RADEN WIJAYA CUCU RAJA SUNDA
- Get link
- X
- Other Apps
(Kutipan Buku Sundakala karangan Prof. Ayatrohaedi, dan dari berbagai sumber serta penelusuran)
Kintunan : Hendy Kurnia
Salah satu ciri bangsa yang kuat adalah penghayatannya kepada sejarah,
karena penghayatan kepada sejarah bangsa akan memperkuat jatidiri bangsa
yang bersangkutan. Buku-buku sejarah menyebutkan bahwa pada abad ke-12
di Nusantara pernah berdiri Negara Majapahit yang wilayahnya melampaui
luas NKRI saat ini. Negara Majapahit itu didirikan oleh Raden Wijaya
atau Sanggrama Wijaya. Kisah menarik Majapahit bukan saja tentang
luasnya kekuasaan dan tingginya peradaban yang telah dicapai, namun ada
juga sepenggal cerita tragis yang disebut-sebut sebagai ‘aib sejarah’
sehingga sejarawan yang hidup kala itu, Mpu Prapanca, tidak sudi
menuliskannya dalam buku karangannya yang tersohor, Nagara Kertagama.
Kisah tragis itu dikenal sebagai ‘Palagan Bubat’ atau ‘Perang Bubat’
yang terjadi tahun 1357 menurut naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara sarga ke-3 halaman 119--127. Bubat adalah nama sebuah lapangan
di wilayah Majapahit. Konon sepuluh abad yang lalu di Bubat, pernah
terjadi perang antara tentara Majapahit dan Galuh (Galuh adalah kerajaan
di wilayah Jawa Barat bagian Timur, sedangkan Sunda adalah kerajaan di
wilayah Jawa Barat bagian Barat. Raja Sunda kala itu membagi kembali
kerajaan Sunda menjadi Sunda dan Galuh).
Kisah Palagan Bubat
dimulai dari keberangkatan rombongan mempelai wanita, yang terdiri dari
Raja Galuh, sang mempelai, beberapa petinggi kerajaan, dan sepasukan
tentara pengawal dari Galuh ke Majapahit. Kala itu, sudah merupakan
tradisi perkawinan apabila mempelai wanita diboyong ke pihak mempelai
pria yang bertahta sebagai raja. Bagi pihak Galuh, kedatangan ke
Majapahit bukan saja sebagai ‘nganten’, namun lebih dari itu, yakni
silaturrahmi kepada keluarga sendiri.
Klimaks kisah Palagan
Bubat dimulai ketika rombongan Galuh beristirahat di wilayah Bubat untuk
persiapan upacara penyambutan esok harinya. Tiba-tiba atas perintah
Maha Patih Majapahit yang bernama Gajah Mada, rombongan Galuh
diultimatum untuk menanggalkan segala senjata dan masuk ke Kotaraja
sebagai taklukan (Sunda-Galuh bagi Gajah Mada adalah satu-satunya
kerajaan Nusantara yang belum ditaklukkan). Ultimatum Gajah Mada
ditolak. Rombongan Galuh yang jumlahnya tak seberapa itu memilih perang
hingga mati daripada terhina. Maka pecahlah Palagan Bubat, darah
tertumpah di Bubat. Dari pihak Galuh tak ada satupun yang hidup. Semua
tentara, semua pejabat, bahkan Raja dan sang calon mempelai wanita pun
ikut tewas.
Kisah Palagan Bubat sedemikian jauh amat melukai
perasaan keluarga raja di Galuh dan Sunda. Bahkan menurut beberapa
sumber, konon keluarga raja Majapahit, termasuk Sang Prabu Hayam Wuruk,
pun menyesalkan peristiwa Palagan Bubat tersebut. Lalu bagaimanakah
kisah Gajah Mada selanjutnya? Riwayat Gajah Mada pasca peristiwa
berdarah itu tidak jelas ditulis oleh para sejarawan. Di Pihak Galuh dan
Sunda, diantara sisa-sisa luka lama itu masih dapat dijumpai, yakni
hingga detik ini tidak dijumpai nama jalan Majapahit, Hayam Wuruk,
apalagi Gajah Mada di pelosok wilayah propinsi Jawa Barat !
Perang Bubat tak lain adalah perang saudara. Hubungan darah antara raja
Sunda, Galuh, dan Majapahit rupanya tak diketahui oleh Gajah Mada.
Ketidaktahuan ini merupakan salah satu petunjuk bahwasanya Gajah Mada
bukanlah berasal dari kalangan kerabat istana, beliau benar-benar
seorang prajurit yang merintis karier dari derajat yang paling bawah.
Hubungan darah antara Sunda, Galuh, dan Majapahit kami jelaskan sebagai berikut :
Raja Singhasari yang berkuasa pada waktu itu, Prabu Wisnuwardhana,
mengawinkan Jayadharma dengan salah seorang kemenakannya yang bernama
Dewi Singhamurti atau Dyah Lembu Tal, anak Mahisa Campaka. Dari
perkawinan itu lahirlah Sang Nararya Sanggramawijaya atau Raden Wijaya
yang kelak mendirikan kerajaan Majapahit.
Jayadharma, ayah
Raden Wijaya, adalah kakak kandung Prabu Ragasuci, keduanya adalah putra
Prabu Guru Dharmasiksa atau Sanghyang Wisnu yang bergelar Sang
Paramartha Mahapurusa (memerintah kerajaan Sunda selama 122 tahun antara
1175—1297 masehi). Jayadharma adalah putra mahkota, namun wafat sebelum
menjadi raja. Maka seandainya Jayadharma tidak mati muda, kemungkinan
besar yang menjadi raja Sunda selanjutnya adalah Raden Wijaya.
Sepeninggal Jayadharma, Raden Wijaya bersama ibundanya, Dyah Lembu Tal,
diboyong kembali ke Singhasari.
Hubungan perkerabatan Sunda –
Singhasari diperkuat lagi dengan pernikahan Dara Kencana anak Prabu
Ragasuci (yang berarti adalah sepupu Raden Wijaya dari pihak ayah)
dengan raja Singhasari berikutnya, yakni Kertanegara (yang adalah paman
Raden Wijaya dari pihak ibu).
Ketika Wijaya menjadi raja
Majapahit yang pertama, kakeknya, Sang Prabu Guru Dharmasiksa, sempat
memberinya seberkas nasehat, yakni agar jangan sampai mempunyai niat
untuk menyerang, apalagi menaklukkan kerajaan Sunda karena dua kerajaan
itu sungguh-sungguh adalah bersaudara, dan bahwasanya Majapahit dan
Sunda hendaklah saling bahu membahu, tolong-menolong, serta mempererat
silaturrahmi.
Demikianlah, beberapa puluh tahun setelah
peristiwa Bubat, Majapahit mengalami kemunduran. Negara Adikuasa itu
semakin tak bertaring. Pada saat Nusantara lemah dan mulai terpecah,
datanglah kekuatan baru dari Eropa yang perlahan namun pasti merontokkan
segala kemegahan yang pernah ada, dan selanjutnya menjajah Nusantara
selama berabad-abad
RAJA-RAJA SUNDA YANG MENJADI RAJA DI MATARAM DAN MAJAPAHIT.
Ada dua penerus sah dari tahta KERAJAAN SUNDA yang menjadi raja besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
1. Sanjaya / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdarma, raja ke 2 Kerajaan
Sunda-Galuh(723 – 732M), menjadi raja di Kerajaan Mataram (Hindu) (732 -
760M). Ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno, dan sekaligus pendiri
Wangsa Sanjaya.
2. Raden Wijaya, penerus sah Kerajaan Sunda ke –
26, yang lahir di Pakuan, dan dikemudian hari menjadi Raja Majapahit
pertama (1293 – 1309 M). Memiliki darah Sunda dari kakeknya Prabu Guru
Darmasiksa yang merupakan Raja Galuh.
Kesimpulan penulis:
Mari kita merajut kembali tali persaudaraan, serta Ikatan silaturahmi
antara Orang Sunda dan Orang Jawa (Jawa Tengah & Jawa Barat).
Karena pada dasarnya kita bersaudara…, Mari kita sebagai anak
keturunannya atau penerusnya untuk meneruskan kembali semangat
persaudaraan ini yang sempat terpisah oleh Dinding kelam sejarah.
Sejarah masa lalu mari dijadikan pelajaran, dan sebagai HIKMAH agar kita
semakin arief dan Bijaksana dalam menjalani kehidupan ke depannya.
Tentunya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih dari kesempurnaan,
maka dari itu diharapkan para sepuh atau ahli sejarah dapat
menyempurnakan tulisan ini.
Terima kasih semoga bermanfaat, & Salam Silaturahmi…
@ki alit Pranakarya / H. Hendy (lahir di Cirebon)
Ketua Umum FSSN: Forum Silaturahmi Spiritual Nusantara
Moto: “Munajat Cinta Anak Negeri, Damai lah Indonesia Ku”
- Get link
- X
- Other Apps
Bagi bagi bonus sabung ayam online
ReplyDelete