SEKILAS RAGAM HIAS "PAKARANG"
oleh : MAMAT SASMITA
Ketika
membaca sebauh buku tentang Arsitektur Tradisional Jawa Barat, disana
disebutkan bahwa ragam hias di rumah Sunda tidak ditemukan, alasannya
mungkin karena masyarakat Sunda dahulu lebih bersifat semi sedenter
(berpindah-pindah), sehingga rumah dianggap bukan harta kekayaan
sebagai milik pribadi yang sangat didambakan sehingga tidak perlu
dihias.
Tetapi
apabila membaca naskah Sunda kuno Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK)
disana disebutkan beberapa ahli yang pada dasarnya berkaitan dengan seni
diantaranya keahlian mengukir yang disebut maranggi,
keahlian melukis, keahlian mengolah logam, membatik dan sebagainya. Tome
Pires pada tahun 1512 telah mendeskripsikan keadaan keraton mempunyai
330 tiang kayu yang tebal seperti tong anggur dan pada baian puncaknya
dihias dengan ukiran yang indah.
Kemungkinan
ragam hias untuk bangunan (rumah) sudah ada, bisa jadi bukan hanya di
keraton tetapi juga di kabuyutan. Bagaimana di rumah rakyat biasa?,
mungkin karena berpindah-pindah itu maka ragam hias di rumah tidak
menjadi suatu keharusan. Barangkali ada baiknya untuk menemukan ragam
hias ini di benda lain, bukan hanya selalu berkutat pada pencarian di
rumah hunian. Tetapi mengarahkan pencarian ke benda lain yang dianggap
sebagai banda pakaya anu masket dina dirina yang tidak pernah ditinggalkan walaupun harus pindah tempat. Setidaknya ada empat macam benda tersebut yaitu : pakarang (perkakas seperti pisau, golok, kujang, kudi), wadah (tempat untuk menyimpan sesuatu) atau parabot seperti parabot dapur termasuk lisung, jubleg atau halu, amparan (tikar, lampit atau benda anyaman tertentu untuk digelar sebagai tempat duduk atau tempat tidur) dan kain atau pakaian.
Didalam SSK juga disebutkan beberapa nama pakarang termasuk siapa yang memakainya, untuk para prabu (raja) yaitu pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Untuk para petani yaitu kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Untuk para pendeta yaitu kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot dan pakisi.
Yang
menarik kedudukan antara kujang dan golok (bedog?), disebutkan didalam
SSK bahwa kujang pakarangnya para petani (tukang tatanen) dan golok
pakarangnya raja. Apabila diamati ternyata saat sekarang ada pergeseran
nilai baik untuk kujang maupun golok. Diawal golok sebagai pakarang
raja, tapi sekarang menjadi pakarang jalma rea, siapa
saja berhak memilikinya. Disitu terjadi semacam desakralisasi fungsi,
mungkin karena bentuknya yang sederhana dan familiar juga sangat berguna
untuk pekerjaan kudak-kadek terutama untuk pekerjaan di kebun, seperti membelah bambu, memotong kayu.
Sebaliknya
dengan kujang yang tadinya sebagai pakarang para petani, artinya yang
memiliki masarakat kebanyakan, saat sekarang kujang seolah-olah menjadi
pakarang pusaka, disini terjadi sakralisasi terhadap fungsi kujang
tersebut.
Tentu
saja supaya kujang atau golok enak dipegang harus dilengkapi dengan
gagang atau pegangan (Sunda: perah), dan supaya terasa aman saat dibawa
maka harus memakai sarangka, wadah untuk kujang atau golok.
Ternyata di perah dan sarangka ini terdapat beberapa ragam hias, termasuk bentuk dari perah dan sarangka tersebut, terutama pada golok, tentunya yang ditemukan saat sekarang. Nama-nama perah golok seperti eluk paku, eluk duhong, eluk tanjung karang, eluk golong tambang, eluk bogo nolol, eluk jengkol sabeulah. Nama perah yang berasal dari nama burung seperti ekek galing, ekek bolong, soang ngejat, kucuit. Nama perah lainnya seperti maung kuru, maung depa, sopak lodong, ceker kidang, pingping hayam, ranggeum endog dan lain-lainnya.
Penamaan
ini lebih memperhatikan kepada bentuk atau rupa dari perah tersebut,
sedangkan ukiran yang menyertainya tidak terlalu dominan, ada ukiran
yang berbeda pada nama perah yang sama. Pada sarangka bedog, ada bagian
yang dinamakan simeut meuting, yaitu sebentuk kayu yang
diberi lubang yang sengaja ditempelkan pada sarangka disimpan di sebelah
atas disalah satu sisinya. Tujuannya sebagai alat penahan tali yang
diikatkan ke pinggang pemilik (Sunda : disoren). Nama simeut meuting
diantaranya eluk paku tungtung, daun lake, papatong eunteup, huntu kala, simeut batu, cacag buah, godobos dan lainnya.
Begitu juga pada kujang, terdapat ragam hias pada gagang dan sarangka. Walaupun gagang dan sarangka merupakan asesoris tambahan yang bisa jadi dibuat kemudian. Ada
anggapan pada sebagian pencinta kujang bahwa kujang sesungguhnya
senjata yang telanjang, artinya tidak memerlukan gagang ataupun
sarangka. Tetapi apabila menilik beberapa bilah kujang terutama pada
bagian paksi (bagian untuk dimasukan kedalam gagang,
istilah didalam keris Jawa adalah pesi) tentunya memperlihatkan bentuk
untuk diberi gagang. Tidak mungkin kalau dipegang begitu saja, selain
tidak nyaman untuk digenggam dan bisa jadi malah membuat luka pada
telapak tangan (Anis Jatisunda, makalah, 2000). Bentuk gagang pada
kujang hampir sama seperti bentuk gagang pada golok, walaupun lebih
banyak dalam bentuk ukiran kepala harimau atau seolah seperti harimau
yang utuh. Penggambaran pada sarangka lebih menggunakan teknik cukil,
sedangkan pada gagang pada bagian eluk secara langsung merupakan kepala
harimau. Pemilihan bentuk gagang yang berbentuk kepala harimau begitu
juga pada sarangka nampaknya lebih didekatkan kepada mitos maung
siliwangi, sepertinya ingin supaya lebih meyakinkan ada kesetaraan
antara legenda maung pajajaran dan kujang sebagai senjata khas Sunda.
Walaupun bentuk kujang yang diberi gagang tersebut cenderung kepada
kujang ciung atau bentuk kujang lainnya. Malah diantara beberapa pecinta
kujang bentuk gagang atau sarangka tidak menjadi ukuran akan nilai
sebuah kujang, kadang-kadang hanya diberi gagang sekedarnya atau malah
dibiarkan telanjang.
Kujang didalam bentuknya yang unik terdapat beberapa ornamen yang nampaknya baku setidaknya ditemukan diantaranya bentuk bulat atau setengah bulat dan runcing mengarah ke segitiga, terutama pada bagian tonggong
(punggung) yang bergerigi. Bentuk bulat pertama terdapat pada lubang,
jumlah bulat berupa lubang ini bisa berbeda pada setiap kujang. Fungsi
praktis dari dibuatnya lubang ini tidak diketahui secara pasti, ada yang
mengatakan bahwa lubang ini pada awalnya adalah tempat hiasan mas yang
bermatakan intan. Semakin banyak lubang pada sebuah kujang menandakan
semakin tinggi kedudukan pemilik kujang.
Dibagian
punggung yang bergerigi terdapat bentuk setengah bulat dan runcing
mengarah ke segitiga, fungsi praktis dari bentuk ini untuk memberi tanda
dengan mengerat atau seperti menggergaji. Memang tidak semua kujang
pada bagian punggung bergerigi tidak berbentuk runcing mengarah ke
segitiga, ada yang hanya berbentuk setengah bulat dan tajam. Mungkin
saja disini terdapat arti lain sebagai arti simbolis.
Terdapat
beberapa nama bentuk kujang diantaranya kujang ciung, kujang jago,
kujang bangkong, kujang badak, kujang daun dan sebagainya. Nampaknya
pemberian nama ini lebih mengacu kepada bentuk metamorposis dari bentuk
alam terutama binatang yang diamati. Seperti nama kujang jago, jago
disini lebih mengarah ke bentuk sebagai ayam jago yang sedang tengadah,
rubahan rupa dari gambar ayam jago sedang tengadah secara dua dimensi
menjadi bentuk kujang. Bagian yang runcing adalah patuk, bagian
bergerigi adalah jengger dan lainnya. Begitu juga kujang ciung diambil
nama dari burung ciung. Ragam hias dalam bentuk lain salain pamor dapat
ditemukan yang berpola geometris baik didalam badan kujang ataupun di
gagangnya seperti pola segiempat, bulat, segitiga, dan malah ada yang
berbentuk kaligrafi huruf Arab.
Nama-nama
pakarang di Sunda bukan hanya bedog (golok) dan kujang, tetapi masih
banyak yang lain. Nama pakarang tersebut selain yang ada di SSK ada juga
seperti sekin, condre dan badi.
Ragam
hias pada benda wawadah, amparan ataupun kain tentunya masih banyak dan
perlu pengamatan tersendiri. Dari daerah Ciamis terdapat ragam hias
pada sebuah jubleg, walaupun jugleg itu tidak terlelu tua diperkirakan dibuat pada tahun 1930-1940.
Menurut beberapa sumber keterampilan anyaman masuk ke Indonesia
sejak beberapa ribu tahun lalu, ketika migrasi besar-besaran penduduk
dari dataran Asia Tengah menuju ke Nusantara ini. Ternyata keterampilan
itu terus berlanjut hingga sekarang, salah satu tempat yang dianggap
menjadi sentra anyam-anyaman adalah di Rajapolah di Tasikmalaya. Dari
anyam-anyaman apabila membentuk pola tersendiri sehingga nampak hiasan
tentunya berbentuk geometris, bisa juga disebut sebagai ornamen atau
ragam hias.Entah itu dari bahan bambu ataupun dari bahan daun pandan.
Bendanya bisa berbentuk wawadahan seperti besek, pipiti, kameuti, tolombong, boboko atau tikar.
MAMAT SASMITA
Penggiat Rumah Baca Buku Sunda
Dimuat di Pikiran Rakyat (Teropong) Senin 14 April 2008
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.