Sejarah Galuh, Abad ke-8 s.d. Pertengahan Abad ke-20 (1942) (Dok.Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
Oleh A. Sobana Hardjasaputra
(Putera Galuh, sejarawan dan pustakawan pada Fakultas Sastra Unpad)
Pengantar
Daerah Galuh yang sekarang bernama Ciamis memiliki
perjalanan sejarah sangat panjang. Hal itu terbukti dari periodisasi
yang dilewatinya, yaitu masa pra-sejarah, masa kerajaan (abad ke-8 –
abad ke-16), masa kekuasaan Mataram, kekuasaan Kompeni, dan
Belanda/Hindia Belanda (akhir abad ke-16 – awal tahun 1942), masa
pendudukan Jepang (awal tahun 1942 – 15 Agustus 1945), dan masa
kemerdekaan (17 Agustus 1945 – sekarang). Perjalanan sejarah Galuh yang
panjang itu sampai sekarang masih belum terungkap secara komprehensip,
bahkan beberapa bagian/episode sejarah Galuh masih “gelap”. Selain itu,
sejarah Galuh masa kerajaan masih banyak bercampur dengan mitos atau
legenda, sehingga ceritera tentang Galuh masa kerajaan pun terdapat
beberapa versi.
Belum adanya penulisan sejarah Galuh
yang komprehensip kiranya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
Pemda Kabupaten Ciamis terkesan kurang menaruh perhatian terhadap
sejarah daerahnya sendiri. Kedua, kurangnya sejarawan yang berminat
untuk mengungkap sejarah Galuh, antara lain karena kegiatan itu
memerlukan biaya cukup besar untuk mencari dan meneliti sumbernya.
Sekalipun sudah ada hasil penelitian sejarah Galuh, tetapi uraiannya
hanya berupa garis besar mengenai aspek atau kurun waktu tertentu.
Sejarah bukan hanya memiliki fungsi informatif, tetapi juga
fungsi edukatif, bahkan sesungguhnya memiliki fungsi pragmatik,
khususnya bagi pemda daerah setempat. Hal itu disebabkan sejarah adalah
suatu proses kausalitas yang ber-kesinambungan. Kehidupan masa kini
adalah hasil kehidupan masa lampau, dan kehidupan masa mendatang akan
tergantung dari sikap kita dalam mengisi kehidupan masa sekarang. Oleh
sebab itu kita harus pandai belajar dari sejarah, karena sejarah adalah
“obor kebenaran” dan “obor” agar kita tidak “pareumeun obor”.
Atas dasar hal tersebut, seyogyanya bila Pemda Kabupaten Ciamis dan
“Wargi Galuh” menaruh perhatian terhadap sejarah Galuh, antara lain agar
kita benar-benar memahami bagaimana jati diri putera Galuh.
1. Asal-Usul dan Arti Kata Galuh
“Galuh” berasal dari kata Sansakerta yang berarti sejenis
batu permata. Kata “galuh” juga biasa digunakan sebagai sebutan bagi
ratu yang belum menikah (“raja puteri”). Sejarawan W.J. van der Meulen
berpendapat bahwa kata “galuh” berasal dari kata “sakaloh” yang berarti
“asalnya dari sungai”. Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa kata
“galuh” berasal dari kata “galeuh” dalam arti inti atau bagian tengah
batang kayu yang paling keras. Pengertian mana yang tepat dari kata
“galuh” untuk daerah yang sekarang bernama Ciamis? Hal itu memerlukan
kajian secara khusus dan mendalam.
2. Galuh Masa Kerajaan
Galuh memang pernah menjadi sebuah kerajaan. Akan tetapi
ceritera tentang Kerajaan Galuh, terutama pada bagian awal, penuh dengan
mitos. Hal itu disebabkan ceritera itu berasal dari sumber sekunder
berupa naskah yang ditulis jauh setelah Kerajaan Galuh lenyap. Misalnya,
Wawacan Sajarah Galuh antara lain menceriterakan bahwa Kerajaan Galuh
berlokasi di Lakbok dan pertama kali diperintah oleh Ratu Galuh. Setelah
banjir besar yang dialami oleh Nabi Nuh surut, pusat Kerajaan Galuh
pindah ke Karangkamulyan dan nama kerajaan berganti menjadi Bojonggaluh.
Dikisahkan pula putera Ratu Galuh, yaitu Ciung Wanara berselisih dengan
saudaranya Hariang Banga. Perselisihan itu berakhir dengan
permufakatan, bahwa kekuasaan atas Pulau Jawa akan dibagi dua. Ciung
Wanara berkuasa di Pajajaran dan Hariang Banga menguasasi Majapahit.
Selama belum ada sumber atau fakta kuat yang mendukungnya, kisah seperti
itu adalah mitos (Bagi guru sejarah, ceritera yang bersifat mitos
boleh-boleh saja disampaikan kepada para siswa, dengan catatan harus
benar-benar ditegaskan, bahwa ceritera itu adalah mitos yang
kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan).
Ceritera
tentang Kerajaan Galuh yang dapat dipercaya adalah berita dalam sumber
primer berupa prasasti, naskah sejaman (ditulis pada jamannya atau tidak
jauh dari peristiwa yang diceriterakannya), dan sumber lain yang
akurat. Menurut sumber-sumber tersebut, Galuh sebagai nama satu daerah
di Jawa Barat—Dalam Peta Pulau Jawa, kata “galuh” digunakan pula menjadi
bagian nama atau bagian nama beberapa tempat, seperti Galuh
(Purbalingga), Rajagaluh (Majalengka), Sirah Galuh (Cilacap), Galuh
Timur (Bumiayu), Segaluh dan Sungai Begaluh (Leksono), Samigaluh
(Purworejo), dan Hujung (Ujung) Galuh di Jawa Timur) muncul dalam
panggung sejarah pada abad ke-8. Setelah Kerajaan Tarumanagara (abad
ke-5 s.d. abad ke-7) berakhir, di daerah Jawa Barat berdiri Kerajaan
Sunda (abad. ke-8 s.d. abad ke-16). Pusat kerajaan itu berpindah-pindah,
dari Galuh pindah ke Pakuan Pajajaran/Bogor ( abad ke-11 s.d abad
ke-13), kemudian pindah lagi ke Kawali (abad ke-14). Selanjutnya
kerajaan itu kembali berpusat di Pakuan Pajajaran, sehingga lebih
dikenal dengan nama Kerajaan Ruhak Pajajaran
Nama
kerajaan seringkali berubah dengan sebutan nama ibukotanya. Oleh karena
itu, tidak heran bila ketika Kerajaan Sunda beribukota di Galuh,
kerajaan itu disebut juga Kerajaan Galuh. Diduga pusat/daerah inti Galuh
waktu itu adalah Imbanagara sekarang. Raja terkenal yang berkuasa di
Galuh adalah Sanjaya. Ketika kerajaan itu berpusat di Kawali (abad
ke-14) diperintah oleh Prabu Maharaja (di kalangan masyarakat setempat,
raja ini dikenal dengan nama Maharaja Kawali). Pada masa pemerintahan
raja itulah agama Islam masuk ke Kawali dari Cirebon antara tahun
1528-1530.
Ketika Kerajaan Sunda/Pajajaran
diperintah oleh Nusiya Mulya (paruh kedua abad ke-16), eksistensi
kerajaan itu berakhir akibat gerakan kekuatan Banten di bawah pimpinan
Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan agama Islam. Peristiwa itu
terjadi tahun 1579/1580. Sejak itu Pakuan Pajajaran berada di bawah
kekuasaan Banten.
Setelah Kerajaan Sunda/Pajajaran
berakhir, Galuh berdiri sendiri sebagai ke-rajaan merdeka (1579/1580 –
1595). Sementara itu, berdiri pula Kerajaan Sumedang Larang ( 1580-1620)
dengan ibukota Kutamaya. Kerajaan Galuh diperintah oleh Prabu
(Maharaja) Cipta Sanghiang di Galuh, putera Prabu Haurkuning.
Batas-batas wilayah Kerajaan Galuh waktu itu adalah : Sumedang batas
sebelah utara, Galunggung dan Sukapura batas sebelah barat, Sungai
Cijulang batas sebelah selatan, dan Sungai Citanduy batas sebelah timur.
Perlu disebutkan bahwa daerah Majenang, Dayeuhluhur, dan Pegadingan
yang sekarang masuk wilayah Jawa Tengah, semula termasuk wilayah Galuh.
Di tempat-tempat tersebut sampai sekarang pun masih terdapat orang-orang
berbahasa Sunda.
3. Galuh di bawah kekuasaan Mataram
Di
bawah kekuasaan Mataram, daerah-daerah di Priangan yang semula berstatus
kerajaan berubah menjadi kabupaten. Galuh berada di bawah kekuasaan
Mataram antara tahun 1595-1705. Galuh pertama kali jatuh ke dalam
kekuasaan Mataram, ketika Mataram diperintah oleh Sutawijaya alias
Panembahan Senopati (1586-1601). Oleh penguasa Mataram, Galuh dimasukkan
ke dalam wilayah administratif Cirebon. Setelah Prabu Cipta Sanghiang
di Galuh meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama Ujang Ngekel
bergelar Prabu Galuh Cipta Permana (1610-1618), berkedudukan di
Garatengah (daerah sekitar Cineam, sekarang masuk wilayah Kabupaten
Tasikmalaya). Prabu Galuh Cipta Permana yang telah masuk Islam (semula
beragama Hindu) menikah dengan puteri Maharaja Kawali bernama Tanduran
di Anjung. Selain Garatengah, di wilayah Galuh terdapat pusat-pusat
kekuasaan, dikepalai oleh seseorang yang ber-kedudukan sebagai bupati
dalam arti raja kecil. Pusat-pusat kekuasaan itu antara lain Cibatu,
Utama (Ciancang), Kertabumi (Bojong Lopang), dan Imbanagara.
Mataram
menguasai Galuh kemudian Sumedang Larang (1620) dalam usaha menjadikan
Priangan sebagai daerah pertahanan di bagian barat dalam menghadapi
kemungkinan serangan pasukan Banten dan Kompeni yang berkedudukan di
Batavia. Kekuasaan Mataram di Galuh lebih tampak ketika Mataram
diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645) dan Galuh diperintah oleh
Adipati Panaekan (1618-1625), putera Prabu Galuh Cipta Permana, selaku
Bupati Wedana. Penguasaan Mataram terhadap Galuh dan Sumedang Larang
sifatnya berbeda. Galuh dikuasai oleh Mataram melalui cara kekerasan,
karena pihak Galuh melakukan perlawanan. Sebaliknya, Sumedang Larang
jatuh ke bawah kekuasaan Mataram karena berserah diri, antara lain
karena adanya hubungan keluarga antara Raden Aria Suriadiwangsa penguasa
Sumdang Larang dengan penguasa Mataram.
Tahun 1628
Mataram merencanakan penyerangan terhadap Kompeni di Batavia dan
meminta bantuan para kepala daerah di Priangan. Ternyata rencana itu
me-nimbulkan perbedaan pendapat yang berujung menjadi perselisihan di
antara para kepada daerah di Priangan. Dalam hal ini, Adipati Panaekan
berselisih dengan adik iparnya, yaitu Dipati Kertabumi, Bupati
Bojonglopang, putera Prabu Dimuntur. Dalam perselisihan itu Adipati
Panaekan terbunuh (1625). Ia digantikan oleh puteranya bernama Mas
Dipati Imbanagara yang berkedudukan di Garatengah (Cineam). Pada masa
pemerintahan Dipati Imbanagara, ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan dari
Garatengah (Cineam) ke Calincing. Tidak lama kemudian pindah lagi ke
Bendanegara (Panyingkiran).
Ketika pasukan Mataram
menyerang Batavia (1628), kepala daerah di Priangan memberikan bantuan.
Pasukan Galuh dipimpin oleh Bagus Sutapura, pasukan Priangan dipimpin
oleh Dipati Ukur, Bupati Wedana Priangan. Dipati Ukur memang mendapat
tugas khusus dari Sultan Agung untuk mengusir Kompeni dari Batavia.
Ternyata Dipati Ukur gagal melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, ia
memberontak terhadap Mataram.
Pemberontakan Dipati Ukur yang
berlangsung lebih-kurang empat tahun (1628-1632) merupakan faktor
penting yang mendorong Sultan Agung tahun 1630-an memecah wilayah
Priangan di luar Sumedang menjadi beberapa kabupaten, termasuk Galuh.
Wilayah Galuh dipecah menjadi beberapa pusat kekuasaan kecil, yaitu
Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati
Jayanagara, Bojong-lopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen
diperintah oleh Bagus Sutapura. Khusus kepala-kepala daerah yang berjasa
membantu menumpas pemberontakan Dipati Ukur diangkat oleh Sultan Agung
menjadi bupati di daerah masing-masing. Tahun 1634 Bagus Sutapura
dikukuhkan menjadi Bupati Kawasen—Kepala daerah lain yang diangkat
menjadi bupati antara lain Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) menjadi
bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Ki Wirawangsa
(Umbul Sukakerta) menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung
Wiradadaha, dan Ki Somahita (Umbul Sindangkasih) menjadi bupati
Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya.) (daerah antara
Banjarsari – Padaherang). Ia memrintah Kawasen sampai dengan 1653,
kemudian digantikan oleh puteranya bernama Tumenggung Sutanangga
(1653-1676). Sementara itu, Dipati Imbanagara yang dicurigai oleh pihak
Mataram berpihak kepada Dipati Ukur, dijatuhi hukuman mati (1636). Namun
puteranya, yaitu Adipati Jayanagara (Mas Bongsar) diangkat menjadi
Bupati Garatengah. Imbanagara dijadikan nama kabupaten dan Kawasen
digabungkan dengan Imbanagara.
Pertengahan tahun
1642 Adipati Jayanagara memindahkan lagi ibukota Kabupaten Galuh ke
Barunay (daerah Imbanagara sekarang). Pemindahan ibukota kabupaten yang
terjadi tanggal 14 Mulud tahun He (12 Juni 1642—Sejak tahun 1970-an,
Pemda Kabupaten Ciamis menganggap tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari Jadi
Kabupaten Ciamis. Mengenai Hari Jadi Ciamis, dibicarakan pada akhir
tulisan ini). itu dilandasi oleh dua alasan. Pertama, Garatengah dan
Bendanegara memberi kenangan buruk dengan ter-bunuhnya Adipati Panaekan
dan Dipati Imbanagara. Kedua, Barunay dianggap lebih cocok menjadi pusat
pemerintahan dan akan membawa perkembangan bagi kabupaten tersebut. Hal
itu antara lain ditunjukkan oleh masa pemerintahan Adipati Jayanagara
yang berlangsung selama 42 tahun. Selama waktu itu, daerah-daerah
kekuasaan lain, yaitu Kawasen, Kertabumi, Utama, Kawali, dan Panjalu
dihapuskan. Semua daerah itu menjadi wilayah Kabupaten Galuh. Dengan
demikian, Kabupaten Galuh memiliki wilayah yang sangat luas, yaitu dari
Cijolang sampai ke pantai selatan dan dari Citanduy sampai perbatasan
Sukapura.
Setelah Adipati Jayanagara meninggal,
kedudukannya sebagai bupati digantikan oleh Anggapraja. Akan tetapi
tidak lama kemudian jabatan itu diserahkan kepada adiknya bernama
Angganaya. Sementara itu, daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang,
dikepalai oleh Wirabaya. Dipati Kertabumi yang semula memerintah
Bojonglopang, dipindahkan ke Karawang dan menjadi cikal-bakal bupati
Karawang.
Tahun 1645 setelah Sultan Agung meninggal,
Amangkurat I putera Sultan Agung kembali melakukan reorganisasi wilayah
Priangan. Wilayah itu dibagi menjadi beberapa daerah ajeg (setarap
kabupaten), antara lain Sumedang, Bandung, Parakan-muncang, Sukapura,
Imbanagara, Kawasen, Galuh, dan Banjar.
4. Galuh di bawah
kekuasaan Kompeni (VOC/Verenigde Oost-Indische Compagnie, yaitu
Perkumpulan Perseroan Belanda di Hindia Timur)
Akhir
tahun 1705 Galuh sebagai bagian dari wilayah Priangan timur diserahkan
oleh penguasa Mataram kepada Kompeni melalui perjanjian tanggal 5
Oktober 1705. Wilayah Priangan barat jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni
lebih dahulu, yaitu tahun 1677—Sejak tahun 1677 di wilayah Priangan
memberlakukan penanaman wajib, terutama kopi dan nila (tarum) dalam
sistem yang disebut Preangerstelsel). Mataram menyerahkan Priangan
kepada Kompeni sebagai upah membantu mengatasi kemelut perebutan tahta
Mataram—kompeni membantu Pangeran Puger dalam usaha merebut tahta
Mataram dari keponakannya, yaitu Amangkurat III alias Sunan Mas). Namun
demikian, Galuh dan daerah Priangan timur lainnya tetap berada dalam
wilayah administratif Cirebon.
Sebelum terjadinya
perjanjian 5 Oktober 1705, Kompeni sudah mengangkat Sutadinata menjadi
Bupati Galuh (1693-1706) menggantikan Angganaya yang meninggal. Ia
kemudian diganti oleh Kusumadinata I (1706-1727). Waktu itu Priangan
berada di bawah pengawasan langsung Pangeran Aria Cirebon sebagai wakil
Kompeni.
Beberapa waktu kemudian, Bupati Kawasen Sutanangga
diganti oleh Patih Ciamis yang dianggap orang ningrat tertua dan
terpandai di Galuh. Daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang.
Bupati Galuh berikutnya adalah Kusumadinata II (1727-1732).
Oleh karena ia tidak memiliki putera, maka setelah ia meninggal
kedudukannya digantikan oleh keponakannya bernama Mas Garuda, sekalipun
keponakannya itu belum dewasa. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan
oleh tiga orang wali, seorang di antaranya adalah ayah Mas Garuda
sendiri, yaitu Raden Jayabaya Patih Imbanagara. Mas Garuda baru memegang
pemerintahan sendiri mulai tahun 1751 hingga tahun 1801, dengan gelar
Kusumadinata III. Ia digantikan oleh Raden Adipati Natadikusuma
(1801-1806).
Pada masa peralihan kekuasaan dari
Kompeni kepada Pemerintah Hindia Belanda, Kabupaten Imbanagara
dihapuskan. Daerah itu digabungkan dengan Galuh dan Utama. Ketiga daerah
itu diperintah oleh Bupati Galuh. Menurut sumber tradisional (Wawacan
Sajarah Galuh), peristiwa itu terjadi akibat konflik antara Raden
Adipati Natadikusuma dengan seorang pejabat VOC yang bersikap dan
bertindak kasar. Raden Adipati Natadikusuma ditahan di Cirebon.
Kedudukannya sebagai Bupati Imbanagara diganti oleh Surapraja dari
Limbangan (1806-1811).
Di bawah kekuasaan Kompeni,
sistem pemerintahan tradisional yang dilakukan para bupati pada dasarnya
tidak diganggu. Hal itu berlangsung pula pada masa pemerintahan Hindia
Belanda (1808-1942).
5. Galuh Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Akhir Desember 1799 kekuasaan Kompeni berakhir akibat VOC
bangkrut. Kekuasaan di Nusantara diambilalih oleh Pemerintah Hindia
Belanda yang dimulai oleh pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels
(1808-1811). Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, Galuh tetap berada
dalam wilayah administratif Cirebon.
Pada akhir masa
pemerintahan Daendels, Bupati Imbanagara Surapraja meninggal (1811).
Bupati Imbanagara selanjutnya dijabat oleh Jayengpati Kertanegara,
merangkap sebagai Bupati Cibatu (Ciamis). Setelah pensiun, ia digantikan
oleh Tumenggung Natanagara. Penggantinya adalah Pangeran Sutajaya asal
Cirebon. Oleh karena selalu berselisih paham dengan patihnya, Pangeran
Sutajaya kembali ke Cirebon. Jabatan Bupati Imbanagara kembali dipegang
oleh putera Galuh, yaitu Wiradikusuma, dan nama kabupaten ditetapkan
menjadi Kabupaten Galuh. Tahun 1815 Bupati Wiradikusuma memindahkan
ibukota kabupaten dari Imbanara ke Ciamis.
Pada
masa pemerintahan Bupati Galuh berikutnya, yaitu Adipati Adikusumah
(1819-1839), putera Bupati Wiradikusuma, Kawali dan Panjalu dimasukkan
ke dalam wilayah Kabupaten Galuh. Bupati Adipati Adikusumah menikah
dengan puteri Jayengpati (Bupati Cibatu). Dari perkawinan itu kemudian
lahir seorang anak laki-laki bernama Kusumadinata. Ia kemudian
menggantikan ayahnya menjadi Bupati Galuh (1839-1886) dengan gelar
Tumenggung Kusumadinata. Selanjutnya ia berganti nama menjadi Raden
Adipati Aria Kusumadiningrat. Ia adalah Bupati Galuh terkemuka yang
dikenal dengan julukan “Kangjeng Prebu”.
Sejak
tahun 1853, Bupati R.A.A. Kusumadiningrat tinggal di Keraton Sela-gangga
yang dilengkapi oleh sebuah masjid dan kolam air mancur. Tahun 1872 di
halaman keraton dibangun tempat pemandian yang disebut
Jambansari—Pemandian itu sering digunakan oleh warga masyarakat dengan
maksud “ngalap berkah” dari “Kangjeng Prebu”). Antara tahun 1859-1877,
dibangun beberapa gedung di pusat kota kabupaten (Ciamis). Gedung-gedung
dimaksud adalah gedung kabupaten yang cukup megah (di lokasi Gedung
DRPD sekarang), Masjid Agung, Kantor Asisten Residen (gedung kabupaten
sekarang), tangsi militer, penjara, kantor telepon, rumah kontrolir, dan
lain-lain.
Bupati R.A.A. Kusumadiningrat sangat
besar jasanya dalam memajukan ke-hidupan rakyat Kabupaten Galuh.
Jasa-jasa itu antara lain membuat sejumlah irigasi, membuka sawah
beribu-ribu bau, mendirikan tiga buah pabrik penggilingan kopi, membuka
perkebunan kelapa, membangun jalan antara Kawali – Panjalu, mendirikan
“Sakola Sunda” di Ciamis (1862) dan di Kawali (1876). Atas jasa-jasa
tersebut, ia memperoleh tanda kehormatan atau atribut kebesaran dari
Pemerintah Hindia Belanda berupa Songsong Kuning (payung kebesaran
berwarna kuning mas) tahun 1874) dan bintang Ridder in de Orde van den
Nederlandschen Leeuw (“Bintang Leo”) tahun 1878).
Jabatan Bupati Galuh selanjutnya diwariskan kepada puteranya, yaitu
R.A.A. Kusumasubrata (1886-1914). Pada masa pemerintahan bupati ini,
mulai tahun 1911 Ciamis dilalui oleh jalan kereta api jalur Bandung –
Cilacap.via Ciawi-Malangbong-Tasikmalaya. Pada masa pemerintahan Bupati
Galuh berikutnya, yaitu Bupati R.T.A. Sastrawinata (1914-1935),
Kabupaten Galuh dilepaskan dari wilayah administratif Cirebon dan masuk
ke dalam wilayah Keresidenan Priangan (tahun 1915). Nama Kabupaten
diubah menjadi Kabupaten Ciamis. Antara tahun 1926-1942, Ciamis masuk ke
dalam Afdeeling Priangan Timur bersama-sama dengan Tasikmalaya dan
Garut, dengan ibukota afdeeling di kota Tasikmalaya.
6. Hari Jadi Kabupaten Ciamis
Telah dikemukakan, bahwa pada masa pemerintahan Adipati
Jayanagara ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan ke Barunay (daerah
Imbanagara sekarang). Peristiwa itu terjadi tanggal 14 Mulud tahun He
atau tanggal 12 Juni 1642 Masehi. Sekarang tanggal 12 Juni 1642 dipilih
dan ditetapkan oleh Pemda Kabupaten Ciamis sebagai Hari Jadi Kabupaten
Ciamis. Alasan atau dasar pertimbangannya adalah kepindahan ibukota
kabupaten itu membawa perkembangan bagi Kabupaten Galuh. Sejak itulah
Kabupaten Galuh mulai menunjukkan perkembangan yang berarti.
Tepatkah pemilihan tanggal tersebut?
Bila dikaji secara objektif dan kritis, menurut penulis,
pemilihan tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis atau
Hari Jadi Kabupaten Galuh sekalipun adalah keliru atau kurang tepat.
Pertama, bagi orang yang tidak memahami sejarah Galuh, pemilihan tanggal
tersebut akan mengandung arti bahwa Kabupaten Galuh berdiri pada
tanggal 12 Juni 1642, padahal jauh sebelum tanggal itu Kabupaten Galuh
sudah berdiri. Kedua, Kabupaten Galuh berubah namanya menjadi Kabupaten
Ciamis terjadi pada dekade kedua abad ke-20 (1915), setelah Galuh
dilepaskan dari wilayah administratif Cirebon.
Atas
dasar hal tersebut dan untuk kebenaran sejarah, seyogyanya hari jadi
Kabupaten Ciamis dikaji ulang. Menurut penulis, hari jadi Kabupaten
Ciamis seharusnya mengacu pada momentum awal berdirinya kabupaten itu,
atau mengacu pada tanggal perubahan nama kabupaten dari Kabupaten Galuh
menjadi Kabupaten Ciamis.
SUMBER ACUAN
Atja. 1968.
Tjarita Parahijangan. Bandung : jajasan Kebudajaan Nusalarang.
Atja (ed.). 1975.
Sejarah Jawa Barat dari Masa Prasejarah Hingga Masa Perkembangan Agama
Islam. Bandung : Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional
Propinsi Jawa Barat.
Ekadjati, Edi S. 1977.
Wawacan Sajarah Galuh. Bandung : EFEO.
de Haan, F. 1910, 1911, 1912.
Priangan; De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811. Deel I, II & III. Batavia : BGKW.
Hardjasaputra, A. Sobana. 1985.
Bupati-Bupati Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad Ke-19. Tesis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Kern, R.A. 1898.
Geschiedenis der Preanger-Regentschappen; Kort Overzigt. : De Vries & Fabricius.Bandung
Lubis, Nina H. et al. 2000.
Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. : Alqaprint.Bandung
Raffles, Thomas Stamford. 1982.
History of Java. II. Kuala Lumpur : Oxford Press. University
van Rees, Otto. 1869.
Dicutat tina : usumhujan.wordpress.com
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.