SUNDALAND = Benua Atlantis yang Hilang? – (Dokumen Salakanagara)
- Get link
- X
- Other Apps
oleh Budi Brahmantyo
MENARIK
sekali artikel yang ditulis oleh Profesor Dr. H. Priyatna Abdurrasyid,
Ph.D., tentang mitos Benua Atlantis yang ternyata adalah Indonesia.
Tulisannya mengutip sebuah buku keluaran tahun 2005 karya seorang Brasil
Profesor Arysio Nunes dos Santos berjudul “Atlantis, The Lost Continent
Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization
”.
Terus terang, saya sama sekali belum pernah membaca buku itu. Tetapi,
penelusuran melalui dunia maya menemukan satu promosi penerbitan buku
tersebut dengan gambar sampul buku yang sangat menarik dan provokatif.
Sampul buku itu menampilkan Kepulauan Indonesia bagian barat, yang tidak
lain dan tidak bukan adalah apa yang pernah dikenal sebagai Kepulauan
Sunda Besar, terdiri dari Pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan yang
dipersatukan oleh paparan luas yang dikenal sebagai Paparan Sunda.
Jadi Paparan Sunda, atau ketika laut surut pada Kala Pleistosen Akhir
menjadi daratan luas disebut dalam dunia ilmiah Geologi internasional
sebagai Sundaland, adalah Benua Atlantis yang hilang menurut Profesor
Santos? Sungguh membanggakan! Wajar jika kesimpulan Profesor Priyatna
diakhir tulisannya bahwa Indonesia yang dianggap sebagai ahli waris
Atlantis, harus membuat kita bersyukur, tidak rendah diri di dalam
pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat
peradaban dunia (”PR”, 2 Oktober 2006).
Namun banyak ganjalan
yang sangat mengganggu dengan pendapat Profesor Santos yang melambungkan
nama Indonesia, atau tepatnya Sundaland, sebagai Benua Atlantis yang
hilang itu. Ganjalan-ganjalan yang berkecamuk dalam pikiran saya
akhirnya membawa kepada beberapa situs internet tentang Atlantis. Lalu,
mouse komputer saya terdampar pada sumber awal munculnya mitos Atlantis
itu, yaitu dialog Timaeus dan Critias, yang ditulis oleh Plato.
Cerita Critias
Mitos Atlantis muncul ketika mahaguru Socrates berdialog dengan ketiga
muridnya; Timaeus, Critias dan Hermocrates. Critias menuturkan kepada
Socartes di hadapan Timaeus dan Hermocrates cerita tentang sebuah negeri
dengan peradaban tinggi yang kemudian ditenggelamkan oleh Dewa Zeus
karena penduduknya yang dianggap pendosa. Critias mengaku ceritanya
adalah true story, sebagai pantun turun temurun dari kakek buyut Critias
sendiri yang juga bernama Critias.
Critias, si kakek buyut,
mengetahui tentang Atlantis dari seorang Yunani bernama Solon. Solon
sendiri dikuliahi tentang Atlantis oleh seorang pendeta Mesir, ketika ia
mengunjungi Kota Sais di delta Sungai Nil. Bayangkan cerita lisan turun
temurun yang mungkin banyak terjadi distorsi ketika Critias, si cicit,
menceritakan kembali kepada Socrates, sebelum ditulis oleh Plato.
Di luar dari distorsi yang mungkin terjadi, tulisan tentang dialog
Socrates, Timaeus dan Critias tentang Atlantis yang ditulis Plato adalah
sumber tertulis yang menjadi referensi utama. Dari dialog itulah
tergambar suatu negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi yang bernama
Atlantis. Letak negeri berada di depan selat yang diapit Pilar-pilar
Hercules (the Pillars of Heracles).
Negeri itu lebih besar dari
gabungan Libia dan Asia. Terdapat jalan ke pulau-pulau lain di mana
dari tempat ini akan ditemui sisi lain negeri yang dikelilingi oleh
lautan sejati. Laut ini yang berada pada Selat Heracles hanyalah
satu-satunya pelabuhan dengan gerbang sempit. Tetapi laut yang lain
adalah samudera luas di mana benua yang mengelilinginya adalah benua
tanpa batas.
Di Atlantis inilah terdapat kerajaan besar yang
menguasai seluruh pulau dan daerah sekitarnya, termasuk Libia,
kolom-kolom Heracles, sampai sejauh Mesir, dan di Eropa sampai sejauh
Tyrrhenia. Lalu terjadilah gempa bumi dan banjir yang melanda negeri
itu. Dalam hanya satu hari satu malam, seluruh penghuninya
ditenggelamkan ke dalam bumi, dan Atlantis menghilang ditelan laut.
Cerita tragis yang memunculkan mitos Atlantis itu, bila kita cermati
memang akan mengarah secara geografis di sekitar Laut Tengah
(Mediterania). Selain nama-nama Libia, Mesir, Eropa dan Tyrrhenia,
disebut pula selat dengan pilar-pilar Hercules yang tidak lain adalah
Selat Gibraltar (atau dalam bahasa Arab, Selat Jabaltarik), selat di
Laut Tengah antara Eropa dan Afrika yang merupakan gerbang ke Samudera
Atlantik. Apakah betul Atlantis sebuah benua yang lebih besar dari
gabungan Libia dan Asia? Pendapat ini ditentang juga sebagai salah
terjemah kata Yunani meson (lebih besar) dengan kata mezon (di antara).
Sundaland
Memang betul, konotasi Atlantis tidak harus mengacu kepada Samudera
Atlantik. Tetapi berdasarkan lingkungan kesejarahan dan geografis, para
ahli akhirnya berkonsentrasi mencari Atlantis di sekitar Laut Tengah,
antara Libia dan Turki yang dikenal sebagai Asia pada waktu itu. Sebelum
Profesor Santos berargumen bahwa Atlantis adalah Sundaland, pendapat
yang paling banyak diterima adalah bahwa negeri itu ada di tengah-tengah
Samudera Atlantis sendiri, yaitu di Kepulauan Azores milik Portugal
yang berada 1.500 km sebelah barat pantai Portugal. Tidak ada bukti
arkeologis yang mengukuhkan pendapat ini.
Tempat yang paling
meyakinkan sebagai Atlantis adalah Pulau Thera di Laut Aegea, sebelah
timur Laut Tengah. Pulau Thera yang dikenal pula sebagai Santorini
adalah pulau gunung api yang terletak di sebelah utara Pulau Kreta.
Sekira 1.500 SM, sebuah letusan dahsyat gunung api ini mengubur dan
menenggelamkan kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis memang
menunjukkan bahwa kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat
maju di Eropa pada zamannya.
Pendapat Profesor Santos bahwa
Atlantis adalah Sundaland atau Indonesia mempunyai banyak kelemahan.
Pertama, tidak terdeskripsi dari cerita Solon melalui Critias bahwa
Atlantis berada wilayah tropis. Kedua, deskripsi geografis di sekitar
benua mitos itu mengarah semua ke Mediterania. Saya tidak tahu, lokasi
mana yang ditunjuk Profesor Santos dalam bukunya sebagai selat dengan
pilar-pilar Hercules.
Tetapi ia (melalui tulisan Profesor Priyatna
”PR” 2 Oktober 2006), berargumen bahwa pada masa lalu itu Atlantis
merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka,
Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang
sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung api
aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale,
terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Ketiga,
Profesor Santos mengarahkan bingkai waktu Atlantis pada zaman es kala
waktu Pleistosen. Zaman es terakhir (Wurm) terjadi pada maksimum 18.000
tahun yang lalu. Saat itu, tutupan es di kutub-kutub Bumi meluas hingga
lintang 60 derajat, dan air laut di khatulistiwa surut tajam. Di
Kepulauan Indonesia, sebuah pendapat mengatakan bahwa air laut surut
hingga minus 140 m dari muka air laut sekarang. Maka, perairan Laut
Jawa, Selat Karimata dan Laut Cina Selatan yang mempunyai kedalaman
tidak lebih dari 100 m, berubah menjadi daratan. Itulah yang kemudian
dikenal sebagai Sundaland.
Setelah 18.000 tahun yang lalu,
permukaan laut mulai naik seiring dengan masuknya zaman antar-es. Muka
air laut naik terus hingga sekitar 5 m di atas muka laut sekarang pada
sekira 5.000 tahun yang lalu, sebelum turun kembali hingga pada
posisinya sekarang. Artinya, penenggelaman Sundaland akan berjalan
sangat pelan (evolutif), memakan waktu 13.000 tahun. Padahal menurut
cerita Critias, Atlantis tenggelam hanya dalam satu hari satu malam!
Keempat, kebudayaan Indonesia pada Pleistosen Akhir, bahkan hingga awal
Holosen (11.000 tahun yang lalu) masih budaya pengumpul hasil hutan dan
berburu. Peralatannya adalah kayu, bambu dan batu, dengan rekayasa
sangat sederhana. Mereka tinggal di gua-gua atau teras sungai dengan
tempat bernaung dari ranting kayu dan dedaunan. Tidak ada pendapat satu
pun yang menggolongkan budaya Paleolitik seperti itu sebagai budaya yang
dianggap maju dan tinggi dalam pengertian yang sepadan ketika Plato
menuliskan bukunya.
Sekali lagi, saya belum membaca buku
Profesor Santos itu. Tetapi dari paparan tulisan Prof. Priyatna, dengan
sedikitnya keempat argumen di atas, anggapan bahwa Indonesia (Sundaland)
adalah Atlantis sulit untuk dapat diterima. Tentu saja walaupun tulisan
ini membantah Indonesia sebagai Atlantis, kita harus tetap sangat
bangga dengan Sundaland di Indonesia, karena dari ilmu-ilmu geologi,
arkeologi, geografi, biogeografi, linguistik dan lain-lain, kawasan
Sundaland diakui kepentingannya secara internasional. Dengan fakta-fakta
ilmiah itu, seperti pendapat Profesor Priyatna Abdurrasyid, membuat
kita harus bersyukur dan tidak rendah diri di dalam pergaulan
internasional, sebab Indonesia dengan Sundaland-nya, sekalipun akan
terbantah bukan Atlantis, adalah kekayaan intelektual yang tetap diakui
secara internasional.***
Penulis, anggota KK Geologi Terapan FIKTM-ITB, dan anggota KRCB dan IAGI.
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment
Saumpamina aya nu peryogi di komentaran mangga serat di handap. Saran kiritik diperyogikeun pisan kanggo kamajengan eusi blog.