Sejarah Ujung Gebang - Cirebon (Dok Salakanagara )
- Get link
- X
- Other Apps
Oleh :Yudhi S Suradimadja
Ujunggebang adalah desa di Kecamatan Susukan, Cirebon, Jawa Barat,
Indonesia. Desa ini terletak di perbatasan Kabupaten Cirebon dan
Kabupaten Indramayu. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian
sebagai petani terutama petani padi karena topografinya yang mendukung
pertanian sawah. Dengan luas lahan pertanian sekitar 555 hektare, saat
ini Ujunggebang menjadi salah satu daerah penghasil padi utama.
Desa
Ujunggebang terletak di koordinat 6°36′25″LS,108°21′20″BT, berada pada 1
km dari jalur utama Pantura antara Cirebon - Jakarta via Palimanan, 30
Km dari Kota Cirebon.
Desa Ujunggebang berbatasan langsung
dengan desa Luwungkencana di sebelah barat, desa Susukan di sebelah
selatan, desa Bunder di sebelah timur, dan Kabupaten Indramayu di
sebelah utara.
Di samping wilayah induk, Ujunggebang memiliki dua
wilayah dusun/pecantilan yang terpisah dari wilayah induk, yaitu Dusun
Gebangsari bagian utara dan Dusun Pule bagian selatan.
Sejarah
Ketika Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi raja di Keraton
Pakungwati Cirebon sebagai Sunan di Gunung Jati sekitar tahun 1482M,
beliau memiliki bhayangkari Kerton Pakungwati yang sangat tangguh
dipimpin oleh Pangeran Carbon (putranya Mbah Kuwu Cakrabuana) atau
disebut Senopati Yudalaga (Panglima Perang Keraton Cirebon).
Salah
satu bawahan Pangeran Carbon yang patuh, setia dan pemberani adalah
Anyung Brata ("a"= aku, "nyung" = selalu siap siaga, "brata" = perang)
yang selalu berada di barisan terdepan ketika terjadi kerusuhan,
peperangan dan keributan, karena keberanainya itulah Anyung Brata selalu
disayang oleh Pangeran Carbon sebagai panglima perang.
Untuk
menambah keprawiraan dan pengetahuan keagamaannya, Pangeran Carbon dan
Anyung Brata berguru ilmu kepada seorang wali yang dianggap mumpuni
dalam kema'rifatan yakni Syekh Lemahabang/Syekh Siti Jenar/ Syekh Jabal
Rantah.
Namun kemudian, Dewan Wali menganggap ajaran Syekh
Lemahabang menyimpang karena tidak sesuai dengan syariat Islam, dan
dianggap mengganggu proses penyebaran syariat Islam.
Untuk
menghindari pertumpahan darah antara pasukan Demak dan Cirebon, sesepuh
Cirebon, Mbah Kuwu Cirebon dan para pelaksana hukum serta para senopati
Keraton Cirebon yaitu Pangeran Kejaksan, Pangeran Panjunan, Ki Ageng
Bungko dan Pangeran Carbon, menyarankan agar yang diadili adalah Syekh
Lemahabang saja sebagai Mahaguru yang harus mempertanggungjawabkannya.
Usulan itu disepakati kemudian diadakan sidang tuntutan/ gugatan para
wali kepada Syekh Lemahabang yang digelar di Masjid Agung Sang Ciptarasa
Cirebon.
Untuk menenangkan diri dan menahan diri jangan sampai
terjadi perang saudara (perang kadang ibur batur), Anyung Brata membawa
istri tercintanya Nyi Mas Kejaksan, puterinya, dan abdinya yang setia
yaitu Ki Gawul (Ki Tambak) dan Ki Santani (Ki Bogo), yang berasal dari
daerah Pasundan. Mereka meninggalkan Keraton Pakungwati ke arah barat
daya Wilayah Keraton Pakungwati Cirebon di perbatasan wilayah Darma Ayu
(Indramayu). Anyung Brata dan pengikutnya menyamar seperti masyarakat
biasa lalu membuka hutan untuk dijadikan Pedukuhahan.
Untuk
mengatasi kebutuhan akan perairan, dibuatlah sumur pertama yang diberi
nama Satana (asat tapi ana – sedikit tapi ada). Karena air dari sumur
tersebut terasa asin seperti air laut, Anyung Brata mencari lokasi/tanah
yang tepat ke arah tenggara. Dan dibukalah sumur yang kedua, yang
mengeluarkan air deras, rasanya tawar dan diberi nama Sumuran.
Tanah
hasil bukaan hutan tersebut sangat subur, cocok untuk pertanian dan
palawija. Anyung Brata membabat hutan untuk dijadikan sawah dan diberi
nama Blok Sri Berkah ("sri" = padi, "berkah" diharapkan mendapat
berokah) atau dinamai Si Berkat.
Sejarah yang sangat berkaitan
dengan Ujunggebang adalah ketika seorang putri dari wilayah Darma Ayu
(Indramayu) yang bernama Nyi Mas Pandansari atau disebut juga Nyi Mas
Junti melarikan diri dari kejaran seorang saudagar kaya dari negeri Cina
yang hendak meminangnya yang bernama Sampo Kong/ Sampo To Alang atau
disebut Dampu Awang dan ditolong oleh Seorang wali bernama Syekh
Benthong.
Singkat Cerita, setelah melalui wilayah – wilayah yang
dikemudian hari diberi nama Desa Junti Kedokan, Junti Kebon, Juntiwedhen
dan Juntinyungat, singgahlah Nyi Mas Pandansari di sebuah sumur di Desa
Cadangpinggan (wilayah Kertasemaya, Indramayu untuk sekedar melepas
haus (selanjutnya sumur tersebut dikenal dengan nama Sumur Pandansari).
Kemudian Syekh Benthong dan Nyi Mas Junti berjalan kaki memasuki
wilayah kekuasaan Keraton Cirebon, bertemu dengan Anyung Brata yang
sedang menggarap sawah Sri Berkah/Si Brekat. Setelah berkenalan Syekh
Benthong menitipkan Nyi Mas Pandansari/Nyi Mas Junti kepada Anyung Brata
dan menceriterakan perihal Nyi Mas Junti.
Untuk mengecoh Dampu
Awang yang masih mengejarnya, Syekh Benthong menghambat perjalanan
dengan cara memperdaya pandangan Dampu Awang di Hutan/ Alas Walisurat.
Selanjutnya keselamatan Nyi Mas Pandansari/Nyi Mas Junti diserahkan
kepada Anyung Brata. Kemudian Syekh Benthong pun melanjutkan perjalanan.
Karena khawatir keberadaan Nyi Mas Junti diketahui oleh Dampu Awang,
maka Anyung Brata menyembunyikan Ny Mas Junti di puncak pohon Gebang
(Corypha umbraculifera, sejenis palma tinggi besar dari daerah dataran
rendah) yang daunnya lebat menyerupai kipas sehingga tidak terlihat.
Peristiwa tersebut diabadikan dengan memberikan nama pedukuhan tersebut
dengan nama Pedukuhan Ujunggebang ("ujung" = pucuk, "gebang" =pohon
Gebang). Kini Pedukuhan Ujunggebang menjadi Desa Ujunggebang.
Terpedaya dengan Syeikh Benthong, Ki Dampu Awang mencari berputar-putar
sehingga kelelahan dan beristirahat di tepi sebuah parit (kalen sepuluh)
Atas pertanda yang diberikan Syekh Benthong, akhirnya Ki Dampu Awang
pergi ke suatu daerah yang bernama Trusmi untuk menemui bakal jodohnya
dan merelakan untuk menyudahi pencariannya atas Nyi Mas Pandansari.
Sepeninggal Dampu Awang, Nyi Mas Junti dilepaskan, lalu menikah dengan Anyung Brata menjadi istri kedua.
Di pedukuhan tersebut, yang diberi tugas pengamanan Padukuhan adalah Ki
Gawul dan Ki Santani. Ki Gawul bertugas jaga malam mengelilingi desa
dengan naik kuda dan pos jaga di Wangan Jagadalu/ perbatasan Ujunggebang
- Desa Bunder, sedangkan Ki Santani bertugas jaga siang dengan berkuda
mengelilingi desa dengan pos jaga di Sungai Jagasiang (sebelah timur
Desa Ujunggebang).
Oleh karena mereka bekerja tanpa pamrih, sebagai
rasa terima kasih masyarakat padukuhan Ujunggebang senantiasa memberi
sedekah berupa uang, kue atau makanan lainnya kepada mereka.
Jasa lain Ki Gawul adalah kemampuannya membendung (nambak) Kedungparen
yang curam dan sulit dilewati oleh masyarakat yang akan menuju Situs
Buyut Murti/ Makam Kidul. Karena jasanya tersebut, Ki Gawul disebut Ki
Tambak.
Setelah Anyung Brata wafat, sebagai balas jasa sebagai
bayangkari keraton Pakungwati, dan untuk mempererat hubungan antara
kawula dan gusti, Anyung Brata dimakamkan di kompleks Makam Sunan Gunung
Jati di sebelah barat (blok Pamungkuran).
Sedangkan jenazah
Nyi Mas Kejaksan disemayamkan di pedukuhan Ujunggebang, begitu pun Nyi
Mas Pandansari/ Nyi Mas Junti. Oleh karena itu setiap tahun acara Mapag
Sri dan Unjungan, sebagian masyarakat dari Desa Juntikedokan,
Juntikebon, Juntiwedhen dan Juntinyungat datang berziarah di Makam Nyi
Mas Junti yang berada di Desa Ujunggebang.
Makam Nyi Mas
Kejaksan dan Nyi Mas Junti dipelihara oleh abdinya yang setia yaitu
Buyut Jembar sampai dengan keturunannya (sebagai juru kunci).
Adapun Ki Santani setelah wafat dimakamkan di Situs Ki Bogo yang berada
di tengah pedukuhan, sementara Ki Gawul dimakamkan di pojok sebelah
tenggara Desa Ujunggebang di dekat Kedungparen yang ditambak olehnya.
Masyarakat Ujunggebang menyebutnya Situs Ki Tambak.
Wallahu a'lam bisshowab
(diambil dari "Asal-usul desa di Kabupaten Cirebon, Narasumber: Marsita S. Adhi Kusuma)
Ilustrasi gambar tina Google
Ujunggebang adalah desa di Kecamatan Susukan, Cirebon, Jawa Barat, Indonesia. Desa ini terletak di perbatasan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani terutama petani padi karena topografinya yang mendukung pertanian sawah. Dengan luas lahan pertanian sekitar 555 hektare, saat ini Ujunggebang menjadi salah satu daerah penghasil padi utama.
Desa Ujunggebang terletak di koordinat 6°36′25″LS,108°21′20″BT, berada pada 1 km dari jalur utama Pantura antara Cirebon - Jakarta via Palimanan, 30 Km dari Kota Cirebon.
Desa Ujunggebang berbatasan langsung dengan desa Luwungkencana di sebelah barat, desa Susukan di sebelah selatan, desa Bunder di sebelah timur, dan Kabupaten Indramayu di sebelah utara.
Di samping wilayah induk, Ujunggebang memiliki dua wilayah dusun/pecantilan yang terpisah dari wilayah induk, yaitu Dusun Gebangsari bagian utara dan Dusun Pule bagian selatan.
Sejarah
Ketika Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi raja di Keraton Pakungwati Cirebon sebagai Sunan di Gunung Jati sekitar tahun 1482M, beliau memiliki bhayangkari Kerton Pakungwati yang sangat tangguh dipimpin oleh Pangeran Carbon (putranya Mbah Kuwu Cakrabuana) atau disebut Senopati Yudalaga (Panglima Perang Keraton Cirebon).
Salah satu bawahan Pangeran Carbon yang patuh, setia dan pemberani adalah Anyung Brata ("a"= aku, "nyung" = selalu siap siaga, "brata" = perang) yang selalu berada di barisan terdepan ketika terjadi kerusuhan, peperangan dan keributan, karena keberanainya itulah Anyung Brata selalu disayang oleh Pangeran Carbon sebagai panglima perang.
Untuk menambah keprawiraan dan pengetahuan keagamaannya, Pangeran Carbon dan Anyung Brata berguru ilmu kepada seorang wali yang dianggap mumpuni dalam kema'rifatan yakni Syekh Lemahabang/Syekh Siti Jenar/ Syekh Jabal Rantah.
Namun kemudian, Dewan Wali menganggap ajaran Syekh Lemahabang menyimpang karena tidak sesuai dengan syariat Islam, dan dianggap mengganggu proses penyebaran syariat Islam.
Untuk menghindari pertumpahan darah antara pasukan Demak dan Cirebon, sesepuh Cirebon, Mbah Kuwu Cirebon dan para pelaksana hukum serta para senopati Keraton Cirebon yaitu Pangeran Kejaksan, Pangeran Panjunan, Ki Ageng Bungko dan Pangeran Carbon, menyarankan agar yang diadili adalah Syekh Lemahabang saja sebagai Mahaguru yang harus mempertanggungjawabkannya. Usulan itu disepakati kemudian diadakan sidang tuntutan/ gugatan para wali kepada Syekh Lemahabang yang digelar di Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon.
Untuk menenangkan diri dan menahan diri jangan sampai terjadi perang saudara (perang kadang ibur batur), Anyung Brata membawa istri tercintanya Nyi Mas Kejaksan, puterinya, dan abdinya yang setia yaitu Ki Gawul (Ki Tambak) dan Ki Santani (Ki Bogo), yang berasal dari daerah Pasundan. Mereka meninggalkan Keraton Pakungwati ke arah barat daya Wilayah Keraton Pakungwati Cirebon di perbatasan wilayah Darma Ayu (Indramayu). Anyung Brata dan pengikutnya menyamar seperti masyarakat biasa lalu membuka hutan untuk dijadikan Pedukuhahan.
Untuk mengatasi kebutuhan akan perairan, dibuatlah sumur pertama yang diberi nama Satana (asat tapi ana – sedikit tapi ada). Karena air dari sumur tersebut terasa asin seperti air laut, Anyung Brata mencari lokasi/tanah yang tepat ke arah tenggara. Dan dibukalah sumur yang kedua, yang mengeluarkan air deras, rasanya tawar dan diberi nama Sumuran.
Tanah hasil bukaan hutan tersebut sangat subur, cocok untuk pertanian dan palawija. Anyung Brata membabat hutan untuk dijadikan sawah dan diberi nama Blok Sri Berkah ("sri" = padi, "berkah" diharapkan mendapat berokah) atau dinamai Si Berkat.
Sejarah yang sangat berkaitan dengan Ujunggebang adalah ketika seorang putri dari wilayah Darma Ayu (Indramayu) yang bernama Nyi Mas Pandansari atau disebut juga Nyi Mas Junti melarikan diri dari kejaran seorang saudagar kaya dari negeri Cina yang hendak meminangnya yang bernama Sampo Kong/ Sampo To Alang atau disebut Dampu Awang dan ditolong oleh Seorang wali bernama Syekh Benthong.
Singkat Cerita, setelah melalui wilayah – wilayah yang dikemudian hari diberi nama Desa Junti Kedokan, Junti Kebon, Juntiwedhen dan Juntinyungat, singgahlah Nyi Mas Pandansari di sebuah sumur di Desa Cadangpinggan (wilayah Kertasemaya, Indramayu untuk sekedar melepas haus (selanjutnya sumur tersebut dikenal dengan nama Sumur Pandansari).
Kemudian Syekh Benthong dan Nyi Mas Junti berjalan kaki memasuki wilayah kekuasaan Keraton Cirebon, bertemu dengan Anyung Brata yang sedang menggarap sawah Sri Berkah/Si Brekat. Setelah berkenalan Syekh Benthong menitipkan Nyi Mas Pandansari/Nyi Mas Junti kepada Anyung Brata dan menceriterakan perihal Nyi Mas Junti.
Untuk mengecoh Dampu Awang yang masih mengejarnya, Syekh Benthong menghambat perjalanan dengan cara memperdaya pandangan Dampu Awang di Hutan/ Alas Walisurat.
Selanjutnya keselamatan Nyi Mas Pandansari/Nyi Mas Junti diserahkan kepada Anyung Brata. Kemudian Syekh Benthong pun melanjutkan perjalanan.
Karena khawatir keberadaan Nyi Mas Junti diketahui oleh Dampu Awang, maka Anyung Brata menyembunyikan Ny Mas Junti di puncak pohon Gebang (Corypha umbraculifera, sejenis palma tinggi besar dari daerah dataran rendah) yang daunnya lebat menyerupai kipas sehingga tidak terlihat.
Peristiwa tersebut diabadikan dengan memberikan nama pedukuhan tersebut dengan nama Pedukuhan Ujunggebang ("ujung" = pucuk, "gebang" =pohon Gebang). Kini Pedukuhan Ujunggebang menjadi Desa Ujunggebang.
Terpedaya dengan Syeikh Benthong, Ki Dampu Awang mencari berputar-putar sehingga kelelahan dan beristirahat di tepi sebuah parit (kalen sepuluh)
Atas pertanda yang diberikan Syekh Benthong, akhirnya Ki Dampu Awang pergi ke suatu daerah yang bernama Trusmi untuk menemui bakal jodohnya dan merelakan untuk menyudahi pencariannya atas Nyi Mas Pandansari.
Sepeninggal Dampu Awang, Nyi Mas Junti dilepaskan, lalu menikah dengan Anyung Brata menjadi istri kedua.
Di pedukuhan tersebut, yang diberi tugas pengamanan Padukuhan adalah Ki Gawul dan Ki Santani. Ki Gawul bertugas jaga malam mengelilingi desa dengan naik kuda dan pos jaga di Wangan Jagadalu/ perbatasan Ujunggebang - Desa Bunder, sedangkan Ki Santani bertugas jaga siang dengan berkuda mengelilingi desa dengan pos jaga di Sungai Jagasiang (sebelah timur Desa Ujunggebang).
Oleh karena mereka bekerja tanpa pamrih, sebagai rasa terima kasih masyarakat padukuhan Ujunggebang senantiasa memberi sedekah berupa uang, kue atau makanan lainnya kepada mereka.
Jasa lain Ki Gawul adalah kemampuannya membendung (nambak) Kedungparen yang curam dan sulit dilewati oleh masyarakat yang akan menuju Situs Buyut Murti/ Makam Kidul. Karena jasanya tersebut, Ki Gawul disebut Ki Tambak.
Setelah Anyung Brata wafat, sebagai balas jasa sebagai bayangkari keraton Pakungwati, dan untuk mempererat hubungan antara kawula dan gusti, Anyung Brata dimakamkan di kompleks Makam Sunan Gunung Jati di sebelah barat (blok Pamungkuran).
Sedangkan jenazah Nyi Mas Kejaksan disemayamkan di pedukuhan Ujunggebang, begitu pun Nyi Mas Pandansari/ Nyi Mas Junti. Oleh karena itu setiap tahun acara Mapag Sri dan Unjungan, sebagian masyarakat dari Desa Juntikedokan, Juntikebon, Juntiwedhen dan Juntinyungat datang berziarah di Makam Nyi Mas Junti yang berada di Desa Ujunggebang.
Makam Nyi Mas Kejaksan dan Nyi Mas Junti dipelihara oleh abdinya yang setia yaitu Buyut Jembar sampai dengan keturunannya (sebagai juru kunci).
Adapun Ki Santani setelah wafat dimakamkan di Situs Ki Bogo yang berada di tengah pedukuhan, sementara Ki Gawul dimakamkan di pojok sebelah tenggara Desa Ujunggebang di dekat Kedungparen yang ditambak olehnya. Masyarakat Ujunggebang menyebutnya Situs Ki Tambak.
Wallahu a'lam bisshowab
(diambil dari "Asal-usul desa di Kabupaten Cirebon, Narasumber: Marsita S. Adhi Kusuma)
Ilustrasi gambar tina Google
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.