Kearifan lokal Makhluk mistik
- Get link
- X
- Other Apps
Bagi
sebagian masyarakat yang mengklaim diri sebagai masyarakat peradaban
modern, westernism bahkan sebagian yang mengesankan perilaku agamis
yakni hanya bermain-main sebatas pada simbol-simbol agama saja tanpa
mengerti hakekatnya, dan kesadarannya masih sangat terkotak oleh dogma
agama/ajaran tertentu (kesadaran “kulit”). Manakala mendengar istilah
mistik, akan timbul konotasi negatif. Walau bermakna sama, namun
perbedaan bahasa dan istilah yang digunakan, terkadang membuat orang
dengan mudah terjerumus ke dalam pola pikir yang sempit dan hipokrit.
demikianlah manusia yang tanpa sadar masih dipelihara hingga akhir hayat.
Selama puluhan tahun, kata-kata mistik mengalami intimidasi dari
berbagai kalangan terutama kaum modernism, westernisme dan agamisme.
Mistik dikonotasikan sebagai pemahaman yang sempit, irasional, dan
primitive. Bahkan kaum mistisisme mendapat pencitraan secara negative
dari kalangan kaum tertentu sebagai paham sesat dan sumber kemusrikan.
Rasanya Pandangan itu tidak objektif ! Tentu saja penilaian itu
mengabaikan kaidah ilmiah. Penilaian bersifat tendensius lebih
mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri, kepentingan rezim, dan
kepentingan egoisme (keakuan).
Penilaian juga rentan
terkontaminasi oleh pola-pola pikir primordialisme dan fanatisme
golongan, diikuti oleh pihak-pihak tertentu hanya berdasarkan sikap
ikut-ikutan, ela-elu, dengan tanpa mau memahami arti dan makna istilah
mistis yang sesungguhnya.
Untuk itu, perlulah kiranya saya ingin berbagi kepada semua sahabat, mengenai makna yang sejatinya akan istilah mistis.
Dengan harapan membangun sikap arif dan bijaksana, selalu hati-hati
terutama dalam menilai seseorang atau suatu kelompok, golongan dan cara
pandang masyarakat tertentu.
Jika perilaku hidup dan pola pikir kita
tidak eling dan waspada, kita akan melebur ke dalam roda
“wolak-waliking jaman” di mana orang salah akan berlagak selalu benar.
Orang bodoh menuduh orang lain yang bodoh.
Emas dianggap Loyang (besi).
Besi dikira emas.
Burung bangau dianggap dandang (alat menanak nasi).
Yang asli dianggap palsu, yang palsu dibilang asli.
Semua serba salah kaprah, kacau-balau, chaos, dan hidup penuh dengan
kepalsuan-kepalsuan. Eksistensi Mistik dapat dipahami sebagai eksistensi
tertinggi kesadaran manusia, di mana ragam perbedaan (“kulit”) akan
lenyap, eksistensi melebur ke dalam kesatuan mutlak hal ikhwal, nilai
universalitas, alam kesejatian hidup, atau ketiadaan.
Kesadaran
tertinggi ini terletak di dalam batin atau rohaniah, mempengaruhi
perilaku batiniah (bawa) seseorang, dan selanjutnya mewarnai pola pikir
nya.
Atau sebaliknya, pola pikir telah dijiwai oleh nilai mistisisme yakni eksistensi kesadaran batin.
Meskipun demikian, eksistensi mistik yang sesungguhnya tidaklah
berhenti pada perilaku batin (bawa) saja, lebih utama adalah perilaku
jasad (solah).
Artinya, mistik bukanlah sekedar teori namun
lebih kearah manifestasi atau mempraktikkan perilaku batin ke dalam
aktivitas hidup sehari-harinya dalam berhubungan dengan sesama manusa
dan makhluk lainnya.
Apakah anda ingin menjadi seorang agamis,
yang hanya terpaku pada simbol-simbol agama/ajaran berupa penampilan
fisik, jenis pakaian, cara bicara, bahasa, gerak-gerik, bau minyak
wanginya atau atribut tertentu.
Ataukah sebaliknya anda ingin
menjadi seorang praktisi (penghayat) akan teori-teori tersebut sehingga
tidak hanya sekedar berbicara. Hal itu menjadi hak setiap orang untuk
memilih, masing-masing akan membawa dampak yang berbeda-beda. Dalam
menjabarkan istilah mistik, saya sangat sepakat dengan guru besar
Filsafat UGM Prof. Dr. Damarjati Supadjar, bahwa cirri-ciri mistikisme
adalah sbb ;
1. Mistisisme adalah persoalan praktek.
2. Secara keseluruhan, mistisisme adalah aktifitas spiritual.
3. Jalan dan metode mistisisme adalah cinta kasih sayang.
4. Mistisisme menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata.
5. Mistisisme sejati tidak mementingkan diri sendiri. Jika kita cermati
dari kelima ciri mistikisme di atas dapat ditarik benang merah bahwa
mistik berbeda dengan sikap klenik, gugon tuhon, bodoh, puritan,
irasional.
Sebaliknya mistik merupakan tindakan atau perbuatan
yang adiluhung, penuh keindahan, atas dasar dorongan dari budi pekerti
luhur atau akhlak mulia. Mistik sarat akan pengalaman-pengalaman
spiritual.
Yakni bentuk pengalaman-pengalaman halus, terjadi
sinkronisasi antara logika rasio dengan “logika” batin. Pelaku mistik
dapat memahami noumena atau eksistensi di luar diri (gaib) sebagai
kenyataan yang logis atau masuk akal. Sebab akal telah mendapat
informasi secara runtut, juga memahami rumus-rumus yang terjadi di alam
gaib.
Sebagai contoh :
Kenapa simpanan uang di Bank tidak
ada yang hilang di curi makhluk pesugihan ? Atau perhiasan emas di toko
emas tidak bisa hilang digondol sejenis jin atau pun siluman pesugihan ?
Secara logis-rasional, makhluk pesugihan yang sering mencuri uang atau
perhiasan di rumah-rumah penduduk seharusnya bisa mencuri uang dan
perhiasan di kedua tempat tersebut.
Namun kenyataannya kedua jenis harta kekayaan tersebut tidak bisa dicuri oleh makluk gaib sejenis pesugihan manapun.
Hal ini jarang sekali terfikirkan atau buat apa dipikirkan !
Agama/Ajaran sebagai sarana menggapai tataran spiritual. Spiritual
adalah kesadaran tinggi akan nilai-nilai transenden atau “ketuhanan”.
Mistisisme adalah wujud kesadaran dalam laku perbuatan konkrit. Dengan
adanya kesadaran yang cukup memadai akan bagaimana sesungguhnya yang
terjadi di alam gaib hal itu membuka pola pikir kita sehingga mampu
memahami noumena kegaiban secara logis.
Hal ini menjadikan para
pelaku spiritual memiliki kemantapan tidak hanya sekedar yakin, tetapi
dapat dikatakan bisa menyaksikan sendiri bagaimana “rumus-rumus halus”
akan bekerja, antara pengetahuan spiritual dengan tindakan nyata seiring
dan seirama.
Bagaikan lirik dengan syairnya.
Aransemen dengan nada-nada musiknya.
Sastra dengan gendhingnya.
Sinergis dan harmonis
antara pengetahuan spiritual dengan perbuatannya.
Menjadikan para pelaku spiritual sejati justru terkesan lebih santun
dan memiliki sense on humanity yang tinggi, memiliki kepekaan social,
solidaritas dan toleransi, kepedulian lingkungan social dan alam yang
sangat mendalam. Perilaku-perilaku yang menunjukkan sikap arif dan
bijaksana dalam menjalani kehidupan ini ketimbang orang-orang bergaya
“suci” (kesadaran symbolic) yang terkadang perilakunya lepas kendali,
sewenang-wenang dan beringas, emosional dan reaksional.
Karena merasa diri menjadi sangat kuat telah menjadi orang yang memegang hak istimewa (privilege) di hadapan Sang Maha.
Penjelasan singkat mengenai arti harfiah dan maknawiah tentang mistik,
dapat diambil benang merah bahwa “mistik local” adalah laku spiritual
berdasarkan pandangan hidup atau falsafah hidup Jawa. Atau disebut
jawaisme (javanism).
Yang paling utama dalam laku spiritual,
adalah perilaku didasari oleh cinta kasih dan pengalaman nyata. Maka,
bagi siapapun yang mengaku menghayati falsafah hidup local namun
perangainya masih mudah terbawa api emosi, angkara murka, reaksioner,
sektarian, dan primordialisme, kiranya belum memahami secara baik apa
itu nilai-nilai dalam falsafah hidup.
Mistik lokal merupakan
bagian dari ribuan mistik yang ada di bumi ini. Setiap masyarakat,
bangsa dan budaya biasanya memiliki nilai-nilai tradisi mistik yang
dipegang teguh sebagai pedoman hidup.
Sekedar contoh, misalnya
mistik Islam, dikenal dengan tradisi tasawuf, orang-orang yang mendalami
disebut orang-orang zuhud, dan para sufistik. Mistik Budha atau
Budhisme, mistik Hindu atau Hinduisme, dan masih terdapat ratusan bahkan
ribuan lagi banyaknya mistik-mistik di dunia ini.
Mistik lebih
fleksibel jika dibandingkan dengan agama/ajaran, sebab mistik tidak
mempersoalkan apa latar belakang ajaran, agama, budaya orang yang ingin
menghayati.
Hal itu tidak menimbulkan resiko terjadinya benturan
nilai-nilai, karena dalam tradisi mistik yang sesungguhnya, keberagaman
“kulit” akan dikupas, lalu mengambil sisi maknawiahnya yang bersifat
hakekat atau esensial.
Orang Jawa, Hindu, Kristen dan Budha,
bisa saja mempelajari ilmu tasawuf. Demikian pula sebaliknya, umat Islam
bisa pula mempelajari falsafah hidup Jawa. Hanya saja, kecenderungan
kekuasaan akan membuat batasan-batasan tegas kepada para penghayat
mistik dengan mistik itu sendiri. Bahkan sering terjadi prejudis,
pencitraan secara subyektif, dan punishment yang berdasarkan
kepentingan. Jangankan terhdap lintas budaya dan agama, kita ambil
contoh sederhana saja misalnya, sebagian umat Islam melarang sesama umat
Islam lainnya masuk ke dalam wilayah mistik Islam. Pelarangan dilakukan
dengan dalih agama pula, sehingga pelarangan seringkali bekerja secara
efektif membelenggu dinamika kesadaran umat, yang terjadi adalah umat
yang terkesan “agamis” tetapi sangat miskin pencapaian spiritualnya.
Tentang kearifan mistik local
1. Kepercayaan/ajaran lokal tentu saja tidak memiliki kitab suci
sebagaimana layaknya semua agama-agama yang ada. Karena bukanlah agama
melainkan pandangan hidup yang sudah turun temurun ribuan tahun, melalui
proses asimilasi dan sinkretisme dengan nilai-nilai agama yang pernah
ada di bumi nusantara. “Kitab Suci” nya adalah hidup itu sendiri. Hidup
yang meliputi jagad gumelar. Terdiri dari kehidupan sehari-hari,
kesejati di dalam diri, dan apa yang ada di dalam lingkungan alam
sekitarnya. Semua itu disebut sebagai “kitab satra jendra”. Cara
membacanya bukan dengan ucapan lisan, melainkan dengan perangkat ngelmu
titen yang berlangsung turun-temurun. Membaca “kitab sastra jendra”
dengan menggunakan elmu titen, indera yang digunakan adalah indera
keenam (six-sense) atau indera batin. Keberhasilannya ditentukan oleh
kemampuan seseorang dalam mengolah rahsa-pangrasa yakni rasajati atau
rahsa sejati.
2. Di samping nilai-nilai kearifan local yang
adiluhung, menjadikan nilai-nilai “impor” yang dinilai berkualitas
sebagai bahan baku yang dapat diramu dengan nilai kearifan local.
Keuntungannya justru terjadi proses penyempurnaan seperangkat nilai
dalam pandangan hidup orang Jawa. Jika definisikan, mistik
Kepercayaan/ajaran lokal merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai
kearifan local yang terjadi sejak zaman kuno pada masa kebudayaan
spiritual animisme, dinamisme, dan monotesime hingga saat ini. Sikap
terbuka, menghargai dan toleransi, serta dasar spiritual cinta kasih
sayang membuat mudah menerima anasir asing yang positif. Nilai-nilai
dalam falsafah hidup Jawa bersifat fleksibel dan selalu berusaha
mengolah nilai-nilai kebudayaan asing yang masuk ke nusantara misalnya
Budha, Hindu, Islam, Kristen, dan sebagainya. Yang terjadi bukanlah
kebangkrutan nilai-nilai falsafah Jawa itu sendiri, sebaliknya justru
mengalami penyempurnaan seiring perjalanan waktu. Hingga terdapat
anekdor, kalau nilai agama masuk sampai mendarah- daging, pandangan
hidup Jawa bahkan mbalung-sungsum sehingga tidak pernah lapuk dan selalu
eksis. Tidak hanya pada usia tua, bahkan masyarakat usia muda banyak
pula yang diam-diam menghayati dan mengakui fleksibilitas dan kedalaman
falsafah lokal. Seperti kekuatan misterius, terkadang semangat
penghayatan dirasakan tiba-tiba muncul dengan sendirinya seperti
panggilan darah.
3. Ritual, yang dilakukan oleh penghayat
falsafah hidup Jawa. Walaupun latar belakang keagamaan masyarakat Jawa
berbeda-beda, namun memiliki unsur kesamaan dalam tata laksana ritual
Jawaisme. Bedanya hanyalah pada bahasa yang digunakan dalam doa atau
mantra. Namun hakekat dari ritual adalah sama saja yakni bertujuan untuk
selamatan. Selamatan adalah tata laku untuk memohon keselamatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa. Sebagai upaya mendekatkan diri kepada yang
Mahasuci. Maka dalam ritual banyak terdapat ubo rampe, atau
syarat-syarat sesaji, di dalamnya banyak sekali mengandung maksud
permohonan doa kepada sang pencipta. Misalnya pada saat bulan Ruwah
merupakan bulan arwah dilaksanakan acara selamatan nyadran. Bulan ruwah
tepatnya satu bulan menjelang bulan puasa, hendaknya orang memuliakan
para arwah leluhurnya, mendoakannya agar mendapat tempat yang mulia,
luhur, dan suci. Dibuatlah ketan, kolak dan kue apem, berarti sedaya
kalepatan nyuwun pangapunten. Mohon ampunan atas segala kesalahan semasa
hidup. Apem berarti affuwwun, adalah lambang permohonan ampunan kepada
Tuhan. Dilanjutkan acara nyekar atau ziarah dan gotong royong
bersih-bersih serta merawat makam para leluhurnya sebagai wujud tindakan
nyata rasa berbakti dan memuliakan pepundennya yakni para leluhurnya.
Karena bagi masyarakat mistik Jawa, berbakti kepada orang tua, dilakukan
tidak saja selama masih hidup, namun saat sudah meninggal dunia pun
anak turun tetap harus berbakti padanya. Tidak ketinggalan pula acara
bersih desa, sungai, hutan, sawah, ladang, sebagai bentuk kesadaran diri
untuk selalu menghargai alam semesta sebagai anugrah terindah Tuhan
yang Mahapemurah.
4. Istilah ritual seringkali diartikan
secara kurang proporsional, dianggap hanya sekedar menjadi basa-basi
tradisi yang irasional. Kadang malah dianggap pula sebagai kegiatan
buang-buang waktu, beaya dan tenaga alias mubazir. Secara ekstrim ritual
dikonotasikan sebagai kegiatan yang melenceng dari kaidah atau norma.
Tuduhan sepihak, karena tentunya hanya terucap oleh orang-orang yang
tidak mampu memahami apa makna yang sesungguhnya dari mistik dan ritual.
Padahal, ritual adalah tata laku yang melekat tidak bisa dipisahkan
dari setiap agama, ajaran, tradisi dan budaya manapun di dunia ini.
Dalam Budhisme dan Hinduisme, Islam, Yahudi, Nasrani, Kong Huchu,
Sakura, dll banyak sekali terdapat berbagai ritual keagamaan. Mulai dari
peringatan hari besar keagamaan hingga berbentuk tradisi agama. Bahkan
masyarakat modern, tradisi Barat, masyarakat akademik, masyakarat medik,
semua memiliki ritual-rutual khusus yang dutujukan untuk meraih
kesuksesan termasuk keselamatan. Dalam masyarakat Jawa ritual selamatan
atau slametan menjadi main stream penghayatan perilaku mistik. Di
dalamnya terdapat simbol-simbol atau perlambang berupa sesaji, mantera,
ubo rampe, syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe sesaji mengandung
makna yang dalam. Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji sebagai
pakan setan. Bagi masyarakat Jawa sangat mengenal bahwa “setan” atau
makhluk halus bukan untuk diberi makan, tetapi harus diperlakukan secara
adil dan bijaksana karena disadari bahwa mereka semua adalah makhluk
ciptaan Tuhan juga. Manusia lantas tidak boleh bersikap negatif dan
destruktif dengan mentang-mentang, semena-mena, takabur, arogan atau
sombong kepada makhluk halus. Karena sikap negatif itu hanya akan
membuat manusia jatuh pada derajat yang hina. Itulah keluhuran pandangan
hidup manusia yang sering dituduh sebagai masyarakat engan kesadaran
primitif dan tidak masuk akal.
5. Sesaji merupakan bahasa yang
digunakan sebagai alat komunikasi baik secara vertikal maupun
horisontal. Karena dasar dari mistik adalah tindakan nyata, sebagai
konsekuensinya harus menghindari tabiat buruk tong kosong berbunyi
nyaring, tetapi enggan menghayati dalam perbuatan sehari-hari. Maka
dalam berdoa pun tidak cukup diucapkan melalui mulut. Rasanya kurang
afdhol atau kurang besar tekadnya dalam berdoa apabila tidak diwujudkan
dalam berbagai simbol yang terdapat dalam sesaji. Misalnya; doa yang
beragam hendaknya dilakukan secara tulus, suci, hati yang “putih bersih”
tidak terpolusi nafsu duniawi, dan ditujukan hanya kepada Hyang Widhi
atau Yang Mahatunggal. Maka hal itu diwujudkan dalam bentuk tumpeng nasi
putih berbentuk kerucut, besar di bawah, runcing di bagian atas. Bubur
merah dan bubur putih dalam bancakan weton sebagai lambang ibu dan bapa.
Hendaknya anak selalu ingat pada pengorbanan orang tua sejak ia di
dalam kandungan ibu, lalu dilahirkan dan diasuh hingga dewasa dan
mandiri. Bubur merah silang bubur putih, merupakan gambaran hubungan ibu
dengan bapa diikat dengan tali cinta kasih yang tulus, sampai
membuahkan anak sebagai anugrah buah cinta, dilambangkan dalam bubur
baro-baro, yakni bubur putih ditumpangi parutan kelapa dan gula merah.
Masih banyak lagi contoh yang dapat kita pelajari satu persatu maknanya
secara esensial. Ilmu “Kesaktian” Sejati Kesimpulan dari semua itu,
merupakan ilmu metafisika yang transenden dan bersifat terapan. Perilaku
mistik merupakan upaya yang ditempuh manusia dalam rangka mendekatkan
diri kepada Tuhan YME. Mendekatkan diri, atau upaya manunggal jati diri
dengan kehendak “Tuhan” (sumarah). Sikap sumarah merupakan wujud dari
sikap manembah kepada YME.
Sikap manembah inilah yang menjadi
pedoman utama dalam menghayati mistik lokal. Muara dari perjalanan
spiritual pelaku mistik tersebut, tidak lain untuk menemukan “lautan”
rahmatNya, berupa manunggaling kawula kalawan Gusti, atau sifat roroning
atunggil (dwi tunggal). Eneng ening untuk masuk ke alam sunya ruri.
Meraih nibbana menggapai nirvana, jalan wushul menuju wahdatul wujud.
Dengan pencapaian pamoring kawula-Gusti, akan menciptakan ketenangan
batin sekalipun menghadapai situasi dan kondisi yang sangat gawat.
Karena antara manusia sebagai mahluk dengan “Tuhan” sebagai Sang
Pencipta terjadi titik temu yang harmonis. Batin manusia selalu
tersambung dengan getaran energiNya, menjadi dasar atas segala tindakan
yang dilakukannya. Atau diistilahkan sebagai sesotya manjing embanan,
ing batin amengku lair. Sesotya adalah ungkapan yang mengandikan sang
pencipta bagaikan permata yang tiada taranya. “Permata” yang menyatu ke
dalam embanan. Embanan sebagai ungkapan dari jasad manusia, yang
“bersemayam” di dalam batin (immanen), melimputi seluruh yang ada
“being” di dunia ini. Jika manusia berhasil manembah, otomatis ia akan
menjadi manusia yang sekti mandraguna. Kesaktian sejati, bukan berasal
dari usaha yang instan hanya dengan rapal wirid semalam suntuk, atau
membeli dengan mahar. Namun kesaktian itu diperoleh seseorang apabila
berhasil menghayati sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair.
Seseorang selalu manembah dalam setiap perbuatannya. Cirikhas orang yang
kesaktiannya berkat manembah (kesaktian sejati) apabila perilaku dan
perbuatan sehari-harinya selalu sinergis dengan sifating Gusti; Welas
tanpa alis (kebaikan tanpa pamrih jasad/nafsu/duniawi), tidak menyakiti
hati, tidak mencelakai, dan merugikan orang lain. Dilakukan dalam kurun
waktu lama, tidak angin-anginan atau plin-plan, dilakukan secara
konsisten, teguh, dan penuh ketulusan serta kasih sayang tanpa pilih
kasih.
manusia yang bijak dan arif adalah ia tidak salah ketika
melambangkan hal-hal yang khusus, atau menterjemahkan hal-hal yang
simbolis.
(Copas by Mbah Goggle).
- Get link
- X
- Other Apps
Mau yang lebih ????? ayam tarung
ReplyDelete