KAMPUNG MAHMUD (Dok Salakanagara)

Raden Haji Abdul Manaf disebut juga Eyang Dalem Mahmud adalah seorang ulama Sunda yang hidup pada abad peralihan abad ke-17/18, hidup diperkirakan antara tahun 1650–1725. Hingga saat ini, riwayat ulama ini belum banyak diketahui.

Belum ada penelitian mendalam yang mengungkap peranannya di Kota Bandung pada abad tersebut. Tentang tempat asalnya, beredar dua versi: dari keturunan Cirebon dan dari keturunan Mataram. Mungkin, dari Mataram, ke Cirebon terus ke Bandung. Tapi melihat para leluhurnya, ia adalah seorang keturunan Sunda. Bukti pasti bahwa ia seorang ulama berpengaruh adalah makamnya yang dianggap keramat dan hingga kini banyak diziarahi banyak orang. Selain makam, ia pun meninggalkan peninggalannya yaitu sebuah kampung unik yang disebut Kampung Mahmud di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Marga Asih. Kampung ini berada dipinggiran Sungai Citarum yang melewati kawasan Bandung Selatan. Letaknya yang di pinggiran sungai ini, membuat kampung ini eksklusif, menutup komunikasi langsung sehari-hari warganya dengan dunia luar sehingga dalam waktu cukup lama keaslian tradisinya terjaga. Keunikannya adalah, rumah-rumah di kawasan Mahmud bentuknya sama yaitu rumah panggung, pantangan memakai kaca, menggali sumur dan bertembok. Kemudian, dilarang menyetel musik dan memelihara binatang. Namun, seperti akan diuraikan, nilai-nilai adat ini kini sudah banyak dilanggar. Keadaan mulai banyak berubah.



Riwayat Haji Abdul Manaf
Menurut tradisi lisan, diceritakan oleh Raden Haji Mangkurat Natapradja (Lurah Desa Babakan Ciparay tahun 1915-1950), bahwa bupati saat itu bernama Dalem Dipati Agung Suriadinata. Ia mempunyai putra bernama Dalem Natapradja. Natapraja ini adalah ayahnya Raden Haji (RH) Abdul Manaf atau dikenal dengan
sebutan Dalem Mahmud.

Suatu saat, RH. Abdul Manaf pergi menunaikan haji ke Mekkah. Ketika ia berada di depan Ka’bah ia bermunajat kepada Allah dan mendapat ilham (wangsit) berbentuk perintah: “Kamu harus mengambil segenggam tanah dari pelataran Ka’bah ini untuk dibawa pulang ke tanah air. Setibanya di kampung halamanmu, tanah itu harus ditebarkan di sekitar rumah kemudian namailah kampungmu itu dengan nama Mahmud. Kemudian kampung Mahmud itu harus dijadikan kawasan “haram” (tanah suci) yang tidak boleh dikunjungi dan diinjak oleh seseorang yang tidak beragama Islam. Selanjutnya, tandailah dengan sebuah tugu yang menjadi tanda bahwa tanah itu adalah tanah haram.” Sepulang dari Mekkah, Abdul Manaf melaksanakan perintah itu. Kampung Mahmud itu bertahan beratus-ratus tahun berhasil menjadi kampung yang terjaga sesuai pesan dari Mekkah itu.

Setelah kampung itu bernama Mahmud, tempat itu berkembang menjadi salah satu pusat pelajaran spiritual Islam[2] terkenal di tatar Sunda dan sekaligus menjadi sebuah tempat perlindungan (persembunyian) dan pengayoman bagi mereka yang mencari perlindungan. Sebuah kisah diceritakan R. Endih Natapraja dan pernah ditulis oleh R. Suandi Natapraja sebagai berikut:

Suatu ketika, Eyang Dalem Mahmud kedatangan seoang pria setengah baya yang mengaku berasal dari daerah timur  bernama Zainal Arif. Tamu itu menceritakan bahwa kedatangannya dalam rangka melarikan diri karena ia dituduh membahayakan keamanan penguasa Kolonial Belanda. Setelah menempuh perjalanan sekian jauh, atas petunjuk beberapa orang yang ditemuinya, sampailah ia ke kawasan Mahmud tersebut dan menemui RH. Abdul Manaf. Ia kemudian memohon perlindungan. Abdul Manaf menerimanya dan menjadikannya sebagai murid serta pengikutnya.

Setelah sekian lama mengikuti pelajaran, ternyata didapati bahwa Zainal Arif adalah seorang pemuda yang pandai, cerdas dan cekatan dalam menerima pelajaran yang diberikan. Karena ia pun menunjukkan kesetiaannya sebagai murid Eyang, ia pun akhirnya dinikahkah dengan salah seorang keturunannya kemudian diberi gelar Eyang Agung. Zainal Arif yang telah menjadi menantu Eyang Dalem kemudian berpengaruh dan tumbuh menjadi “Eyang kedua.” Eyang Dalem Mahmud Haji Abdul Manaf diperkirakan wafat tahun 1725. Dari catatan keturunannya yang masih hidup hingga sekarang, terdapat urutan silsilahnya leluhur dan keturunannya sebagai berikut:

Prabu Linggawastu
Prabu Mundingkawati (Siliwangi I)
Prabu Anggalarang (Siliwangi II)
Parubu Pucuk Umum (Siliwangi III)
Prabu Anggalarang (Siliwangi IV)
Prabu Seda (Siliwangi V)
Prabu Guru Bantangan
Prabu Lingga Pakuan
Panandean Ukur
Dipati Ukur Ageung
Dipati Ukur Anom
Dipati Ukur Delem Suriadinata
Dalem Nayadireja (Sontak Dulang)
Raden Haji Abdul Manaf
Raden Saedi
Raden Jeneng
Raden Jamblang
Raden Brajayuda Sepuh (Jagasatru I)
Raden Haji Abdul Jabar (Jagasatru II)
Raden Brajayuda Anom (Jagasatru III)
Raden Haji Mangkurat Natapradja (H. Abdulmanap)

Sedangkan silsilah Zainal Arif, nyambung kepada Syekh Haji Abdul Muhyi di Pamijahan, Tasikmalaya.

Syekh Abdul Muhyi
Sembah Dalem Bojong
Sembah Eyang Samadien
Sembah Eyang Asmadien
Sembah Eyang Zainal Arif
Embah Ta’limudin
KH. Marjuki (Mama Prabu Cigondewah)

Komplek Makam
Raden Haji Abdul Manaf dikebumikan di bawah pohon beringin yang rindang berdekatan dengan makam Zainal Arif, berjarak sekitar 15 meter. Tugu yang dibangun berdasarkan ilham di tanah suci hingga kini terpelihara karena dilestarikan dengan dibangun sebuah bangunan yang tertutup dan terkunci, dikelilingi pagar besi dan beratap. Makam RH. Abdul Manaf merupakan makam utama dibangun dari lempengan batu murni berbentuk segi empat. Di sekitarnya, terdapat pula beberapa makam murid dan keluarga dekat Abdul Manaf. Komplek makam ini cukup nyaman sebagai tempat ziarah yang sepertinya dibangun sengaja untuk para penziarah. Ziarah pada saat hari-hari besar Islam seperti bulan Maulud dan Rajab melebihi jumlah hari-hari biasa.

Sejarah dan Nilai Strategis Kampung Mahmud Hingga saat ini, kampung Mahmud masih sebagai kampung “tertutup” atau “tanah haram” yang hanya boleh dikunjungi oleh orang yang beragama Islam. Untuk menjaga keutuhan kampung, hanya terdapat satu jalan masuk yang dipintunya memakai gapura atau portal bertuliskan “Kampung Mahmud.” Askes ke Kampung Mahmud sekarang semakin mudah dengan angkutan umum langsung ke lokasi. Sepanjang pengetahuan kuncen, sejak zaman Belanja, kemudian Jepang, kampung Mahmud hingga saat ini belum pernah diinjak oleh orang non-Muslim. Karenanya, tidak ditemukan orang asing disini atau non-pribumi yang berani membuka usaha. Semua kegiatan ekonomi atau perniagaan dipegang oleh orang-orang pribumi. Di kawasan luar kampung, baru ditemui beberapa toko dan usaha kelompok “non-pribumi.” Adat Kampung Mahmud melarang pembunyian alat-alat musik, beduk dan pemeliharaan hewan piaraan.

Lokasi di pinggiran Citarum ternyata adalah pilihan strategis Raden Haji Abdul Manaf dalam situasi penjajahan Belanda. Kampung Mahmud dulunya adalah rawa-rawa yang sulit dilalui. Daerah itu dikelilingi Sungai Citarum lama dan sepotong Sungai Citarum baru. Secara geologis, daerah yang kini dihuni sekitar 400 keluarga tersebut berbentuk cekungan. Tempat yang menjorok dari kota dan terpisahkan oleh Sungai Citarum membuat kampung ini sulit tersentuh oleh Belanda sehingga aman sebagai tempat persembunyian dan untuk mengembangkan ajaran Islam. Larangan menyembunyikan alat-alat musik, pewayangan, gamelan, beduk dan pemeliharaan binatang (terutama kambing dan angsa) bukanlah mitos atau paham keagamaan kolot melainkan sebuah kearifan tradisional. Larangan itu adalah amanat RH. Abdul Manaf agar tidak menimbulkan kebisingan yang bisa mengundang kecurigaan dan kehadiran pihak penjajah Belanda ke kampung itu.

Jadi, dari berbagai sisi, RH. Abdul Manaf berusaha menjadikan tempat itu sebuah kampung yang aman dan nyaman sebagai tempat persembunyian. Di sisi lain, sebagai ulama, ia juga mengajarkan dan menanamkan rasa kebersamaan, kesederajatan sosial, saling membantu dan sikap gotong royong seperti yang diajarkan Islam. Ajaran ini ditanamkannya melalui amanat pembuatan rumah yang sama yaitu bentuk panggung. Sedangkan larangan bangunan bertembok, pembuatan sumur dan pemasangan kaca karena pertimbangan daerah itu labil. Tembok, sumur dan kaca tidak fleksibel terhadap guncangan dan mudah ambruk. Di sisi lain, larangan ini untuk menanamkan nilai-nilai kesamaan diantara warga penduduk kampung Mahmud. Ajaran-ajaran inilah yang membuat kampung ini aman, tenang dan asri.

Dampak Modernisasai: Tak Lagi Asri Namun, sejak pasca pertengahan abad ke-20, perubahan zaman dan modernisasi yang tidak terhindarkan, pengaruh teknologi mulai masuk. Komunikasi dengan dunia luar semakin terbuka. Media komunikasi seperti telepon sudah mulai masuk. Media elektronik seperti radio dan televisi sekarang sudah diterima, termasuk media cetak seperti surat kabar, majalah, atau buku. Mereka juga sudah terbiasa dengan kunjungan para peziarah dari luar.

Sebagaimana terjadi di banyak tempat di Indonesia, modernisasi mengakibatkan akibat-akibat buruk di kampung ini:

Pertama, sungai Citarum yang dulu bersih dan asri, digunakan oleh masyarakat kampung Mahmud untuk mandi dan mencuci, kini berpolusi limbah pabrik dan tidak bisa digunakan lagi. Ini mendorong penduduk membuat sumur masing-masing. Pada perubahan-perubahan yang sifatnya tidak bisa dihindari dan untuk kebutuhan semua orang, seperti kebutuhan air ini, biasanya para pupuhu disitu berdialog meminta izin dulu kepada Eyang RH. Abdul Manaf. Dan karena direstui, tidak terjadi akibat apa-apa.

Kedua, penggunaan alat-alat teknologi modern mulai masuk dan secara kultural merusak keaslian adat dan tradisinya. Televisi banyak merubah cara pandang dan gaya hidup. Selain sikap materialistik mulai tumbuh, gaya bicara remaja-pemuda yang mulai “ngota” (tidak berbahasa Sunda), kini warga Mahmud terbiasa menyaksikan hal-hal yang tidak bermanfaat seperti menyaksikan tayangan-tayangan artis selebritis dan sinetron di televisi.

Ketiga, perkembangan ekonomi dan pandangan hidup materialistik mulai merubah tradisi dan nilai-nilai adat kampung Mahmud yang sebelumnya memegang asas kesederajatan dan kebersamaan. Kini rumah-rumah mulai bertembok, memakai genteng mewah dan kaca. Kebun-kebun bambu milik penduduk kampung pun dijual kepada masyarakat kota untuk dijadikan lahan-lahan pemakaman. Atas pelanggaran-pelanggaran itu, menurut Syafe’i, yang dituakan di kampung itu, terbukti mereka yang melanggar biasanya sakit, rumah tangganya tidak rukun, atau ekonominya mandek. “Bukan karena sumpah leluhur, tapi karena perilaku mereka sendiri, kata Syafe’i yang menjelaskan adat masyarakatnya memang menerapkan keseragaman agar masyarakat tak saling menonjolkan diri, berperilaku sederhana, dan menekan rasa sombong. Kini Kampung Mahmud tak lagi asri. Saya tidak tahu, bagaimana nanti kalau mereka sudah meninggal, ke mana mereka akan memakamkan keluarganya?” ungkap Syafe’i.


Catatan:

[1] Tulisan mengenai riwayat keluarganya disini mengacu pada buku tipis yang ditulis oleh Iwan Natapraja (keturunan ke-10 dari RH. Abdul Manaf), Riwayat Maqam Mahmud: Peristirahatan RH. Abdulmanap Eyang Dalem Mahmud (Galura, 2003). Dalam buku tipis yang hanya merupakan catatan silsilah Abdul Manaf ini tidak ada informasi mengenai peranan dan kiprahnya sebagai ulama pada masa hidupnya. Perkiraan masa hidup RH. Abdul Manaf yang disebutkan Iwan pun, yaitu 1650-1725, meragukan. Lihat catatan kaki no. 18.

[2] Tidak ada penjelasan ‘pelajaran spiritual Islam’ itu maksudnya apa. Tentu saja, informasi ini sangat tidak memadai dibandingkan dengan peninggalan makamnya yang dikeramatkan dan banyak diziarahi.

[3] Bila benar Zainal Arif keturunan keempat Syekh Abdul Muhyi, perkiraan Iwan bahwa masa hidup RH. Abdul Manaf adalah 1650-1725 menjadi tidak mungkin. Masa ini persis bersamaan dengan hidupnya Syekh Abdul Muhyi (1650-1730) empat generasi di atas Zainal Arif yang diterangkan Iwan sebagai murid langsung RH. Abdul Manaf. Bila benar Zainal Arif adalah keturunan keempat Syekh Abdul Muhyi, ini bisa dijadikan patokan. Masa hidup RH. Abdul Manaf dengan demikian jelas bukan 1650-1725, melainkan sezaman dengan Zainal Arif sebagai keturunan keempat Syekh Abdul Muhyi. Jelasnya, masa hidup RH. Abdul Manaf adalah empat generasi setelah Syekh Abdul Muhyi yaitu abad ke-19.

Makam Mahmud terletak di suatu lokasi yang disebut Kampung Mahmud, Kecamatan Mekar Rahayu, Kabupaten Bandung (Bandung Selatan).

Terletak di pinggir sungai Citarum tidak jauh dari komplek perumahan Margahayu Permai ke arah selatan, dapat dicapai oleh kendaraan sekitar 10 menit. Malahan kini bisa dicapai dari Kota Bandung dengan angkutan kota sampai Pasar Mahmud.

Di kampung inilah terdapat suatu kawasan pemakaman salah seorang leluhur spiritual di Tatar Sunda yang bernama Raden Haji Abdulmanaf. Sedangkan oleh para turunannya beliau disebut dengan gelar “Dalem Mahmud” dan oleh masyarakat sekitar dijuluki “Eyang Dalem” atau “Eyang Mahmud”.

Latar Belakang Nama Mahmud.
 Tokoh R.H. Abdulmanaf atau “Eyang Mahmud” (diperkirakan keberadaanya sekitar tahun 1645 – 1725 M) tidak dapat dipisahkan dari pemegang kekuasaan saat itu, yaitu sebagai pimpinan pemerintah daerah yang sekarang disebut Mahmud.

Konon diriwayatkan oleh R.H. Mangkurat Natapradja (Lurah Desa Babakan Ciparay tahun 1915-1950 keturunan Generasi ke 9 Dalem Mahmud) bahwa Bupati saat itu yaitu Dalem Dipati Agung Suriadinata, mempunyai seorang Putra yang bernama Dalem Nayadireja. Dalem Nayadreja mempunyai seorang Putra yang kemudian diberi nama R.H. Abdulmanap atau “Dalem Mahmud”.

Kami belum berhasil mendapatkan keterangan dan data yang kongkrit tentang tepatnya waktu beliau dilahirkan. Tetapi menurut “perkiraan dan perhitungan” atas dasar cerita, kisah, riwayat keluarga, catatan sejarah lainnya bisa diperkirakan bahwa beliau dilahirkan sekitar tahun 1650 M.

Pada suatu ketika beliau pergi berziarah ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima, beribadah haji. Konon menurut riwayat yang diterima dari R. Endih Natapradja ketika beliau berada di depan Ka’bah, beliau bertafakur dan munajat kepada Allah s.w.t. dan atas ridha Allah beliau telah mendapatkan “wangsit” yang berbunyi demikian:

“Kamu hurus mengambil segenggam tanah dari pelataran Ka’bah ini untuk di bawa pulang ke tanah air. Setibanya di kampung halamanmu tanah itu harus ditebarkan di pelataran rumah kemudian namailah kampungmu itu dengan nama “Mahmud”.

“Kemudian kampung Mahmud itu harus dijadikan kawasan “haraam” (tanah suci) yaitu tidak boleh dikunjungi dan diinjak oleh seseorang yang tidak beragama Islam”

“Selanjutnya tandailah dengan sebuah Tugu yang menjadi tanda bahwa tanah itu adalah tanah haraam”. Demikianlah kurang-lebih “wangsit” yang diterima oleh “dalem Mahmud” ketika itu yang kemudian semuanya itu dilaksanakan oleh beliau sepulangnya dari Mekkah.

Sepulangnya dari Mekkah dan setelah menjadi haji, maka nama beliau diganti menjadi Haji Abdulmanaf.

Mahmud sebagai Pusat Pelajaran Spiritual Islam

Setelah kampung itu diberi nama Mahmud, tempat ini berkembang menjadi salah satu Pusat Pelajaran Sipritual Islam terkenal di Tatar Sunda dan sekaligus menjadi sebuah tempat perlindungan (persembunyian) dan pengayoman bagi mereka dengan alasan apapun mencari suatu perlindungan

Ada suatu kisah yang diriwayatkan oleh R. Endih Natapradja dan pernah ditulis oleh R. Suandi Natapradja demikian:

Konon pada suatu ketika Eyang Dalem Mahmud kedatangan seorang pria setengah baya yang mengaku berasal dari kawasan Priangan Timur dan bernama Zainal Arief .

Ia memaparkan bahwa sebenarnya ia sedang melarikan diri dari daerah asalnya karena dituduh membahayakan keamanan negara oleh penguasa saat ini (Penjajah Kolonial Belanda). Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan atas petunjuk berbagai pihak, sampailah ia ke kawasan Mahmud dan menemui Eyang Dalem Mahmud. Setelah menjelaskan keadaan dirinya kemudian ia meminta perlindungan dari Eyang Dalem. Dengan sendirinya Eyang Dalem menerimanya dan sekaligus diterima menjadi murid dan pengikutnya.

Setelah beberapa waktu ia mengikuti pelajaran dan bimbingan dari Eyang Dalem ternyata bahwa pemuda yang bernama Zainal Arif itu merupakan seseorang yang pandai, cerdas dan cekatan dalam mempelajari pelajaran tersebut. Di samping kecerdasan dan kesetiannya kepada Eyang Dalem, akhirnya ia dijadikan murid pertamanya.

Dengan kedcerdasan dan kepadaiannya dalam enerima “ilmu” dari Eyang Dalem, Zainal Arif pun seolah-olah menjadi “Eyang Kedua” di kampung Mahmud itu. Akhirnya Eyang Dalem pun menikahkannya kepada salah seorang keturunan beliau dan diangkat sebagai menantu. Kemudian diberi gelar atau dikenal dengan julukuan “Eyang Agung”.

Sayang sekali sampai saat riwayat ini ditulis kami belum mendapatkan data, peran apa yang sebenarnya yang disandang beliau semasa hidupnya. Tetapi dapat dipastikan paling tidak beliau adalah seorang Kiayi dan guru agama yang sangat dihormati oleh pengikutnya serta masyarakat sekitarnya bahkan oleh masyarakat lainnya di Tatar Sunda ketika itu.

Makam dan Tugu
Setelah wafat, Eyang Dalem Mahmud dikebumikan di bawah sebuah pohon beringin yang rindang, sedangkan Eyang Agung agak sedikit keluar dari kawasan makam utama kurang lebih 15 m ke sebelah utara.

Ada satu monument lagi yang sangat erat hubungannya dengan makam Mahmud, yaitu adanya sebuah batu “tugu” sekitar 150 m dari makam Eyang Dalem ke arah timur.

Tugu ini dibangun oleh Eyang Mahmud juga berdasarkan wangsit (pentunjuk) yang diterimanya ketika beliau berada di depan Ka’ba. Salah satu petunjuk yang beliau terima ialah, bahwa untuk menandai bahwa kawasan Mahmud sebagai daerah “suci” seperti halnya Mekkah dan Medinah maka hurus diberi tanda. Tanda tersebut kemudian dibangun oleh

Eyang Dalem dari batu yang tingginya kira-kira ½ meter dan diberi nama “Tugu Mahmud”, dengan berbentuk kuncup. Tugu tersebut kini dilestarikan dengan dibangunnya sebuah bangunan yang tertutup dan terkunci, dikelilingi dengan pagar besi yang cukup tinggi dan beratap. Ini dimaksudkan untuk menjaga dari mereka yang berniat jahil, karena sering ada yang mencoba memindahkan tugu tersebut. Ini sering terjadi sebelum dibangun bangunan pelindung tersebut.

Kami pernah menerima suatu cerita dari ayahanda R. Endih Natapradja (alm), pada suatu ketika ada orang-orang yang iseng memindahkan atau mencabut tugu itu dan dilemparkan jauh-jauh dari tempat asalnya. Tapi dengan izin Allah, Tugu itu kembali ke tempat asalnya sebelum orang jahil tersebut sampai di tempat tugu tadi. Kisah ini langsung kami terima dari beliau yang diterimanya dari ayahnya juga yaitu Rd. Mangkurat Natapradja dan pernah dikonfirmasi oleh Bapak Uya (alm) sebagai Kuncen Mahmud saat itu.

Makam Utama di mana dimakamkan Eyang Dalem Mahmud merupakan komplek Utama. Makam ini dibuat dari lempengan batu murni berbentuk seperti batako sekilas menyerupai bahan materi yang dipakai membangun Ka’bah. Kuburan dihiasi oleh dua buah batu nisan yang diletakan di bagian kepala dan kaki yang terbuat dari batu pula. Sehari-hari batu nisan ini ditutupi oleh kain putih. Sekelilingnya penuh dengan lumut (lukut – Sd) sehingga memberi kesan cukup anggun.

Seperti dikemukakan di atas, makam ini berada di bawah sebuah pohon beringin yang cukup rindang. Makam ini berukuran cukup panjang yaitu sekitar 2 meter. Di sekitar bagian kaki ada makam yang lebih kecil, inilah makan istri Eyang Dalem Mahmud.

DI sekitar makam dibangun pelataran yang beratap, berlantai semen diperuntukan bagai penjiarah dapat dengan tenang dan teduh melaksanakan maksudnya ber-”silaturakhmi” di makam Eyang.

Di kawasan utama yang kini dibatasi pagar, terdapat pula makam-makam lainnya, ini adalah para murid, pembantu, keluarga dekat dari Eyang Mahmud. Kawasan utama ini sekarang dipagar besi dan dikunci. Setiap pengunjung boleh berziarah dengan diantar oleh Juru Kunci (Kuncen) Makam yang bertugas.

Dalam berziarah di makam Eyang Mahmud tidak diperkenankan menabur bunga atau mengucurkan air di atas makam.

Sarana yang terdapat di komplek ini juga antara lain tempat WC umum dan tempat berwudlu dan tempat untuk melepaskan lelah, bahkan sering digunakan oleh pengunjung sebagai tempat menginap. Pada bulan Maulud biasanya banyak penziarah yang datang dari daerah yang jauh menginap di kawasan makam ini.

Kira-kira 15 m kesebelah utara, di luar area makam utama terdapat kawasan khusus yaitu makam Eyang Agung (Zainal Arif), yaitu murid utama dan mantu Eyang Dalem yang telah disinggung di atas. Makam Eyang Agung berdampingan dangan makam istrinya, makam inipun dikelilingi oleh pagar besi yang cukup tinggi dan dikunci. Ukuran makam Eyang Agung sama panjangnya dengan Eyang Dalem dan terbuat dari bahan yang sama serta dienuhu oleh lumut hijau yang halus tetapi tidak di bawah pohon beringin.

Di sebelah kaki makam juga terdapat pelataran yang disediakan pagi para penziarah melakukan “silaturakhminya” juga dilindungi oleh atap.

Tata Tertib Mengunjungi Makam & Kampung Mahmud
 Sudah tidak bisa dipungkiri bahwa peran Eyang Dalem pada saat itu sebagai tokoh dan Ulama yang sangat dihormati. Tidak saja oleh masyarkat sekitar tepai hamper di seluruh Tatar Sunda.

Ini dibuktikan pada masa kini dengan adanya pengunjung atau penziarah ke makam beliau yang cukup banyak. Hampir setiap harinya ada saja para pengunjung dari berbagai golongan dan tingkatan masyarakat dari berbagai tempat. Apalagi pada saat-saat hari besar Islam, seperti bulan-bulan Mulud dan Rajab, para pengunjung melebihi dari hari-hari biasa.

Pengunjung dan penjarah ada yang datang sendiri atau berombongan, pada umumnya mereka itu hanya ingin berziarah dan menyampaikan silaturakhmi dan Penghormatan (nyekar) serta mohon berkahnya dari Eyang.

Salah satu kondisi bagi penziarah adalah banwa mereka tidak diperkenankan memasuki makam Eyang, yang memang dipagar besi. Hanya boleh duduk di luar pagar saja. Di samping itu kampung Mahmud adalah kampung “tertutup” atau tanah “haram”, artinya hanya boleh dikunjungi oleh mereka yang beragama Islam saja.

Untuk meyakinkan bahwa hal tersebut tetap terjaga, maka hanya ada satu jalan yang memasuki kampung Mahmud, yaitu jalan yang memakai gapura dan berportal. Maka hanya mereka yang betul-betul kenal dengan kuncen saja yang bisa memasuki kampung Mahmud baik berjalan kaki maupun dengan kendaraan.

Kuncen yang sekarang bertugas juga mempunyai otoritas untuk “menyeleksi” pengunjung yang akan berziarah. Biasaya mereka yang diizinkan untuk masuk hanya yang ingin berziarah semata dan tidak bermakusd untuk “meminta” atau “memohon” selain dari pada dengan maksud bersilaturakhmi dan menyampaikan penghormatan belaka. Jika ada permintaan yang “tidak wajar” mereka dengan sendirinya akan ditolak oleh para kuncen. Sedangkan permohonan berkah hanyalah bersifat umum belaka. – Walaupun demikian masih banyak orang yang memounyai niat di luar batasan syariat yang dibenarkan oleh ajaran Rasulullah s.a.w., bagi yang demikian kami serahkan kepada masing-masing mereka yang melakukannya.

Oleh karena itu sepanjang pengetahuan para Kuncen, kampung Mahmud sampai saat ini belum pernah diinjak oleh mereka yang bukan Islam. Bahkan semenjak zaman penjajahan Belanda dan Jepang pun Kampung Mahmud tidak terjamah oleh mereka dan selalu terpelihara “kebersihannya” dari mereka yang bukan Islam.

Oleh karena itu pula sampai saat ini tidak ada “orang asing” yang berusaha untuk membuka usaha di Mahmud, misalnya “non-pribumi” tidak ada yang “berani” membuka perniagaan di sana. Semua perniagaan dipegang oleh “pribumi”, setelah keluar dari kawasan Maumud, maka tampaklah beberapa perusahaan yang dikelola oleh “non-pribumi”.

Tata-tertib kampung selanjutnya adalah tidak diizinkannya untuk menabuh alat-alat musik, seperti gamelan, orkes dan lain sebaginya. Sudah barang tentu pertunjukan wayang golek sekalipun digemari oleh umumnya masyarakat Sunda tidak diperbolehkan digelar di kawasan Kampung Mahmud ini.

Bangunan di Kampung Mahmud
 Pada umumnya bentuk bangunan di kampung ini berbentuk panggung, dalam artian mempunyai kolong, berlantai bambu yang dibelah-belah (palupuh – Sd.) atau terbuat dari papan. Dindingnya dari “bilik” bambu (anyaman bambu) dengan atap genting. Semua bentuk bangunan hampir sama (mirip), juga bentuk pintu dan jendelanya hampir sama antara satu dan lainnya.

Salah satu kekhususan pada rumah di kampung Mahmud adalah tidak diperbolehkannya memasang kaca pada jendela. Jadi jendela itu hanya dihalangi oleh ram kawat atau anyaman bambu dan teralis kayu saja. Mungkin ada beberapa yang sekarang menggunakan kaca tetapi itu dikawasan luar Mahmud. Tidak ada rumah mewah, gedung dan bangunan mentereng, semuanya kelihatan sederhana.

Dengan kesederhanaanya maka Kampung Mahmud tetap dalam visi dan misinya semula, yaitu sebagai tempat “persembunyian dan perlindungan” bagi mereka yang memerlukannya. Karena dengan adanya “rumah mewah” maka itu akan menjadi perhatian pihak lain dan fungsi “perlindungan dan persembunyian” akan menjadi pudar. Oleh karenanya kesederhanaan di Kampung Mahmud tetap dipelihara semaksimal mungkin.

Keturunan Eyang Dalem Mahmud
 Eyang Dalem Mahmud H. Abdulmanaf diperkirakan lahir tahun 1645 dan wafat tahun 1725. Beliau mempunyai seorang Putra bernama Raden Saedi. Terkenal dengan julukan Embah Saedi yang lahir kira-kira tahun 1670 mempunyai Putra bernama Raden Jeneng lahir sekitar tahun 1695. Embah Jeneng mempunyai seorang Putra bernama Raden Jamblang lahir sekitar tahun 1720.

Raden Jamblang mempunyai Putra yang dinamai Raden Brajayudha I atau Brajajudha Sepuh yang lahir sekitar tahun 1745. Mengapa diberi julukan Brajayudha I atau Sepuh, karena kelak beliau mempunyai cucu yang bernama Brajayudha juga, dan untuk membedakan keduanya maka diberi panggilan Sepuh. Sedangkan cucunya kelak diberi julukan Brajayudha II atau Brajayudha Anom. Keduanya sekarang dimakamkan di kawasan Mahmud sebelah selatan, kurang lebih 300 meter dari makam utama.

Rd. Brajayudha I mempunyai putra yang bernama Raden Haji Abdul Jabar yang lahir sekitar tahun 1770. Rd. H. Abdul Jabar adalah seorang ahli yang pernah diminta nasihatnya oleh Bupati saat itu yaitu R.A.A. Wiranatakusumah II yang berkedudukan di Citeureup sebagai ibukota Kabupaten Bandung saat itu.

Nasihat yang beliau berikan pada waktu itu yang berkenan dengan perpindahan Ibukota kabupaten dari Citeureup ke kawasan Bandung sekarang. Kisah ini dicatat dalam sebuah catatan sejarah atau sebuah buku “Panineungan Tuturus “Bandung”.

Dalam buku tersebut beliau disebut Embah Haji Jabar sebagai seorang Ahli Tumbal. Rd. H. Abdul Jabar mempunyai seorang putra yang bernama Raden Brajayudha II atau Brajayudha Anom, lahir sekitar tahun 1795.

Raden Brajayudha Anom mempunyai seorang putra bernama Raden Mangkurat Natapradja (setelah pulang beribadah dari Mekkah beliau mempunyai nama Rd. Haji Abdulmanap – seperti halnya Eyang Dalem Mahmud) jabatan terakhir adalah Lurah Desa Babakan Ciparay (Bandung). R.M. Natapradja mempunyai 4 putra dan 7 putri. Di antara keempat putranya adalah: Rd. Endih Natapradja, R. Suandi Natapradja, R. Sule Natapradja dan R. Duyeh Abdullah Natapradja (Lain ibu- lihat uraian di bawah).

Untuk selanjutnya silahkan lihat silsilah Keturunan Eyang sampai keturunannya di tahun 2003.

Keturunan Eyang Agung Zainal Arif.
 Tokoh Zainal Arif dikenal dengan julukan Eyang Agung, yang konon menurut kisah dari Rd. H. Mangkurat Natapradja bahwa beliau datang dari kawasan Priangan Timur dan setelah beberapa lama berkelana tiba di Kampung Mahmud.

Karena memang maksudnya untuk mencari perlindungan, maka Eyang Dalem menerimanya dan kemudian dijadikan murid pertama. Akhirnya ditikahkan dengan Putri keturunan Eyang dan menjadi Mantu serta menjadi tangan kanan Eyang Dalem dalam melangsungkan pelajaran ilmu-ilmu Eyang Dalem Mahmud.

Eyang Agung kemudian mempunyai putra dan diberi nama Embah T’alimudin atau Eyang Pasantren yang kemudian mempunyai 4 orang Putra yaitu:

1. Embah Haji Imam, yang menetap di kampung Cigondewah

2. Kiayi Haji Zainal Alim, yang menetap di kampung Cikungkurak, desa Babakan Ciparay yang oleh masyarakat dikenal dengan gelar “Ajengan Cikungkurak”.

3. Kiayi Haji Amin, yang menetap di kampung Cigondewah.

4. Kiayi Marjuki, jang terkenal dengan panggilan “Ama Marjuki”. Beliau pun bermukim di kampung Cigondewah di mana memiliki padepokan dan pondok pesantren lengkap dengan mesjidnya. Putra keempat inilah yang ilmunya cukup menonjol dan terus mengajarkan ilmu “tasawuf”.

Kiayi Marjuki terkenal dengan panggilan Mama Prebu Cigondewah, mempunyai seorang putri bernama Nyimas Endah yang kemudian dipersunting sebagai istri kedua dari Raden Mangkurat Natapradja (lihat bab di atas tentang keturunan Eyang Dalem Mahmud) dan mempunyai seroang Putra yaitu Raden Duyeh Abdullah Natapradja (ketika buku ini ditulis beliau masih hidup dan tinggal di kampung Jelegong – Soreang). Beliau adalah salah seorang tokoh dan akhli silat ternama di Tatar Sunda. Untuk selanjutnya silahkan lihat silsilah Keturunan Eyang sampai keturunannya di tahun 2003.(dicutat tina: padepokankilatbuana.com)

Comments

Popular posts from this blog

NGARAN PAPARABOTAN JEUNG PAKAKAS

Masrahkeun Calon Panganten Pameget ( Conto Pidato )

Sisindiran, Paparikan, Rarakitan Jeung Wawangsalan katut contona