SISKANDANG KARESIAN DAN KUNDANGEUN URANG REYA(dok.Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
Dari
jaman Siliwangi, kita diwarisi sebuah naskah kuno yang disebut
SISKANDANG KARESIAN DAN KUNDANGEUN URANG REYA (untuk pegangan hidup
orang banyak). Naskah ini tersiri atas 30 lembar dan pada akhir naskah
dicantumkan tahun penulisannya, yaitu NORA CATUR SAGARA WULAN (tahun
1440 (Saka) atau 1518 M. Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan
nomor kode KROPAK 630.
Sebagian isi dari naskah itu, ada baiknya juga kita ketahui sebagai berikut:
1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh)
2. Tapa di Nagara
3. Panca parisuda
4. Hidup yang penuh berkah
5. Parigeuing dan dasa pasanta
6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)
1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh)
Kesejahteraan hidup dapat kita capai bila kita mampu memelihara
kegunaan 10 bagian tubuh, yaitu telinga, mata, kulit, lidah, hidung,
mulut tangan, kaki, tumbung (dubur) dan alat kelamin (baga atau purusa).
Dituturkan umpamnya (artinya saja)
"Telinga jangan mendengarkan hal-hal yang tidak layak didengar karena
menjadi pintu bencana penyebab kita menemukan kesengsaraan di dasar
kenistaan neraka, tetapi bila (telinga) digunakan untuk hal-hal yang
baik, kita akan memperoleh keutamaan dari pendengarannya"
[Dukun bayi jaman dulu selalu membisikkan ajaran ini pada telinga kiri
si bayi setelah bayi itu dimandikan. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang
pertama-tama diperkenalkan kepada manusia adalah ajaran moral tentang
hidup bersusila]
2. Tapa di Nagara
Naskah itu menyebut
sebagai contoh 29 macam pekerjaan yang bermanfaat bagi umum, seperti
menteri, bayangkara, pandai besi, prajurit, petani, anak gembala, dalang
dan lain-lain. Lalu dijelaskan "Eta kehna turutaneun, kena eta ngawakan
tapa di nagara" (semua itu patut ditiru karena mereka itu melakuan tapa
dalam negara) Jadi yang dimaksud dengan tapa ini adalah melaksanakan
pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum. Oleh sebab itu penulis
Carita Parahiyangan mencela sikap Ratu Dewata karena ia melakukan cara
tapa yang tidak sesuai dengan tugasnya sebagai raja dalam keadaan negara
terancam musuh
3. Panca parisuda
Panca parisuda
mengandung arti LIMA OBAT PENAWAR. Ini kaitannya dengan sikap menerima
CELAAN atau KRITIK. "lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih"
(bila ada yang mengkritik kepada kita, terimalah kritik orang lain itu)
Anggaplah:
- ibarat kita sedang dekil menemukan air untuk mandi
- ibarat kita sedang burik ada orang yang meminyaki
- ibarat kita sedang lapar ada orang yang memberi nasi
- ibarat kita sedang dahaga ada orang yang mengantarkan minuman
- ibarat kita sedang kesal datang orang yang membawakan sirih-pinang (sepaheun)
Dengan sikap seperti itu dikatakannya
"kadyangga ning galah cedek tinugalan teka"
(sama halnya dengan galah sodok dipapas runcing)
[Galah cedek (bambu runcing) makin pendek makin baik karena
kemungkinan patah makin berkurang. Dengan kritik akal budi
kita akan menjadi makin kukuh dan tajam]
"lamun makasuka urang kangken pare beurat sangga"
(kalau senang menerima kritik orang, kita akan seperti padi yang runduk karena berat berisi)
4. Hidup yang penuh berkah
Pelengkap hidup agar selamat dalam kehidupan dan mendapat berkah dalam
rumah tangga harus
- cermat (emet)
- teliti (imeut)
- rajin (rajeun)
- tekun (leukeun)
- cukup sandang (paka predana)
- bersemangat (morogol-rogol)
- berpribadi pahlawan (purusa ningsa)
- bijaksana (widagda)
- berani berkurban (hapitan)
- dermawan (waleya)
- gesit (cangcingan)
- cekatan (langsitan)
Prinsip hidupnya adalah Tidak menyusahkan orang lain, hidup berkecukupan, tetapi tidak berlebihan.
"Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba
ponyo, ulah urang kajongjonan"
(Hendaknya kita ingat, bahwa tidur sekedar penghilang kantuk, minum
tuak sekedar pelepas haus, makan sekedar penghilang lapar, jangan kita
berlebihan)
5. Parigeuing dan dasa pasanta
Hidup yang cukup itu harus disertai tiga kemampuan (tri"geuing), yaitu
GEUING, UPAGEUING dan PARIGEUING.
Geuing adalah "bisa ngicap ngicup dina kasukaan"
(bisa makan dan minum dalam kesenangan)
Upageuing aadalah "bisa nyandang bisa nganggo, bisa babasahan bisa dibusana"
(bisa berpakaian, bisa punya cadangan pakaian bila yang lain dicuci, bisa berdandan)
Parigeuing adalah "bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawanginya mana hanteu surah nu dipiwarang"
(bisa memberi perintah, bisa menyuruh karena tutur bahasa yang manis sehingga orang yang disuruh tidak merasa jengkel hatinya)
Parigeuing memerlukan dasa pasanta (10 cara penenang), yaitu
1. bijaksana (guna)
2. ramah (rama)
3. sayang (hook)
4. memikat (pesok)
5. kasih (asih)
6. iba hati (karunya)
7. membujuk (mupreruk)
8. memuji (ngulas)
9. membesarkan hati (nyecep)
10. mengambil hati (ngala angen)
Tujuan dari hal di atas adalah
"nya mana suka bungah padang-caang nu dipiwarang"
(agar senang dan penuh kegairahan orang yang di suruh)
Betapapun harus kita akui, bahwa seseorang menjalankan perintah dengan
penuh rasa senang dan gairah, prestasinya akan maksimal. Yang penting
terutama adalah janganlah kita mengabaikan harga diri seseorang.
6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)
Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tongak kehidupan, yaitu
- RAMA (pendiri kampung yang menjadi pemimpin masyarakat dan keturunannya yang mewarisi jabatan itu),
- RESI (Ulama atau pendeta)
- PRABU (raja, pemegang kekuasaan)
Dalam naskah dianjurkan agar orang berusaha memiliki:
- bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja)
- sabda pinaka rama (ucapan seorang rama)
- hedap pinaka resi (tekad seorang resi)
Tugas ketiga tokoh itu dalam kropak 632 ditegaskan
"jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu"
(urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka
masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang
resi/ulama, dan urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab raja/
pemegang kekuasaan).
Ketiga pemegang posisi itu sederajat
karena "pada pawitannya, pada muliyana" (sama asal-usulnya, sama
mulianya). Oleh karena itu diantara ketiganya
"haywa paala-ala
palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka
pada mulia ku ulah, ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si
heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa
dina urang sakabeh, tuha kalawan anwam"
(jangan berebut
kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka
berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang
bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang
menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan
mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda)
Tritangtu
sebagai sistem kepemimpinan itu masih dilaksanakan di KANEKES. Orang
BADUY menyebutnya TANGTU TELU (tritangtu). Ketiga orang PUUN di Kanekes
masing-masing menempati posisi Resi (Puun CIKERTAWANA), Rama (Puun
CIKEUSIK) dan Ponggawa (Puun Cibeo). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga
Puun itu berkuada penuh di daerah masing-masing. Tetapi dalam hal umum
menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu telu itu berlaku.
Pada dasarnya ketiga posisi itu terdapat pula dalam masyarakat kita
sekarang, yaitu Pemuka Masyarakat, Ulama dan Pemerintah. Apa yang
diharapkan dari trio itu pada jaman Siliwangi, rasanya masih diharapkan
juga dewasa ini. Tradisi tidak selamanya "usang". Anggap sajalah semua
itu "wangsit Siliwangi" karena memang ditulus sebagai
"perudang-undangan" pada jamannya.
Bagian akhir naskah
Siskandang Karesian berisi anjuran agar orang tua tidak mengawinkan
anak-anaknya yang masih di bawah umur "hanteu yogya mijodohkeun bocah,
bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu ngajadikeun" (Tidak layak
mengawinkan anak kecil, agar tidak terbawa salah, agar tidak merepotkan
yang menjodohkan)… (Saleh Danasasmita)Cag
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.