton Surasowan Banten. Karena bentuknya yang mengkilap, orang
Banten menyebutnya Watu Gigilang, yang berarti Batu yang mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
BERAKHIR DI PULASARI
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Panembahan Yusuf mengarahkan
serangannya ke Pulasari. Prabu Ragamulya Suryakancana bersama
pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada
akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikut nya gugur di Pulasari.
(***)
MASA PRALAYA
• Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang
na prebeda. / Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam. /
Prang ka Rajagaluh, él éh na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, él éh na
Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka
Madiri, prang ka Paté gé, prang ka Jawakapala, él éh na JawakapaJa.
Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. /
Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon, pun.
Didalam akhir naskah, penulis Carita Parahyangan memberitakan tentang
raja terakhir Pajajaran dan bagaimana proses peperangan dilakukan
sehingga seluruh wilayah Pakuan menjadi “Kawisesa oleh Demak dan
Cirebon”.
Kehancuran Pajajaran diakibatkan dua faktor, yakni faktor intern dan
ekstern. Faktor intern disebabkan oleh perilaku raja yang tidak peduli
terhadap kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat, sedangkan faktor
eksteern disebabkan adanya serangan musuh yang bertubi-tubi, terutama
yang dilakukan oleh pasukan gabungan Banten dan Cirebon. Faktor ini
menimbulkan rasa frustrasi dan ketakutan rakyat. Itulah sebenarnya yang
hendak di gambarkan oleh penulis Carita Parahyangan.
Penulis Carita Parahyangan mengupas tentang proses dialetika suatu
kondisi masyarakat, sekalipun diuraikan secara sederhana namun bagi para
pemikir nampak adanya pemikiran dialektis tentang bagaimana kehancuran
suatu masyarakat itu terjadi.
MASALAH INTERN PAKUAN
Penulis Carita Parahyang menguraikan, bahwa : jika suatu masa tidak
mengalami kejahatan dan kemaksiatan maka manusia akan berada di dalam
masa yang sejahtera. Akan tetapi justru sebaliknya, masa kaliyuga sudah
sangat terasakan ketika masa Ratu Sakti, terutama ketika kejahatan dan
kemaksiatan dianggap biasa dan dilindungi penguasa, sehingga Pajajaran
hanya tinggal menunggu masa Pralaya (kehancuran, kiamat). Tentang
analisa ini secara lengkap, sebagai berikut :
• Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya.
Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta, kreta. / Dopara luha gumenti tang
kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké lamaniya manggirang, lumekas
madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda wisayaniya, manurun
aken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa
kilang.
Tahapan kehancuran Pajajaran diuraikan pada bab terdahulu, tentang
Manurajasuna dan masa Kaliyuga, tentunya mulai nampak pada masa Ratu
Dewata, raja hanya mengejar kebahagiaan hidup melalui laku tapa,
batarak, kuru cileuh kentel peujit, melakukan pwah susu namun tidak
peduli terhadap kehidupan negara dan masyarakatnya.
Pada masa Ratu Dewata bertahta, kesempatan untuk melakukan
pembangunan dan mengkonsolidasikan masyarakat lebih besar dibandingkan
pada masa Surawisesa, namun Surawisesa sudah meletakan dasar-dasar
keamanan negara melalui perjanjian damai dengan Cirebon, Demak dan
Banten. Sekalipun luas yuridiksi negara sudah tidak seluas ketika Sri
Baduga masih bertahta.
Kesempatan kedua nampak pada masa Ratu Sakti. Raja ini memiliki
kesempatan yang luas untuk mengembalikan wilayah Pajajaran yang telah
direbut Cirebon, Demak dan Banten. Pada masa itu pasukan Banten dan
Kalapa sedang disibukan untuk menaklukan Pasuruan dan Panarukan, bahkan
Sultan Trenggono, Demak dan Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon
terbunuh didalam huru hara Demak.
Proses selanjutnya tiba pada masa Nilakendra. Pada masa tersebut
Pakuan sudah mulai membangun jalan-jalan disekitar istana dan
memperbaiki segala macam atribut istana, namun kejahatan dan kemaksiatan
sudah menyeruak keseantero negeri dan dianggap sesuatu yang biasa. Raja
asyik mengejar kepuasaan hidup melalui pendalaman ajaran yang jauh dari
realitas hidup, seperti mensyahkannya mabuk-mabukan sebelum melakukan
ritual. Pada masa ini rakyat sudah frustasi dan dianggap sudah berada
didalam masa Kaliyuga.
Pada masa Ragamulya ia bertindak sebagai raja sekaligus pertapa, masa
ini raja berkuasa tanpa mahkota dan tanpa memiliki pasukan perang. Raja
hanya tinggal meunggu waktu datangnya kehancuran yang ditimbulkan
musuh. Pada masa ini disebutkan masa Pralaya Pajajaran.
BANTEN MELANGGAR PERJANJIAN
Panembahan Hasanudin dari Banten Pasisir kurang setuju atas
perjanjian damai Pajajaran – Cirebon. Perjanjian tersebut dianggap hanya
aman bagi Cirebon, tetapi menjadi ancaman bagi Banten. Jika kemudian Ia
menyetujui, hal ini hanya karena ketaatannya kepada kebijakan ayahnya,
Susuhunan Jati.
Niat Hasanudin untuk menguasai pakuan dilakukan secara terselubung,
dengan cara membentuk pasukan khusus tanpa indentitas (tambuh sangkane),
sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya ketika merebut Surasowan.
Dalam periode berikutnya, Belanda menyebut tambuh sangkane dengan
istilah rover, pengganggu ketertiban.
Hasanudin didalam ranji Pajajaran ia masih cicit Sri Baduga Maharaja
dari Kawunganten, maupun dari Susuhunan Jati. Kawunganten putra
Surasowan dan Surasowan putra Sri Baduga Maharaja dari Kentring Manik
Mayang Sunda. (Yoseph, hal. 282). Mungkin Hasanudin merasa berhak atas
tahta Kerajaan Pajajaran. Suatu hal yang patut diperhitungkan adanya
kekhawatiran Hasanudin terhadap serangan Pajajaran untuk mengembalikan
Banten sebagai wilayah Pajajaran. Kekuasaan Hasanudin di Banten
diperoleh pasca menggulingkan ua nya, yakni Sang Arya Surajaya, hal ini
sangat terkait erat dengan ekspansi perdagangan para Saudagar islam
waktu itu, mengingat sangat sulit dikatagorikan sebagai penyebaran agama
islam di Banten jika Sang Arya Surajaya pada masa itu sudah memeluk
agama islam, bahkan ayahnya pun, Sang Surasowan telah memeluk agama
islam. Banten sebagai pelabuhan perdagangan pada masa Arya Surajaya
berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
Niat menyerang Pajajaran dilakukan pada masa pemerintahan Sang Ratu
Dewata. Hasanudin dengan pasukan tambuh sangkane langsung menyerang
Pakuan, serangan itu disongsong pasukan Pakuan dialun-alun Pakuan,
sekarang alun-alun Empang. Dalam pertempuran itu, gugur Tohaan Ratu
Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang, perwira-perwira muda pihak
Pajajaran.
Peperangan ini dicatat dalam Carita Parahyangan, isinya :
• “datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan
ageung. Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang”.
(Datang bencana dari laskar musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi
perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet dan Ratu Sanghyang).
Kemenangan pasukan Pajajaran lebih banyak ditopang oleh kesetiaan dan
ketangguhan pasukan yang pernah menjadi pengawal Surawisesa. Pada masa
lalu pasukan tersebut telah mengalami lima berlas kali pertemuan di
front barat Citarum. Pasukan Hasanudin setelah gagal menyerang Pakuan,
kemudian mengundurkan diri, lalu melakukan serangan ke daerah utara,
kemudian Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri. Serangan ini dimungkinkan
untuk memancing konsentrasi pasukan Pajajaran agar keluar meninggalkan
benteng Pakuan.
Didaerah tersebut pasukan Banten banyak melakukan pengrusakan
terhadap Kabuyutan dan para wiku yang sangat dilindungi Pajajaran.
Dimasa lalu dianggap sebagai Dangiang Sunda, banyak raja Sunda yang
mempertaruhkan harga diri negaranya di Kabuyutan, bahkan Darmasiksa
memaklumkan, bahwa : “lebih hina seorang raja dari kulit musang di tong
sampah jika tidak mampu mempertahankan Kabuyutannya”.
SERANGAN KE DUA
Pasca penyerangan pertama, Pakuan sudah tidak dapat
mengkonsolidasikan pasukannya dengan baik, mengingat rakyat sudah mulai
frustasi melihat tingkah laku penguasanya, terutama ketika masa Ratu
Sakti.
Pada masa Nilakendra memang telah masuk pada masa Kaliyuga. Pada masa
ini muncul kembali serangan dari pasukan tambu sangkane menggempur
ibukota Pakuan. Prabu Nilakendra tidak berdaya, ia meloloskan diri
meninggalkan keraton. Prabu Nilakendra tidak pernah diketahui kapan
wafatnya dan dimana dipusarakannya. Mungkin ia meninggal di tengan hutan
belantara dalam keadaan sengsara sebatang kara. Peristiwa ini
digambarkan didalam Carita Parahyangan, :
• “Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan Majaya kalah perang dan ia tidak tinggal di Keraton).
Pakuan dipercayakan kepada semua pembesar yang tidak menyertainya
dalam pelarian. Para pembesar kerajaan Pajajaran dengan segala daya
upaya mempertahankan keraton Pakuan Pajajaran. Berkat perlindungan parit
pertahanan dan benteng yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja, Pakuan
dapat diselamatkan.
PENGUNGSI DARI PAKUAN
Pakuan pasca ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak
berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah
pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah.
Sebagian lagi meninggalkan Pakuan mengungsi ke timur, diantaranya
terdapat pembesar kerajaan, Senapati Jayaprakosa beserta adik-adiknya,
kemudian menetap di Sumedang.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah kekerabatan dengan
keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia
meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra
Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng
Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes,
Kabupaten Pandeglang.
Dari sekian bagian penduduk yang mengungsi, ada sebagian lagi yang
mencoba bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan
yang ditugaskan menjaga dan mempertahankan Pakuan. Walaupun sudah tidak
berfungsi, kehidupan di Pakuan pulih kembali.
Pengusian lainnya kewilayah barat daya dipimpin oleh Ragamulya. Di
pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan
ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat
dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan
adik-adiknya untuk diselamatkan. Mungkin juga pemilihan Pulasari pada
waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota
Salakanagara. Dalam versi lainnya ada juga yang menyebutkan, bahwa
Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu
pemerintahan. Pulasari waktu itu sebagai Kabuyutan, daerah yang
dikeramatkan. Digunakan oleh Suryakancana untuk mendekatkan diri dengan
Tuhan.
Menurut Iskandar (2005), Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah
mempunyai firasat, bahwa pusat kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang.
Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus kembali
ketitik-asal (purbajati). Mungkin juga ia mengetahui melalui bacaan
lontar, catatan tentang Rajakasawa yang mengisahkan Karuhun (leluhur)
Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan dorongan batin yang ia miliki sebagai
pewaris darah raja.
Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru
berdampingan dengan Kerajaan Surasowan. Yang pasti, Pulasari yang
dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah patilasan (bekas)
pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur
Mulya dalam abad kedua Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman
mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun 130 Masehi.
PAJAJARAN SIRNA
Pasca penyerangan Banten kali kedua ke Pakuan, tokoh penanda tangan
perjanjian Pajajaran-Cirebon, satu persatu menutup usianya, yakni
Sanghiyang Surawisesa (raja Pajajaran), wafat lebih awal, pada tahun
1535 M ; Susuhunan Jati, wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra
tahun 1490 Saka atau 19 September 1568 M ; Fadillah Khan, yang
menggantikan Susuhunan Jati, wafat, pada tahun 1570 Masehi ; dan
Panembahan Hasanudin, wafat pada tahun 1570 Masehi.
Hasanudin digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf, putra
dari pernikahannya dengan puteri Indrapura. Panembahan Yusuf merasa
tidak terikat dalam perjanjian damai Cirebon dengan Pajajaran, ia pun
tertarik untuk memperluas wilayah Banten, kemudian mempersiapkan
serangannya dengan matang, terutama setelah Hasanudin Gagal
menghancurkan Pakuan untuk yang kedua kalinya. Penyerangan tersebut
dilakukan setelah sembilan tahun Panembahan Yusuf memegang tahta
kerajaan Surasowan. Serangan tersebut mendapat bantuan dari kerajaan
Cirebon, sehingga disebut serangan besar-besaran ke Pakuan.
Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten dalam bentuk pupuh Kinanti, :
• Nalika kesah punika / Ing sasih muharam singgih / Wimbaning sasih
sapisan / Dinten ahad tahun alif / Puningka sangkalanya / Bumi rusak
rikih iki (Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan muharam – tepat pada
awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima
kosong satu).
Pakuan pasca ditinggalkan Nilakendra masih memiliki aktifitas seperti
biasanya, namun memang sudah tidak lagi digunakan sebagai
persemayamannya raja Pajajaran. Benteng Pakuan memiliki pertahanan yang
sangat kuat. Pakuan masih memiliki soliditas dan ketangguhan sisa-sisa
prajurit Pajajaran yang masih bermukim dibenteng.
Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada
pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan
masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan
membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten
memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan.
Penduduk Pakuan telah susah payah membangun kembali kehidupannya, namun
pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan
tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang
dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
• Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa
saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari
muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka”
bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8
Mei 1579 M).
MEMBURU RAJA NU NGUNGSI
Para pengungsi yang menuju kearah barat daya berakhir di Pulasari.
Mereka menyertakan Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya menegakkan
kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta
tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah
dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk
diselamatkan, untuk kemudian diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun.
Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja
daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Namun dalam versi lain
disebutkan, bahwa : Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim
digambarkan dalam suatu pemerintahan. Di Pulasari hanya sebagai wilayah
Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan dan dilindungi negara. Hal tersebut
digunakan pula oleh Ragamulya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke
Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia
berupaya melawan sekuat tenaga, namun ia bukan raja Sunda seperti
leluhurnya dahulu, ia tidak memiliki perlengkapan perang, karena ia
hanya hidup Ngaresi dipengungsian.
Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya pada akhirnya harus
menerima kodratnya, ia gugur di Pulasari setelah di bantai dan diluluh
lantakan penduduknya. Demikian catatan sejarah menuliskan, Prabu
Ragamulya Suryakancana gugur di Pulasari oleh pasukan Maulana Yusuf.
Lima abad setelahnya, setiap pengunjung Situs Purbakala Pulasari
diberitahukan tentang adanya legenda Kaduhejo. Konon pada masa lalu
telah datang kedaerah ini seorang raja tanpa mahkota, yang wafat di
telasan pasukan Panembahan Yusuf. (***)
PUING PAKUAN
Antara Pajajaran sirna Ing Bhumi sampai ditemukan kembali oleh
ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota Pakuan
yang pernah berpenghuni sekitar 48.271 jiwa ini ditemukan sebagai puing
yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde;
1703).
Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana yang mengantarkan ekspedisi
Scipio menemukan kembali kotanya yang hilang. Pakuan ditelan jaman, di
selimuti kabut duka, dihancurkan kerakusan manusia.
Pada tanggal 1 September 1687 titi mangsa ditemukan tapak lacak lemah
cainya. Mereka hadir sebagai pejiarah pertama. Di puing Kabuyutan
Pajajaran yang mereka duga sebagai singggasana raja, mereka tafakur dan
mengenang kejayaan dan keagungan Pajajaran.
Scipio pada tahun 1687 memiliki dua catatan penting dari
ekspedisinya, yakni perjalanan antara Parung Angsana, Tanah Baru menuju
Cipaku dengan melalui Tajur. Scipio mencatat : Jalan dan lahan antara
Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak
pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni. Lukisan jalan setelah ia
melintasi Ciliwung. Ia mencatat Melewati dua buah jalan dengan pohon
buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit.
Pada tanggal 1 September 1687 M memperoleh keterangan dari anak
buahnya, bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran. Dari
perjalanannya disimpulkan bahwa ada jejak Pajajaran yang masih bisa
memberikan kesan wajah kerajaan, terutama Situs Batutulis.
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes
Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis
tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan
penduduk, istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan
untuk raja Pajajaran, sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat
oleh sejumlah besar harimau.
Penduduk Parung Angsana menghubungkan seorang anggota ekspedisi yang
diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687.
Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau penjaga
‘singgasana raja Pajajaran’. Mungkin laporan dan peristiwa ini yang
memunculkan mitos tentang hubungan Pajajaran yang sirna dengan
keberadaan harimau. Selanjutnya disebutkan pula bahwa raja Pajajaran
tilem, sedangkan prajuritna berubah wujud menjadi harimau.
Dari hasil ekspedisi Winkler dilaporkan pula, tentang perjalanannya
yang bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana, Tanah Baru lalu
ke selatan, melewati jalan besar, Scipio menyebutnya ‘twee lanen’.
Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu
membentuk siku-siku, namun hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap
jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk, Cibalok dan melintasi parit
Pakuan yang dalam dan berdinding tegak, tepinya nampak membentang ke
arah Ciliwung sampai ke jalan menuju arah tenggara, setelah arca.
Kemudian ia sampai di lokasi kampung Tajur Agung. Setelah itu sampai ke
pangkal jalan durian yang panjangnya.
Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena
itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian dikedua
sisinya. Dari Tajur Agung menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang
kelak pada tahun 1709 dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan
ini menuju ke gerbang kota. Di situlah letak Kampung Lawang Gintung
pertama.
Di sekitar Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang
sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak
istana kerajaan. Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban
tua. Di sana ditemukan 7 batang pohon beringin.
Lahan di bagian utara bersambung dengan Bale Kambang yang biasanya
digunakan untuk bercengkrama raja. Dengan indikasi tersebut, lokasi
keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi jalan
Batutulis (sisi barat) dan Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang
sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan benteng batu yang
ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara).
Balekambang terletak di sebelah utara benteng itu. Pohon beringinnya
mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan
sekarang. Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia
memberitakan bahwa Istana Pakuan itu dikeliligi oleh dinding dan di
dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8.5 baris, disebutkan
demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda
penutup. Winkler menyebut kedua batu itu stond (berdiri).
Setelah terlantar selama kira-kira 110 tahun, sejak Pajajaran burak
oleh pasukan Banten pada tahun 1579, batu-batu itu masih berdiri dan
masih tetap pada posisi semula.
Winkler dari tempat prasasti menuju ke tempat arca, pada penduduk
menyebutnya Purwakalih, pada tahun 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa
Galih. Di sana terdapat 3 buah patung yang menurut informan Pleyte
adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio
ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada
masa bupati Pangeran Kornel, kemudian pada tahun 1862 disadur dalam
bentuk pupuh. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat
kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687
mengetahui hubungan antara Kabuyutan Batutulis dengan kerajaan Pajajaran
dan Prabu Siliwangi. Menurut babad Pajajaran, Pohon Campaka Warna
terletak tidak jauh dari alun-alun.
Konon kabar Pakuan dihias dengan kraton Sri Bima, telaga panjang Sang
Hiyang Talaga Rena Mahawijaya atau Sanghyang Kamala Rena Wijaya, dengan
taman Milakancana dekat hutan Songgong tempat punden Pakuan Pajajaran.
Kearah Pakuan Pajajaran dibuat jalan-jalan besar yang dapat dilalui
gerobak-gerobak dan beberapa kilometer. ke utara Muaraberes di kali
Ciliwung masih ada bekas-bekas dermaga, dan juga di Ciampea, disebelah
barat dari Pakuan, di Kali Cisadane semestinya akan dapat ditemukan
bekas-bekas peninggalan dermaga atau sistim pertahanan, karena kedua
tempat itu adalah batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara Laut
Jawa, pintu gerbang menuju pedalaman.
Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau
Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwa karta,
Sagalaherang, terus ske Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga
Kawali dan ke pusat kerajaan Galuh Pakuan disekitar Ciamis dan Bojong
Galuh. (Mungkin semacam jalan tol).
Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya
“dihidupkan kembali” tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang
dirindukkan dan disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap
kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka “Geus deukeut ka Pajajaran
ceuk galindeng Cianjuran Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng
panineungan” (Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran Masih
jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) Pakuan terasa dekat, tetapi tak
kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya
menjelmakan gagasan Pajajaran Ngahiyang atau Pajajaran Tilem.
Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun - Pajajaran tidak
hilang, Pakuan hanya ngahiang. Paling itulah kata-kata orang tua yang
tidak mau kehilangan Pajajaran, bahkan mereka menghibur diri dengan
berkata : “Ngan engke bakal ngadeg deui” [Suatu saat akan berdiri
kembali).
• Talung talung keur jaman Pajajaran / jaman aya keneh kuwarabekti /
jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit tangtu eusina metu / euweuh
nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani nandonkeun karang / euweuh nu tan
paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar ku lapar. (masih mending waktu
Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja /
ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada
petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal /
tiada hatus petani mati karena lapar).
Cag heula. (***)
Sumber Bacaan :
Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor – 1983 – di copy dari pasundan.homestead.com
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga
Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga,
Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3,
Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
• Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga
Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga,
Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3,
Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor, – 1983.
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3,
Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
Di Kutip dari : GUNUNG SEPUH
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.