Kehidupan Keagamaan Masyarakat Sunda Kuno (Dok.Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
Penemuan-penemuan
sejumlah bangunan era Megalitikum mengindikasikan bahwa rakyat Sunda
kuno cukup religius. Sebelum pengaruh Hindu dan Buddha tiba di Pulau
Jawa, masyarakat Sunda telah mengenal sejumlah kepercayaan, seperti
terhadap leluhur, benda-benda angkasa dan alam seperti matahari, bulan,
pepohonan, sungai, dan lain-lain. Pengenalan terhadap teknik bercocok
tanam (ladang) dan beternak, membuat masyarakat percaya terhadap
kekuatan alam. Untuk mengungkapkan rasa bersyukur atas karunia yang
diberikan oleh alam, mereka lalu melakukan upacara ritual yang
dipersembahkan bagi alam. Karena itu, mereka percaya bahwa alam beserta
isinya memiliki kekuatan yang tak bisa dijangkau oleh akal dan pikiran
mereka.
Dalam melaksanakan ritual atau upacara keagamaan,
masyarakat prasejarah itu berkumpul di komplek batu-batu besar (megalit)
seperti punden-berundak (bangunan bertingkat-tingkat untuk pemujaan),
menhir (tugu batu sebagai tempat pemujaan), sarkofagus (bangunan
berbentuk lesung yang menyerupai peti mati), dolmen (meja batu untuk
menaruh sesaji), atau kuburan batu (lempeng batu yang disusun untuk
mengubur mayat). Bangunan-bangunan dari batu ini banyak ditemukan di
sepanjang wilayah Jawa bagian barat. Dibandingkan dengan wilayah Jawa
Tengah dan Timur, Jawa Barat paling banyak meninggalkan
bangunan-bangunan megalitik tersebut.
Kehidupan yang serba
tergantung kepada alam membuat pola hidup yang bergotong-royong. Dalam
melakukan persembahan/penyembahan terhadap roh leluhur maupun kekuatan
alam, masyarakat prasejarah ini melakukannya secara bersama-sama. Yang
memimpin upacara itu adalah mereka yang berusia paling tua atau dituakan
oleh masyarakat yang bersangkutan. Pemimpin inilah yang berhak
menentukan kapan acara “sedekah bumi” dan upacara-upacara religius
lainnya dilakukan. Dialah juga yang dipercayai masyarakat dalam hal
mengusir roh jahat, mengobati orang sakit, dan menghukum warganya yang
melanggar nilai atau hukum yang diberlakukan.
Kehidupan Keagamaan Masyarakat Sunda Masa Hindu-Buddha
Setelah kedatangan orang-orang India, masyarakat Sunda kuno mulai
terpengaruh ajaran-ajaran Hindu dan Buddha. Penemuan sejumlah arca-batu
bercorak Hindu dan Buddha (meski dibuat sangat sederhana) menandakan
bahwa mereka—terutama kaum bangsawan—memercayai dan mempraktikkan
ajaran-ajaran Hindu-Buddha. Meski jarang sekali ditemukan candi yang
bercorak Hindu-Buddha, tak dipungkiri bahwa masyarakat Sunda
Kuno—terutama keluarga raja—menganut agama-agama dari India itu, yang
kemudian dipadukan dengan kepercayaan nenek-moyang mereka, yaitu Sunda
Wiwitan.
Sejak masa Salakanagara dan Tarumanagara, raja-raja di
Sunda memiliki gelar yang sangat kental warna Hindu maupun Buddha.
Gelar “dewawarman” yang berarti “baju perisai dewa”, tentu mengacu
kepada kepercayaan Hindu, selain karena pendiri Salakanagara berasal
dari negeri India. Mereka begitu memuja dewa-dewa Hindu seperti Surya,
Wisnu, dan Siwa.
Kehidupan agama masyarakat Sunda kuno dapat
dilihat dari, misalnya, naskah Sanghyang Sisksakandang Karesian (disebut
pula Kropak 603) yang ditulis pada 1518 atau Carita Parahyangan yang
ditulis pada 1580 M. Berdasarkan naskah tersebut, terang sekali bahwa
agama orang Sunda terdiri atas tiga kepercayaan utama, yaitu tradisi
Sunda Wiwitan (Sunda asli) yang begitu memuja leluhur (hyang),
Buddhisme, dan Hindu. Oleh masyarakat Sunda, kepercayaan Buddha dan
Hindu tersebut dipadukan yang cenderung lebih mengarah kepada
Buddhaisme. Perpaduan kedua agama ini dapat dilihat dari doa (semacam
“syahadat”) mereka yang diucapkan ketika upacara keagamaan berlangsung.
Doa tersebut berbunyi: “Hong kara nomo Sewaya, sembah ing hulun di
Sanghyang Panca Tatagata”, yang artinya: “Ya Tuhan, segala perbuatan
demi nama Siwa, sembahku kepada Sanghyang Buddha yang lima.”
Jelas sekali corak sikretisme dalam doa tersebut. Sanghyang Buddha yang 5
atau Dyani Buddha adalah posisi Buddha dalam bersemadi yang mengacu
kepada arah mata angin, yakni :
1. amogasiddha (utara);
2. akshobya (timur);
3. ratnasambhawa (selatan);
4. amithabba (barat);
5. wairocana (pusat/zenit).
Sementara itu, dalam Hindu pun terdapat lima dewa, disebut Batara Jagat
atau Lokapala. Akan tetapi, para dewa tersebut tidak dianggap tuhan
melainkan tunduk kepada Hyang (dewata bakti di Hyang). Maka dari itu
dikatakan, “Sing para dewata kabeh pada bakti ke Batara Seda Niskala”
(Semua dewa tunduk kepada Batara Seda Niskala). Adapun kelima dewa
tersebut adalah :
1. Wisnu (utara);
2. Isora/Iswara (timur);
3. Mahadewa (selatan);
4. Bratha (barat);
5. Siwa (tengah).
Agama Buddha yang berkembang di Jawa Barat (dan juga di
kerajaan-kerajaan kuno lainnya di Nusantara) adalah Buddha Mahayana.
Pada abad ke-7, Sriwijaya bahkan merupakan pusat studi Buddha Mahayana
di sekitar Asia Timur-Tenggara. Mahzab Mahayana ini menitikberatkan
kepada usaha saling membantu antarpengikutnya dalam mencapai kebebasan
jiwa (nirvana), berbeda dengan Buddha Hinayana yang lebih bersifat
individualistis dalam mencapai nirwana. Aliran Hinayana berkembang di
Sri Langka, Burma, dan Thailand; namun kemudian tak berkembang dan lebih
dulu menghilang. Sebaliknya, aliran Mahayana ini kemudian terpengaruh
oleh Hinduisme, yang mengakibatkan makin menjauhnya ajarannya dari
ajaran Siddharta Gautama sendiri.
Dalam Buddha Mahayana
akhirnya mengenal pendewaan atas diri Buddha dan Bodhisatwa, surga dalam
artian tempat, bhaktimarga (jalan bakti), dan dewa-dewa lainnya yang
patut disembah. Penyelewangan ajaran ini tentunya makin menjauhkan
Buddhisme dari semangat Buddha Siddharta, karena ajaran Buddha aslinya
tak mengenal adanya tuhan, tak mengenal doa, tak mengenal dewa-dewa
layaknya dalam Hindu. Maka dari itu, di India sendiri ajaran Buddha
menghilang dan kemudian lebih banyak dianut di Asia Timur dan Tenggara.
Ada pun, ajaran Hindu yang dianut oleh masyarakat, atau lebih tepatnya
para raja-raja, Pasundan adalah aliran Waisnawa (Wisnu) dan Bairawa
(Siwa). Penemuan patung-patung Wisnu dan Siwa di beberapa tempat di Jawa
Barat membuktikan hal ini. Belum lagi bila kita melihat gelar raja-raja
Sunda, Galuh, atau Pajajaran yang berbau Wisnu. Sanjaya Sang
Harisdarma, Prabu Resi Atmajadarma Hariwangsa, Sri Jayabupati
Jayamanahen Wisnumurti, Guru Dharmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu,
merupakan raja-raja yang memakai gelar kewisnuan (Harisdarma,
Hariwangsa, Wisnumurti). Dewa atau Batara Wisnu sendiri adalah dewa yang
memelihara perdamaian di bumi dari kehancuran yang disebabkan oleh Dewa
Siwa.
Dalam melaksanakan upacara/ritual keagamaan, masyarakat
Sunda mempergunakan bangunan atau tempat yang telah ada, seperti punden
berundak-undak atau babalayan, menhir, atau bangunan peninggalan budaya
prasejarah Megalitikum yang memang banyak tersebar di Tatar Sunda. Maka
dari itu, di Jawa Barat jarang sekali ditemukan bangunan tempat ibadah
atau pun tempat penyimpanan abu raja seperti candi yang banyak ditemukan
di Jawa Tengah dan Timur. Hal ini terjadi karena masyarakat Sunda
adalah masyarakat peladang yang hidupnya cenderung nomaden,
berpindah-pindah tempat. Sebagai komunitas nomaden, mereka merasa tak
perlu membangun tempat-tempat suci (candi atau wihara) karena akan
memakan waktu yang lama. Lagi pula, mereka akan selalu berpindah tempat
lagi untuk menemukan lahan baru guna dijadikan tempat berladang mereka
yang baru. Bagi masyarakat Sunda kuno, bangunan megalitik itulah “candi”
mereka. Maka dari itu, gaya hidup orang Sunda yang hidup di dataran
tinggi dan bertradisi ladang, berbeda dengan orang Jawa yang memiliki
tradisi sawah yang gaya hidupnya cenderung menetap.
Perpaduan
unsur Buddha dengan Hindu rupanya menghasilkan “agama” baru, yakni
Tantrayana, yang juga dianut oleh sebagian masyarakat Sunda, terutama
kalangan atas yang status sosialnya tinggi. Mahzab Tantrayana
(pengikutnya disebut Tantris) terdapat dalam Buddhisme maupun Hinduisme.
Sekte ini lahir di India pada tahun 600 Saka, dan lima puluh tahun
kemudian menyebar ke Tibet, Cina, Korea, Jepang, hingga Indonesia (Jawa
dan Sumatera). Tantra sendiri artinya adalah intisari, esensi, atau
asal.
Dalam kepercayaan Tantrayana ini mengenal adanya laku
meditasi dengan menggunakan alat berupa mandala (bagi penganut Buddha)
atau yantra (bagi penganut Hindu). Mandala adalah variasi lain yang
bercorak Buddha dari apa yang disebut yantra oleh penganut Hindu, yakni
berupa lukisan yang berfungsi sebagai alat bantu dalam meditasi
sehari-hari. Alat tersebut—bisa dibuat dari tanah, kain, pada dinding,
logam, atau batu—harus digunakan oleh mereka yang mencari pelepasan dari
rangkaian siklus (lingkaran) kelahiran kembali.
Penggunaan
mandala/yantra ini biasanya dibarengi dengan memegang aksamala (seperti
tasbih atau rosario) oleh tangan kanan untuk menghitung mantra yang
diucapkan. Di Jawa Barat, para penganut Tantra ini menjalankan ibadahnya
di bangunan-bangunan megalitik.
Di Sriwijaya, aliran ini lebih
dulu berkembang pada abad ke-7, ditandai adanya Prasasti Talang Tuo dan
Kota Kapur yang berisi kutukan dan sumpah. Di Jawa Tengah pada abad
ke-8 dalam Prasasti Kalasan tahun 778 disebutkan bahwa Rakai Panangkaran
mendirikan bangunan suci, Candi Kalasan, untuk memuja Dewi Tara. Dewi
Tara ini merupakan salah satu bentuk penyimpangan Buddha Mahayana karena
dewi tersebut dianggap sebagai istri (syakti) pada Dyani Buddha;
padahal Buddha sendiri menilai syahwat merupakan musuh terbesar manusia.
Sementara itu, pada masa Raja Sindhok di Jawa Timur abad ke-10 telah
disusun sebuah kitab yang menguraikan paham Tantra, yakni Sanghyang
Kamahayanikan.
Di Sunda sendiri, diketahui sejumlah raja
penganut Tantra di antaranya: Sri Jayabhupati dan Raja Nilakendra (ayah
Prabu Suryakancana, raja terakhir Pajajaran). Prasasti Sanghyang Tapak
(Cibadak) menyebutkan sejumlah sumpah dan kutukan “mengerikan” yang
menyerukan supaya orang yang menyalahi ketentuan dalam prasasti tersebut
diserahkan kepada kekuatan-kekuatan gaib untuk dibinasakan dengan
menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya, dan
membelah dadanya.
Selain kutukan-sumpah, Tantrayana mengajarkan
agar badan, perkataan, serta pikiran digiatkan oleh ritual, mantra, dan
samadi. Dalam Tantrayana Hindu, kesaktian Siwa dinilai bersifat wanita
dan akhirnya dianggap sebagai istri Siwa sendiri. Munculnya unsur wanita
ini mengakibatkan lahirnya kegiatan “hubungan intim” yang dianggap
“suci” dan membawa manusia kepada “kebebasan jiwa” dalam upacara
Tantrayana. Begitu pula dalam Tantrayana Buddha (Wajrayana), yang
ditandai dengan adanya hubungan Dewi Tara dengan Dyani Buddha.
Tantrayana menganggap bahwa penciptaan alam semesta beserta isinya
dilakukan oleh Unsur Asal (dalam Buddhisme disebut Buddha, dalam
Hinduisme disebut Siwa-Bhairawa) melalui hubungan intim dengan istrinya.
Upacara Tantrayana ini semakin menyimpang dengan adanya penggunaan
minuman keras oleh para pengikutnya. Minuman keras ini dimaksudkan untuk
mempercepat “peleburan” diri kepada Unsur Asal. Mereka pun selalu
mengutamakan makanan-makanan lezat dan mewah, yang jelas bertentangan
dengan ajaran Buddha murni yang mengharamkan minuman keras dan hidup
berfoya-foya.
Kemerosotan akhlak dan moral di kalangan istana
dengan adanya praktik Tantrayana ini kelak mempercepat penyebaran Islam
di dalam masyarakat Sunda. Belum lagi faktor bahwa dalam Buddha sendiri
tak dikenal pengkastaan.
Kepercayaan terhadap (Ajaran) Leluhur
Seperti telah dikupas sedikit, bahwa pada masa nirleka (prasejarah)
masyarakat Sunda begitu menjunjung tinggi (roh) para leluhur dan
ajaran-ajarannya. Kepercayaan terhadap nenek moyang ini senantiasa
dipelihara oleh mereka hingga berabad-abad kemudian setelah agama
Hindu-Buddha dan Islam masuk ke wilayah mereka. Jadi, walaupun pengaruh
agama lain kuat terhadap kehidupan, masyarakat Sunda kuno tetap memegang
teguh kepercayaan terhadap (ajaran) nenek-moyang. Naskah-naskah kuno
begitu sering menyebutkan adanya kabuyutan, yakni tempat sakral yang
diperuntukkan bagi kaum brahmana atau resi atau bagawat yang bertugas
memelihara ajaran agama dan tempat suci itu sendiri. Kabuyutan juga
merupakan tempat di mana para pujangga (kauam intelektual) menulis
kitab-kitab tentang agama. Prasasti Gegerhanjuang (1111 M) di Singaparna
(Tasikmalaya), misalnya, menyebutkan adanya panyusukan atau penyaluran
air sehubungan dengan pembangunan Kabuyutan Linggawangi di tempat
bersangkutan.
Upaya raja-raja Sunda dalam membuat kabuyutan
juga banyak diabadikan dalam naskah-naskah, salah satunya Amanat
Galunggung (dikenal juga sebagai Kropak 632 atau Naskah Ciburuy). Di
dalamnya diberitakan bahwa Prabu Dharmasiksa berpesan terhadap
anak-cucunya agar memegang teguh ajaran agama dan menjaga Kabuyutan
Galunggung. Diperingatkannya bahwa kabuyutan tersebut jangan jatuh ke
tangan orang non-Sunda, dan orang yang memelihara kabuyutan tersebut
akan memeroleh kesaktian, unggul dalam perang, hidup akan lama,
keturunannya akan bahagia. Jelas, bahwa bagi raja-raja Sunda, fungsi
kabuyutan sebagai kekuatan magis dinilai sangat penting, lebih penting
dari, misalnya, lamanya sang raja memerintah. Dalam pandangan orang
Sunda Kuno, kedudukan kabuyutan sejajar dengan nilai kemenangan dalam
perang. Pada masa Sri Baduga, pemeliharaan terhadap kabuyutan ini tetap
dilaksanakan. Ia menyatakan, kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung
Samaya dijadikan sebagai “desa perdikan”, yaitu desa yang dibebaskan
dari pajak. Kabuyutan ini dibebaspajakkan karena jasa-jasanya terhadap
negara dalam memelihari ajaran leluhur dan juga perintah raja.
Naskah Amanat Galunggung juga memuat ajaran agar senantiasa melaksanakan
perintah nenek moyang (juga orangtua) serta menjaga apa-apa yang telah
diperbuat oleh leluhur yang telah almarhum (suwargi).
“Tetaplah
mengikuti orangtua, melaksanakan ajaran yang membuat parit di
Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama
berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para
almarhum.”
Carita Parahyangan pun membeberkan, bahwa bila
seseorang meninggalkan ajaran leluhur niscaya akan dihinggapi kesusahan
dan penyakit batin. Sebaliknya, orang yang memelihara ajaran nenek
moyang pasti akan senang lahir-batin.
Ajaran dari leluhur
dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa
laskar maupun penyakit batin. Senang-sejahtera di utara, barat, dan
timur. Mungkin, faktor “menghormati leluhur” inilah yang menyebabkan
ajaran Islam dapat diserap oleh mayoritas masyarakat Sunda. Islam pun
mengajarkan bahwa menghormati orang tua merupakan salah satu unsur
terpenting dalam kehidupan; dan barang siapa yang selalu mendoakan arwah
orangtua akan diberi pahala melimpah.(Tina : Atlantissunda )
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.