Wangsit Siliwangi tentang Soekarno
Membaca
buku buku ramalan tidak akan pernah membosankan, terlepas dari absurd dan
ngawurnya sebuah ramalan. Namun pesona Nostradamus berhasil menyihir para
pengikutnya karena kredibilitas ramalan ramalannya. Yang paling spektakuler
tentu saja ramalan tentang serangan terhadap menara kembar World Trade Center,
NY. Di negeri ini orang yang paling getol mengutip ramalan ramalannya adalah
Permadi, SH. Seorang paranormal yang juga politikus. Dan ramalannya adalah
Indonesia bakal menjadi negeri gilang gemilang! Amin!
Nostradamus
adalah orang Prancis yang Katolik sekaligus Yahudi. Lahir pada tahun 1503,
kurang lebih saat VOC mulai datang ke Sunda Kalapa. Mungkin sumber ajarannya
adalah Talmud dan kabbalah yang misterius itu. Uniknya dia lulus
sebagai dokter dari Universitas Montpellier yang sangat dihormati kala itu.
Namun sebuah tragedi menyebabkan istri dan dua anaknya meninggal. Didorong
kehilangan yang menyakitkan itu, dia berkelana ke berbagai wilayah dari Prancis
sampai Italia. Kembali bertemu jodoh dengan seorang janda, namun perubahan
besar dalam hidupnya adalah kecenderungan untuk mulai menekuni ilmu ramal
meramal ini.
Ia
menulis buku 'Centuries' yang mengejutkan itu. Ia mendapatkan popularitasnya,
namun akhirnya mengakui bahwa praktik pribadinya sebagai paranormal jauh lebih
menguntungkan ketimbang publisitas yang banyak menuai hujatan. Dan tentu saja
berbahaya bagi keselamatannya. Ia meninggal pada 2 Juli 1566 akibat penyakit
rematik dan jantung, percis seperti yang diramalkannya.
Dalam
buku ini, Reading menuliskan ramalan ramalan Nostradamus mulai dari tahun 2001
sampai tahun 7074, Wow ! Namun saya pernah mendengar isi sebuah ramalam
Nostradamus lewat penuturan Permadi, SH yang dengan tepat meramalkan kehadiran
Hitler dengan segala perang peperangannya.
Kembali
ke buku, Nostradamus menuangkan ramalannya dalam bentuk kuatrain. Ditulis dalam
bahasa Prancis, ia bagai puisi puisi indah namun multitafsir. Kalimat kalimat
yang disusunnya tidak secara jelas dan detail menerangkan maksud yang
terkandung. Diperlukan seorang yang pro untuk dapat menangkap apa yang tersurat
dan tersirat di dalamnya. Disusunnya ramalan ramalannya dalam deretan tahun
demi tahun. Sayang Mario hanya memulainya dari tahun 2001, sehingga kita tidak
bisa menikmati kehandalan ramalan ramalannya sebelum tahun 2001.
Tahun
2001 misalnya ia mengatakan :
Bumi
bergetar, api dari pusat bumi akan mengguncang menara menara di kota baru
Akibatnya,
dua batu besar akan terlibat dalam perang panjang
Hingga
Arethusan mengalirkan sungai dengan darah segar.
Tafsirannya
begini : menaranya jelas WTC, kota baru? ya New York itu, bos.
Dua batu besar berperang, dua agama besar berperang karenanya ( tebak
sendirilah). Dan Arethusan ? Ada mitos tentang Arhetusa dengan sumber air
legendarisnya di Ellis. Ellis Island adalah salah satu gerbang masuk
kota New York......
Believe
it or not.
Up date 22 Desember 2012 : saya baru sadar tahun kelahiran Nostradamus kurang lebih sejaman dengan saat Prabu Siliwangi terakhir bertahta. Dua duanya lahir dengan karunia melihat masa depan. Raja Pajajaran ini pernah meramalkan penjajahan Belanda dalam waktu yang lama di Nusantara.
Kala
itu Prabu Sedah Raga Mulya Suryakancana berpidato di hadapan rakyat dan
pengikut setianya. Di tengah suasana murung yang menyelimuti Pajajaran, beliau
mengucapkan pidato perpisahan monumental yang kemudian dikenal dengan Wangsit
Siliwangi.
“Lalakon
urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing
henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari
lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar
senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari,
tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing
moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah
sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”
“Perjalanan
kita hanya sampai hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Aku tidak boleh
membawa kalian menjadi turut menderita, hina dan kelaparan. Kalian boleh
memilih, demi masa depan, jalan untuk hidup bahagia dan sejahtera, dan kelak
mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran seperti saat ini, tapi Pajajaran
yang baru, yang berdiri di tengah perubahan jaman! Pilih! aku tidak akan
menghalang halangi. Sebab bagi ku, tidak pantas seseorang menjadi raja ketika
rakyatnya lapar dan menderita.”
Dalam
mukadimah wangsitnya, Suryakancana mengakui ini lah saat saat senja Pajajaran.
Suatu pengakuan yang jujur dan realistis. Di saat seperti itu, beliau
mempersilakan rakyat dan pengikutnya untuk menimbang nimbang berbagai pilihan.
Tulus beliau katakan, pilihan untuk tetap setia pada raja saat itu adalah
pilihan untuk menderita dan kelaparan. Tidak ada larangan untuk mereka yang
tidak akan menempuh jalan raja.
Inilah tipikal mental raja atau urang Sunda jaman baheula. Jujur, tegas, dan mengedepankan harga diri. Sikap serupa pernah ditunjukkan Prabu Lingga Buana dan Dyah Pitaloka di perang Bubat. Mereka lebih baik mati dari pada hidup ditengah bayang bayang penghinaan orang lain.
Dengan mukadimah wangsit ini juga saya cenderung menolak anggapan bahwa yang membuat wangsit adalah Siliwangi I alias Sri Baduga Maharaja. Pada saat beliau bertahta, Pajajaran sedang dalam puncak keemasannya. Wangsit seorang raja yang digjaya tidak mungkin semuram mukadimah ini.
Inilah tipikal mental raja atau urang Sunda jaman baheula. Jujur, tegas, dan mengedepankan harga diri. Sikap serupa pernah ditunjukkan Prabu Lingga Buana dan Dyah Pitaloka di perang Bubat. Mereka lebih baik mati dari pada hidup ditengah bayang bayang penghinaan orang lain.
Dengan mukadimah wangsit ini juga saya cenderung menolak anggapan bahwa yang membuat wangsit adalah Siliwangi I alias Sri Baduga Maharaja. Pada saat beliau bertahta, Pajajaran sedang dalam puncak keemasannya. Wangsit seorang raja yang digjaya tidak mungkin semuram mukadimah ini.
Daréngékeun!
Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik
deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula
ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura
misah ka beulah kulon!
Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke ibukota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!
Empati seorang raja terhadap suasana psikologis pengikutnya. Raga Mulya tanggap menangkap apa yang berkecamuk dalam hati dan pikiran rakyatnya kala itu. Alih alih memaksa untuk setia mengikuti rajanya, beliau malah memberikan kebebasan untuk memilih jalan hidup.
Sebagian
yang setia pada raja akhirnya benar benar pergi ke selatan. Mereka pada umumnya
mengambil rute Pakuan, Bantar Gadung dan akhirnya
Palabuhanratu. Setidaknya rute ini terdokumentasi dalam Pantun Bogor.
Mereka yang ke selatan inilah yang akhirnya membuka permukiman baru,
Palabuhanratu. Namun pelarian melalui rute ini tidak lah mudah. Karena saat itu
Pasukan Banten masih tetap mengejar sisa sisa pasukan yang setia kepada Raga
Mulya. Kisah kisah menarik mewarnai perburuan terakhir darah biru Pajajaran.
Termasuk di dalamnya cinta, pengkhianatan, keyakinan, dan peperangan itu
sendiri. Sebuah epik yang mengharu biru, namun terkubur dalam debu sejarah.
Anda dapat menyimaknya di link ini.
Daréngékeun!
Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan
dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho,
arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!
Dengarkan! Kalian yang memilih ke timur harus tahu: Kejayaan akan menyertai kalian! Keturunan kalian bakal memerintah di antara kalian sendiri dan juga orang lain. Tapi ingat, kalian nanti bakal lupa diri. Bakal ada pembalasan untuk ini. Silahkan pergi!
Obyek
yang dituju kelihatannya merujuk pada kekuatan Kesultanan Cirebon kala itu.
Angin jaman memang memihak Cirebon kala itu. Betapa tidak, kesultanan ini
melewati masa keemasannya di bawah Sunan Gunung Jati, berfungsi dan dihormati
sebagai pusat penyebaran agama Islam di tanah Sunda, masih eksis di jaman
Mataram Islam, bertahan selama masa penjajahan Belanda, dan kesultanan ini
secara de fakto masih berdiri dalam kerangka Republik Indonesia (Kanoman dan
Kasepuhan). Tidak salah kalau wangsit ini mengatakan mereka yang masih
menginginkan kekuasaan untuk pergi ke Cirebon (timur) mengingat panjangnya umur
kesultanan ini. Peluang untuk merengkuh kekuasaan terbuka lebar di sana. Namun
kita tidak tahu kala itu siapa pengikut Raga Mulya yang benar benar pergi ke
Cirebon. Dan turut berkuasa di sana, lupa diri, dan dan kemudian terkena karma
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa.
Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!
Kalian
yang memilih pergi ke barat! Carilah Ki Santang! Sebab di masa depan,
keturunannya akan menjadi orang bijak yang akan mengingatkan diri kalian
dan orang lain. Juga menjadi pengingat kepada bekas teman teman kalian
senegara, dan seiman yang masih lurus hatinya.
Ingatlah,
bila suatu malam, dari gunung Halimun terdengar suara kentongan, itulah
tandanya. Keturunannya akan dipanggil oleh yang mau menggelar hajatan di Lebak
Cawéné. Jangan lamban, sebab telaga akan pecah! Silahkan segera pergi! Tapi
jangan menoleh kebelakang!
Inilah
bait bait pertama wangsit yang paling banyak menuai kontroversi sampai saat
ini. Siapa ki Santang ? Dimana Lebak Cawene? Namun mengingat tempat yang
dimaksud adalah Gunung Halimun, kita bisa memperkirakan sebagian pengikut Raga
Mulya memang ada yang benar benar pergi ke tempat ini dan mendirikan
permukiman baru dengan mempertahankan tradisi lama Pajajaran. Kita sekarang
mengenalnya dengan Kasepuhan adat Banten Kidul. Masyarakat Kasepuhan
Banten Kidul melingkup beberapa desa tradisional dan setengah tradisional, yang
masih mengakui kepemimpinan adat setempat. Terdapat beberapa Kasepuhan di
antaranya adalah Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu,
Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug. Kasepuhan
Ciptagelar sendiri melingkup dua Kasepuhan yang lain, yakni Kasepuhan
Ciptamulya dan Kasepuhan Sirnaresmi. Visi raja yang mengatakan mereka yang
pergi kebarat adalah orang orang netral, benar adanya. Dari jaman ke jaman,
mereka tidak terdengar terlibat dalam politik pemerintahan yang berkuasa saat
itu. Baik masa kesultanan Banten, Mataram Islam, Belanda, hingga Republik
indonesia.
Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!
Kalian
yang memilih ke utara, dengarkan! Ibukota yang akan kalian datangi takkan
pernah bisa kalian temukan. Yang akan kalian temukan hanyalah padang ilalang
yang harus dibersihkan. Keturunan kalian nantinya kebanyakan hanya akan
menjadi rakyat biasa. Kalau ada yang jadi pejabat pun tidak akan punya
kekuasaan. Ingatlah, kalian nanti akan terdesak oleh para pendatang. Dan
akan banyak lagi orang yang datang, tapi pendatang yang menyusahkan.
Waspadalah!
Ini
adalah pilihan sebagian orang orang yang ingin kembali ke Dayeuh, ke Pakuan,
bekas ibukota Pajajaran. Nampaknya banyak juga keturunan Pajajaran yang kembali
ke Pakuan, atau kota Bogor sekarang dan beranak pinak disana. Mereka
kelihatannya tipikal orang yang tidak bisa begitu saja menghilangkan memori
tanah kelahiran. Namun inilah visi Siliwangi terhadap orang orang yang pergi ke
utara : mereka kelak hanya akan menjadi rakyat biasa. Kalaupun ada yang menjadi
pejabat, tak kan punya kekuasaan. Dan yang lebih mengenaskan, mereka akan
terdesak oleh para pendatang. Yang dalam bahasa Siliwangi : pendatang yang
menyusahkan.
Visi Raga Mulya mengenai orang yang balik ke Dayeuh ini telah terjadi dan benar adanya. Mereka yang benar benar balik ke sana hanya menemukan bekas ibukota ini telah menjadi puing puing yang kemudian ditumbuhi ilalang semak belukar. Akhirnya lambat laun dilupakan orang. Reruntuhan bekas istana Pajajaran ini akhirnya ditemukan kembali oleh Scipio, orang Belanda yang melakukan penelitian mengenai Pajajaran sekitar 1687. Berarti hampir 100 tahun setelah Pakuan dibumihanguskan Banten.
Visi Raga Mulya mengenai orang yang balik ke Dayeuh ini telah terjadi dan benar adanya. Mereka yang benar benar balik ke sana hanya menemukan bekas ibukota ini telah menjadi puing puing yang kemudian ditumbuhi ilalang semak belukar. Akhirnya lambat laun dilupakan orang. Reruntuhan bekas istana Pajajaran ini akhirnya ditemukan kembali oleh Scipio, orang Belanda yang melakukan penelitian mengenai Pajajaran sekitar 1687. Berarti hampir 100 tahun setelah Pakuan dibumihanguskan Banten.
Semua
keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat
diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah,
tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat;
apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk
mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti
tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah
lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan
wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya,
hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk
mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak!
Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan
kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya
banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan berlebihan kalau bicara.
Sekali
lagi wangsit ini menunjukkan ketajaman visinya. Semenjak hari
ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya.
Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha
menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Sampai saat ini
sulit hanya untuk mencari di mana tepatnya bekas istana Pajajaran di Bogor.
Banyak spekulasi yang berkembang bahwa lokasi bekas istana Pajajaran kemudian
dibangun Istana Merdeka (sekarang) oleh Belanda. Namun siapa yang berani
memastikan?, Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak. Dan
anehnya bahkan tokoh Siliwangi pun banyak yang meragukan pernah hidup di
Parahyangan ini. Ini komentar pembaca di blog saya yang lain, Kerajaan Sunda (kerajaan-sunda.blogspot.com):
Saya
tidak habis pikir, kenapa seorang ajip rosyidi mengatakan bahwa Kerajaan dan
prabu siliwangi itu Tidak ada dan hanya mitos belaka. Beliau mengatakan tidak
ada bukti bahwa kerajaan pajajaran itu ada. Padahal banyak sekali catatan
sejarah, prasasti batu tulis dll yang menyebutkan bahwa kerajaan pajajaran itu
ada dan prabu siliwangi adalah raja-nya.
Sebab
bukti yang ada akan banyak yang menolak! wangsit ini benar adanya!
Suatu
saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur
dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus,
tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa.
Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu,
tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau
bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan
sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi
akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu
jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap
waktu akan berulang itu dan itu lagi.
Belum ada
interpretasi.
Dengarkan!
yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu.
Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau
kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang
digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. semenjak itu,
raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya
jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi
dan murah serta banyak pilihan.
Inilah
ramalan Siliwangi yang paling spektakuler, meramalkan penjajahan Bangsa Belanda
yang lama dan menguras begitu banyak harta kekayaan alam terlebih cara berpikir
orang Sunda. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh
kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat
kota. Dan lebih gila lagi karena kali ini ramalannya agak lebih detail
karena menggambarkan suasana psikologis orang Sunda selama jaman
penjajahan, Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi
orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan
murah serta banyak pilihan. Bukan kah banyak di antara kita
beranggapan bahwa jaman Belanda adalah jaman normal, dimana segala kebutuhan
didapat dengan mudah dan murah, situasi aman lagi! Bandingkan dengan jaman
sekarang : mahal dan banyak rusuh!
Hanya ada hal kecil yang cukup menarik hati : Kenapa orang Belanda diasosiasikan dengan kerbau, bukan dengan singa atau binatang lainnya? kemungkinan karena pisik ini mewakili tampilan orang Belanda, tinggi besar. Wangsit ini jauh dari rasis. Jadi jauhkan pikiran anda dengan kerbau yang dibawa demonstran ke istana sekarang.
Semenjak
itu, pekerjaan dikuasai monyet (terjemahan saya : kunyuk). Suatu
saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun
dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak
yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita
banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di
seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang
salah arah!
Ini masih jaman penjajahan Belanda. Saya beranggapan kata kunyuk merujuk pada birokrasi Belanda yang dikerjakan oleh orang pribumi dengan embel embel keningratan. Jabatan 'kunyuk' itu bisa berupa jabatan Bupati, atau sekedar pegawai administrasi/ juru bayar pada perkebunan tebu/ pabrik gula. Anda bisa menggambarkan betapa kunyuknya orang pribumi saat itu sehingga untuk meraih jabatan juru bayar pabrik gula saja sampai harus mempersembahkan anak gadisnya sendiri kepada sinyo Belanda. Tokoh yang paling tepat mewakili 'korban' upeti ini adalah Nyai Ontosoroh dalam tetralogi-nya Pramoedya Ananta Toer.
Yang
memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan
diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab
ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi
habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit.
Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau
penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin
parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan.
Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok
tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.
Interpretasi
yang paling mungkin adalah bait ini melanjutkan kisah jaman dari bait
sebelumnya. Maka datanglah era kerbau bule menyingkir diserbu para monyet.
Apalagi kalau bangsa Jepang. Tanpa bermaksud rasis, bukankah tampilan orang
Jepang (kala itu) kecil seperti monyet? Sekali lagi wangsit ini tidak rasis.
Sebagaimana kebanyakan orang Sunda, raja ini memang polos dengan menyebut kata
monyet apa adanya. Tanpa prasangka rasial, semata mata kesamaan pisik.
Kondisi saat serbuan Jepang ini dijelaskan dengan sangat rinci :
Kondisi saat serbuan Jepang ini dijelaskan dengan sangat rinci :
ternyata,
pasar habis oleh Jepang,
sawah habis oleh Jepang, tempat padi habis oleh Jepang, kebun
habis oleh Jepang, perempuan hamil oleh Jepang. Semuanya diserbu
oleh Jepang. kata monyet sudah saya ganti dengan kata Jepang
untuk mempermudah interpretasi. Bukan kah demikian adanya waktu penjajahan
Jepang? Hasil panen dikuras untuk memenuhi logistik tentara Dai Nippon. Dan
ingat, ada jugun ianfu, wanita wanita kita yang ditipu Jepang untuk dijadikan
budak nafsu para tentara Nippon tersebut.
Lalu
sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur.
Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar
sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk.
Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan
teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan
caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi
bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih
dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang
mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. seluruh nusa
dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah
orang sebrang.
Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Saya lebih suka mengutip teks aslinya. Jelas kalimat ini merujuk pada perang dunia ke dua dimana pesawat tempur menjatuhkan bomnya. Bagaimana di tatar Sunda kala itu. ada gambaran di wangsit ini dimana antar sesama orang Sunda berkelahi dengan sesamanya saat itu. Orang mengamuk tanpa alasan dan arah yang jelas. Yang jelas suasana ini terjadi saat tentara Jepang mulai kewalahan menghadapi sekutu.
Tapi kecurigaan saya waktu itu adalah terbelahnya orang Sunda dalam dua kelompok besar. Mereka yang nasionalis mengikuti arus besar Soekarno dan kawan kawan, yang kebetulan menjadikan Bandung sebagai salah satu basis besar perjuangan. Yang lain adalah para Islamis Fundamentalis yang mengikuti Kartosuwiryo dengan gagasan Darul Islam Negara Islam Indonesia dengan basis Tasikmalaya. Sehingga dua kelompok orang Sunda ini saling berhadap hadapan dan banyak korban tewas tak berdosa.
Tetapi…ada
yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang. Masih menjadi misteri
siapa orang seberang yang dimaksud, yang menghentikan 'perang saudara' ini.
Mungkin kah Jenderal Nasution?
Lalu
berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan
penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas
keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi
jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di
siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara
kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan
keturunan Pajajaran.
Woooowww
ini lebih gila lagi. Coba tebak siapa penguasa di tanah Sunda yang bukan orang
Sunda dan beribukan orang Bali. Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal
dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah
seorang putri Pulau Dewata. Ida Ayu Nyoman Rai (bukan Ade Rai) adalah
puteri Bali yang kemudian menikah dengan Bapak Sosrodihardjo yang melahirkan
Soekarno, Presiden seumur hidup (sama kayak raja ya?) Negara Republik Indonesia
yang beribu kota di Sunda Kalapa! Di bekas negara kita, berdiri
lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan
Pajajaran. Soekarno bukan turunan Pajajaran, dia keturunan Singasari (coba
periksa lagi), Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala.....
Ini
spektakuler !!! Kelahiran Soekarno telah di ramalkan Siliwangi, bahkan dengan
sangat detail!
Saya ingin menginterpretasi lagi fenomena alam yang disebutkan mengiringi kelahiran 'kerajaan' baru tersebut. ......anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang..... Terjemahan yang paling mungkin memang fenomena kemunculan bulan dan komet. Namun fenomena dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menyerupai penampakan bulan dan kilatan bintang di langit. Saya sudah membuat vidonya untuk itu :
Saya ingin menginterpretasi lagi fenomena alam yang disebutkan mengiringi kelahiran 'kerajaan' baru tersebut. ......anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang..... Terjemahan yang paling mungkin memang fenomena kemunculan bulan dan komet. Namun fenomena dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menyerupai penampakan bulan dan kilatan bintang di langit. Saya sudah membuat vidonya untuk itu :
Lalu
akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh
dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran
ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang penguasa buta! Bukan
buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan,
penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah. Sekalinya ada
yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi
orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta
tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan,
aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang
mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering,
pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang
berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu
banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.
Saya
tidak yakin dengan interpretasi bait ramalan ini, tapi coba pertimbangkan :
*
Bait ini di buat setelah bait mengenai kemunculan Soekarno.
*
.....memelihara elang di pohon beringin. Anda mulai ngeh?
* ......Sekalinya
ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi
orang yang mengingatkannya, kira kira cocok ngak profilnya?
Pada
saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil
menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada
yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang
sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian.
Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukkan ke penjara. Lalu
mereka mengacak-acak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya
mereka sengaja membuat permusuhan.
Gelap.
Waspadalah!
sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut
ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta,
semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman
manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.
Gelap.
Kekuasaan
penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan
menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk
mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri,
kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak
huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di
seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan
bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan
tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang
sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.
Samar samar.
Yang
bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong,
sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu
menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka
mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi
batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal,
tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut,
pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!
Gelap.
Yang
ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti
lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut
lagi seluruh bumi. Orang Sunda dipanggil-panggil, orang Sunda memaafkan. Baik
lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil,
ratu adil yang sejati.
Horeeee!!!!
Nanti orang Sunda (baca Indonesia, boleh baca kebalik : ini soenda, ejaan lama
era Soekarno) akan berjaya lagi! Tapi siap siap dulu pindah rumah, karena rumah
saya tepat di kaki Gunung gede!.
Tapi
ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang,
cari oleh kalian pemuda gembala.
Silahkan
pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!
Barangkali ini lah beberapa kesimpulan atau pokok pokok interpretasi atas wangsit Siliwangi :
> Wangsit ini merupakan ramalan kejadian kejadian besar yang akan terjadi di tanah Sunda mulai dari runtuhnya Pajajaran hingga munculnya Ratu Adil. 8 Mei 1579 tercatat sebagai tanggal keruntuhan Pajajaran, kapan munculnya Ratu Adil, siapa Ratu Adil, dari mana datangnya, adalah misteri yang sengaja diciptakan untuk menutup wangsit ini.
> Wangsit ini merupakan pidato perpisahan dari seorang raja saat kerajaannya sudah tidak dapat bertahan lagi, dengan visi bahwa suatu saat Pajajaran akan kembali berdiri. Beberapa petunjuk diberikan bagi mereka yang masih percaya dengan kebangkitan Pajajaran baru.
> Wangsit ini banyak meyebar kode atau istilah tersembunyi, sehingga kita dapat juga menyebutnya The Siliwangi Code. Anda dapat menemukan kode kode Lebak Cawene, Budak Angon, Pemuda Berjanggut, sampai Ratu adil di dalamnya.
> Beberapa peristiwa yang disebutkan dalam wangsit ini mungkin saja sudah terjadi. Tergantung anda menginterpretasikannya. Saya misalnya menginterpretasi salah satu bait dengan kemunculan Soekarno dan Republik Indonesia karena tempat, momen dan orang yang disebut berkesesuaian. Atau tentang penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Semua perumpamaan dan peristiwa yang dijabarkan dalam wangsit berkesesuaian dengan realitas sejarah yang pernah terjadi.
(
Terima kasih kepada Ganesha Nurahmad di nurahmad.wordpress.com yang telah
menerjemahkan wangsit ini ke dalam bahasa Indonesia ). Bagi anda yang
mengerti basa Sunda dan berminat membaca teks aslinya, silakan menyimak :
“Lalakon
urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing
henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari
lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar
senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari,
tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing
moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah
sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”
Daréngékeun!
Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik
deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula
ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura
misah ka beulah kulon!
Daréngékeun!
Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan
dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho,
arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!
Dia
nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi
panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu
nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah
peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan
dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga
bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!
Dia
nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka
sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun
aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka
seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing
waspada!
Sakabéh
turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing
bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé
laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal
kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu
weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti
lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu
nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti
alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun
tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu
malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit
kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba
nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.
Engké
bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut
Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang;
ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di
birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku
hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi
kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih.
Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah
jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi,
mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban
jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah
jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.
Daréngékeun!
Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel
sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi
sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di
alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan
urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti
dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna
cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna.
Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu
hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup
di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!
Nu
tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju
sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu
anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak
ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku
monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét.
Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan
urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep
pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén
jaman geus ganti deui lalakon.
Laju
hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun
endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring
sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang;
ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun
batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah
cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu
ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu
harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu
beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi,
kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.
Laju
ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja
baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar
hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon!
Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku
béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan
di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.
Laju
aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka,
nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara
heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu
neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu
susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema
anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui
nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan;
da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh,
kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan………………………..
Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu
palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.
Ti
dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron
butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu
diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu
areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro
dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka
pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh;
padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.
Sing
waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab
sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi
dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan
kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!
Jayana
buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah
anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal,
wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon!
Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu
barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung!
Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta
bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Nu
garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian.
Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju
nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara.
Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu
satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana
budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus
narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan,
parindah ka Lebak Cawéné!
Nu
kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal
ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh
gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda
ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui;
sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.
Tapi
ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku
dia éta budak angon!
Jig
geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!
di copas tina: resensi buku esanugrahaputra.blogspot.com
mau yang asik ? ayam bangkok petarung
ReplyDelete