IHWAL PERANG BUBAT

 Oleh : Aan Merdeka Permana
KOMENTAR PUTRI DYAH PITALOKA TENTANG PERANG BUBAT :
Bubat itu hanyalah tempat yang dipilih Hyang (Tuhan) untuk menentukan nasib. Semua orang harus percaya kepada apa yang jadi kenyataan. Bila takdir sudah ditentukan begitu, maka semua harus menerima. Saya memang berduka tapi saya tetap menerima, menerima!

Inilah ucapan selengkapnya dalam bahasa asli yang dia sampaikan

“Bubat teh sangakala wacana tur hidep kudu percanten kana nyata kanyataanana. Nu karaos ku kula, pati mulang nurug na’ jero batin. Takdir tos guratna, janten galang teh kedah jurag. Kula nampi mung duka ge aya. Ngan sangakala kedah, Gusti tos janten dikieuna. Kula nampi ... nampi”

(Terjemahan bebas: “Peristiwa di Bubat adalah sebuah keputusan. Engkau harus mempercayai kenyataan yang sudah berlangsung. Bila takdir sudah menentukan begitu, maka semua harus menerima. Yang tengah aku rasakan, kematian ini sudah terasa di batin. Memang ini suratan takdir jadi hati harus legawa. Kendati rasa sedih terasa namun aku tetap menerima. Ya, Tuhan, memang ini sudah terjadi. Aku menerimanya ... menerimanya.” Kutipan dari buku PERANG BUBAT, Novel kontroversi karya Aan Merdeka Permana

KOMENTAR SRI BADUGA MAHARAJA
(1482-1521 Masehi) Tentang Perang Bubat

Sri Baduga Maharaja adalah raja pertama Kerajaan Pajajaran, terpaut hampir 164 tahun dengan peristiwa Bubat, sebab peristiwa Bubat berlangsung tahun 1357 Masehi.
Namun kendati sudah berlalu selama ratusan tahun, peristiwa Bubat masih tetap menjadi bahan pembicaraan orang-orang Sunda kala itu. Tidak terkecuali, Sri Baduga Maharaja pun berkomentar.

“Aku tak menyalahkan siapa-siapa. Yang paling berdosa dalam kejadian ini adalah nafsu serakah karena menginginkan dirinya paling besar. Peristiwa di Bubat menurutku hanyalah sebuah cadar sebagai penutup rasa bersalah. Lalu kesalahan itu disudutkan kepada seseorang agar yang lain terbebas dari tudingan.”

Inilah ucapan selengkapnya, disampaikan dalam bahasa asli.

“Kula teu nyalahkeun sing saha-saha anu gede dosana, nepika tata-nagara burak sesa pati. Anu leuwih gede dosana “ampharanthra”, napsu nu gede tina kahoyong, silih bukti, bakti leuwih kaagrengan. Jeung anu leuwih salah nyaeta alam ramuksha jeung eusi-eusina. Naha? Kulantaran Gurajat, hartina gurat baris jiwa jeung tumprak-darajat anu ngebrehkeun takdir tina kajantenanana.

Pasunda Bubat ceuk Kula ngan saukur panutup beungeut jang nutupan tata-nagara anu neumbreuhkeun ka hiji jalma. Nyaeta Balangpatih Gajah Mada atawa Jaya Shakhseena, jeung neumbreuhkeun ka putu putra Dyah Pitaloka anu teu boga kanyaho ngan saukur nanya, saha jeung saha, kumaha bet kieu? Kula ngarasa boga getih turih nalias ledok ku nambrukeun sagala rupa jang mertahankeun nagara anu dipicinta!”

(Terjemahan bebas: Aku tak menyalahkan siapa yang paling besar dosanya, sehingga kehidupan tata-negara hancur-luluh. Yang paling berdosa adalah Ampharanthra, yaitu nafsu penuih ambisi untuk melihat dirinya paling besar. Kemungkinan juga alam dan seisinya ikut bersalah sebab takdir telah menentukan begitu.

Peristiwa Bubat menurutku hanya sekadar penutup wajah dan menyembunyikan kebijakan negara dengan cara menyudutkan seseorang, yaitu Balangpatih Gajah Mada Jaya Shakhseena, juga menyudutkan Nenek Buyut Dyah Pitaloka yang memiliki pengetahuan terbatas dan hanya sanggup bertanya siapa dan mengapa bisa begitu? Aku sebagai keturunan, akan tetap berupaya berjuang mempertahankan negara! Dikutip dari Novel Perang Bubat karya saya.

SIAPA YANG DIPERABUKAN DI ASTANA GEDE KAWALI?
KALAU ada akhli yang sanggup melakukan penggalian arkeologi di Astana Gede Kawali, barangkali akan lebih menegaskan bahwa peristiwa Bubat beserta kronologis ceritanya tidak sekadar bercampur mitos. Benarkah di Astana Gede Kawali ada terpendam abu jenasah Prabu Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka?

BULAN-bulan kemarin, orang lagi hingar-bingar membicarakan kembali peristiwa sejarah yang kita kenal sebagai Perang Bubat. Siapa pun mereka. Mungkin yang jadi gara-garanya lantaran gabungan Pemda Jabar dan Pemda Jatim berencana akan membikin film “Perang Bubat”. Dan lantaran beberapa kali sang panitia mengumpulkan puluhan orang yang dianggap “tahu” akan peristiwa itu, sepertinya ini bukan akan bikin garapan film fiksi sejarah, melainkan akan membuat film “dokumenter” yang harus betul-betul valid. Mereka diminta pendapatnya dan diminta urun rembug, bagaimana harus bikin film “Perang Bubat” tapi yang tidak merugikan salah-satu pihak dan bahkan akan menjadi perekat NKRI. Itu pun dengan catatan, tema dan alur cerita film jangan direkayasa hanya sekadar untuk memenuhi persyaratan “demi mempererat NKRI”.

Sekurang-kurangnya begitu yang terekam di pertemuan pertama yang didakan di Gedung Negara Purwakarta, beberapa bulan silam. Kegiatan dilanjutkan dengan mengutus kelompok akhli dari Jabar untuk mengadakan kunjungan ke Trowulan dan Bubat dan lalu diadakan pertemuan kembali di Lobby Hotel Preanger Bandung beberapa minggu sesudahnya. Hasilnya sungguh “memilukan”. Di samping belum ada kesepemahaman ikhwal peristiwa Bubat, juga pada umumnya para tokoh Jawa Barat tidak mau peristiwa lama diungkit lagi. Pendek kata: kalau peristiwa Bubat akan diangkat ke layar perak, tak akan menimbulkan dampak positif, selain hanya akan menguak luka lama.

Tentu ini amat membuntukan cita-cita kalangan sineas yang sudah begitu bersemangat untuk segera menggarap film produksi gabungan dua provinsi ini.

“Pertemuan di Preanger ini, tak ada kaitannya dengan pembikinan film. Ini semata hanya untuk mencari kebenaran ikhwal peristiwa Bubat, sebab ternyata penemuan baru terus berkembang,” tutur Rosyid E Abby yang jadi sekretaris panitia Dialog Budaya Sekitar Perang Bubat, di Preanger tempo hari.

Mungkin yang dimaksud “penemuan baru” adalah karya ilmiah arkeolog DR. Agus Aris Munandar guru besar UI. Dia mengabarkan prediksinya bahwa dalam peristiwa Perang Bubat, Gajah Mada tidak bersalah.
Tentu ini amat merisaukan sekelompok orang Sunda yang telanjur menuduh secara fanatik bahwa Gajah Madalah dalang dari semua peristiwa di Bubat itu. “Geus kagok geuleuh aing mah ka Si Gajah Mada teh,” demikian kata Kang Ibing Kusmayatna walau dengan seloroh. Drs.Hidayat Suryalaga, budayawan, bilang, orang Sunda sebetulnya sudah melupakan peristiwa Bubat dan telah lama memaafkannya.”Tapi ari kanyeri mah, moal leungit,” ujarnya. Hanya menyiratkan sebuah maksud, bahwa peristiwa Bubat jangan diungkit-ungkit lagi, termasuk untuk dibuat film. Tjetje Hidayat Padmadinata, sesepuh Jabar bahkan terang-terangan menolak Perang Bubat (dia tak setuju terhadap istilah Perang Bubat) dibikin film. “Akan menimbulkan bahaya perpecahan,” tuturnya.

Perpecahannya mungkin bisa macam-macam. Pertama karena rasa sakit hati akan diungkit, kedua, saling terpecah lantaran beda kesepakatan dalam memilih peristiwa Bubat yang dianggap “paling benar”. Mungkin mayoritas orang Sunda sudah telanjur percaya kepada Kitab Kidung Sundayana, sebab di kitab kuna itu, peristiwa di Bubat digambarkan amat memilukan dan menyakitkan. Sehingga dengan demikian, kini penulis bahkan menuding, Kitab Kidung Sundayanalah yang memanas-manasi orang Sunda agar terus bersedih dan terus merasa sakit hati. Di kitab kuna itu disebutkan, karena merasa terhina calon mempelai perempuan akan ditempatkan sebagai upeti oleh Gajah Mada, maka timbul pertempuran. Orang Sunda membela kehormatan dan harga diri hingga seluruhnya gugur di medan perang, termasuk Prabu Linggabuana. Bahkan, melihat peristiwa “pembantaian ini”, demi harga diri, Putri Dyah Pitaloka sang calon mempelai perempuan dari Sunda pun, memilih mati bunuh diri.

Namun kronologis peristiwa seperti ini hanya ditulis rinci di Kidung Sundayana, sebuah karya sastra yang dibuat 300 tahun sesudah peristiwa (1357) berlangsung. Secara umum, masyarakat (di luar Sunda) tak ingin mengenal Perang Bubat hanya melalui karya sastra, mereka ingin lebih konkret dalam melihat. Tapi, kisah Perang Bubat ini sebenarnya miskin bukti bila harus diperlakukan sebagai kisah sejarah secara utuh. Siapakah yang pernah datang ke Bubat lalu menemukan bukti-bukti peperangan, baik tertulis mau pun arkeologis selain yang didapat di karya sastra Kidung Sundayana? Kitab Pararaton hanya sedikit dan tidak menyebutkan Putri Dyah Pitaloka ikut ke Bubat, bahkan Kitab Negara Kertagama malah tak menyebutkan peperangan di Bubat. Lalu untuk menepis anggapan bahwa Perang Bubat tak pernah ada, para akhli membuat hipotesa. Negara Kertagama sebagai kitab catatan sejarah, sengaja tak menulis peristiwa di Bubat sebab akan membawa aib bagi penguasa (Majapahit). Maka karena catatan dan bukti otentik peristiwa Bubat amat tipis, akhirnya orang mencari sendiri-sendiri, apakah melalui hipotesa atau prediksi, atau bahkan mencari berita-berita tradisional secara lisan dari mulut-mulut.

Adalah penulis sendiri yang melakukan penelusuran seperti itu. Hasilnya sungguh mencengangkan. Dari penelusuran secara tradisional, mendengar kisah dari para orang tua yang bertempat tinggal di Trowulan, di Bubat, di Surabaya sampai ke wilayah-wilayah terpencil di pedalaman Garut, Sumedang dan Kabupaten Bandung, didapat “pengetahuan baru” mengenai kronologis Perang Bubat. Dari penutur tradisional wilayah Garut Selatan, didapat penjelasan, bahwa peristiwa di Bubat bukan semata-mata dosa Gajah Mada seorang, melainkan hasil rekayasa sebab terjadi intrik politik di kalangan istana Wilwatikta. Dari penutur wilayah Kota Surabaya didapat “berita” bahwa Dyah Pitaloka tidak pernah ke Bubat dan tak bunuh diri. Sang calon pengantin perempuan disuruh menunggu di sebuah muara anak sungai Kali Brantas yang kini dikenal sebagai Lawangsumber, tepian Kota Surabaya.

Dari wilayah pedalaman Sumedang dan Kabupaten Bandung, penulis dapatkan khabar lagi bahwa Prabu Linggabuana tak gugur di Bubat, namun dalam keadaan luka parah, oleh sisa bawahannya dilarikan dan akhirnya meninggal di lereng Gunung Batara Guru, wilayah perbatasan antara Garut dan Tasikmalaya kini.

Banyak yang percaya, bahwa di lereng gunung wilayah Karaha Bodas, terdapat makam Prabu Linggabuana dan hanya dikenal sebagai makam Prabu Siliwangi saja. Karena baik Prabu Linggabuana atau pun Putri Dyah Pitaloka tidak gugur, maka di Kompleks Astana Gede Kawali pun, tidak bakalan ada abu jenasah kedua orang tokoh ini.

Nah, pertikaian bakal kembali timbul, paling tidak dengan tokoh-tokoh fanatik yang tinggal di Kawali. Sebab masyarakat fanatik di wilayah itu sudah telanjur mempercayai bahwa di Astana Gede Kawali, Ciamis, ada dua gunduk batu yang diterakan sebagai punden abu jenasah Prabu Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka. Bayangkan kegalauan hati mereka, bila tiba-tiba prediksi ini dijungkir-balikan oleh “penemuan” saya. Jangankan orang Kawali (mungkin sebagian), bahkan budayawan Jacob Soemardjo yang tinggal di Bandung pun pernah gerah dengan pendapat saya ini. “Mencari penemuan baru silakan tapi mengobok-obok yang sudah ada, jangan,” demikian kira-kira tatkala saya launching buku “Perang Bubat” di Aula Pikiran Rakyat beberapa bulan lalu. Pendapat saya berdasarkan paparan tradisional, sementara beliau menyanggahnya dengan koridor akademisi. Memang tidak akan nyambung.

Tapi, agar ada yang bertindak sebagai penengah, itu pun kalau ada dana, sebaiknya para peneliti tulen seperti sejarahwan dan arkeolog datang melakukan penelitian. Galilah batu punden di Kawali, benarkah di bawahnya ada abu jenasah kedua tokoh utama di peristiwa Bubat itu? Tapi saya sendiri menyangsikan, apa bisa abu jenasah (kalau benar ada) yang sudah bercampur dengan tanah selama ratusan tahun lamanya, diteliti lalu bakal didapat bukti seperti yang kita harapkan? Perihal kepercayaan abu jenasah yang ditanam juga sudah disangsikan oleh DR. Agus Aris Munandar tatkala saya bertanya di Preanger tempo hari, jawabannya malah bikin runyam yang hendak mencari pembenaran. Kata dia, tradisi zaman dahulu, abu jenasah tidak dikubur, melainkan ditebar ke laut. Tuh, kan? Semakin susah juga penelusuran ini, ya. Dan, oh, hai Sang Perang Bubat, anda ini ternyata penuh misteri dan membingungkan. Kedudukan anda tetap menjadi mitos belaka. Dan tak ada seorang pun yang tahu persis, seperti apa peristiwa sesungguhnya. ***

Catatan :Aan Merdeka Permana – penulis folklor tinggal di Bandung.
Ditulis beberapa tahun silam tatkala Pemda Jabar dan Pemda Jatim hendak kerjasama bikin film Perang Bubat

Comments

Post a Comment

Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.

Popular posts from this blog

NGARAN PAPARABOTAN JEUNG PAKAKAS

Masrahkeun Calon Panganten Pameget ( Conto Pidato )

Sisindiran, Paparikan, Rarakitan Jeung Wawangsalan katut contona